Laporan Pentagon Peringatkan Dunia Berisiko Perang Nuklir, Ini Sebabnya
Jum'at, 09 Juli 2021 - 13:08 WIB
WASHINGTON - Pentagon atau Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) dalam laporan tahun 2020 memperingatkan bahwa dunia berisiko dilanda perang nuklir .
Laporan setebal 67 halaman berjudul "Joint Nuclear Operations" selesai pada April 2020, tetapi baru dirilis pekan lalu sebagai tanggapan atas permintaan Federation of American Scientists [Federasi Ilmuwan Amerika] berdasarkan Freedom of Information Act [Undang-Undang Kebebasan Informasi].
Laporan itu mengatakan kemungkinan senjata nuklir akan digunakan dalam konflik regional atau global telah meningkat selama satu dekade terakhir.
Dokumen itu sebagai sikap Pentagon tentang prinsip dan panduan mendasar untuk merencanakan, melaksanakan, dan menilai operasi nuklir.
Dalam pengantar yang menarik untuk bab pertama, laporan tersebut menyatakan bahwa sementara AS telah mencoba untuk mengurangi jumlah dan arti-penting senjata nuklir, yang lain—termasuk Rusia dan China—telah bergerak ke arah yang berlawanan.
“Mereka telah menambahkan jenis kemampuan nuklir baru ke gudang senjata mereka, meningkatkan arti-penting kekuatan nuklir dalam strategi dan rencana mereka, dan terlibat dalam perilaku yang semakin agresif," bunyi laporan itu.
"Sekarang ada berbagai dan campuran ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk ancaman [senjata] konvensional, kimia, biologi, nuklir, luar angkasa, dan dunia maya dan aktor non-negara yang kejam," lanjut laporan itu yang dikutip SINDOnews.com, Jumat (9/7/2021).
Laporan Pentagon itu mengeklaim bahwa Amerika sejak 2010 telah berupaya untuk mengurangi peran senjata nuklir dalam urusan internasional dan untuk menegosiasikan pengurangan jumlah senjata nuklir. "[Namun] tidak ada musuh potensial yang mengurangi peran senjata nuklir dalam strategi keamanan nasionalnya atau jumlah senjata nuklir yang digunakannya. Sebaliknya, mereka telah bergerak dengan jelas ke arah yang berlawanan," papar laporan Pentagon.
"Rusia telah menambahkan jenis kemampuan nuklir baru ke gudang senjata mereka," sambung laporan Pentagon.
“Akibatnya, ada peningkatan potensi konflik regional yang melibatkan musuh bersenjata nuklir di beberapa bagian dunia dan potensi eskalasi nuklir musuh dalam krisis atau konflik.”
Selain Rusia dan China, laporan Pentagon menyebut Korea Utara dan Iran sebagai ancaman nuklir potensial.
Masih menurut dokumen itu, pengejaran senjata nuklir Pyongyang yang terus-menerus menimbulkan ancaman proliferasi paling cepat dan mengerikan bagi keamanan dan stabilitas internasional."Sementara pengembangan kemampuan rudal balistik jarak jauh yang semakin meningkat, dan strategi dan kegiatan agresifnya untuk mengacaukan pemerintah tetangga, menimbulkan pertanyaan tentang komitmen jangka panjangnya untuk melepaskan kemampuan senjata nuklir," papar laporan Pentagon.
Sejak laporan itu diterbitkan, pemerintahan Joe Biden telah memperpanjang perjanjian pengendalian senjata nuklir New START selama lima tahun dan memulai negosiasi untuk memasuki kembali kesepakatan nuklir Iran 2015 setelah mantan Presiden Donald Trump menarik diri darinya pada 2018.
Sementara itu, utusan AS untuk Konferensi Perlucutan Senjata di Jenewa mengatakan pada hari Kamis bahwa China sedang menyaksikan pengembangan sistem senjata nuklir otonom Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
“Jika mereka mengembangkan senjata dan sistem udara semacam ini, ini berpotensi mengubah lingkungan stabilitas strategis secara dinamis,” kata Duta Besar Robert Wood kepada wartawan.
Amerika Serikat, kata diplomat itu, tidak memiliki kedua jenis sistem tersebut.
“Ini bukan tempat China 10 tahun yang lalu,” imbuh Wood. “Mereka mengejar senjata yang mirip dengan beberapa sistem pengiriman bertenaga nuklir yang telah dikejar Rusia.”
Rusia mengatakan pengembangan persenjataan semacam itu ditujukan untuk melawan pertahanan Amerika Serikat terhadap rudal balistik, meskipun Washington bersikeras bahwa sistem pertahanannya dirancang untuk melindungi tanah air AS dari rudal Korea Utara, bukan Rusia atau China.
Laporan setebal 67 halaman berjudul "Joint Nuclear Operations" selesai pada April 2020, tetapi baru dirilis pekan lalu sebagai tanggapan atas permintaan Federation of American Scientists [Federasi Ilmuwan Amerika] berdasarkan Freedom of Information Act [Undang-Undang Kebebasan Informasi].
Laporan itu mengatakan kemungkinan senjata nuklir akan digunakan dalam konflik regional atau global telah meningkat selama satu dekade terakhir.
Dokumen itu sebagai sikap Pentagon tentang prinsip dan panduan mendasar untuk merencanakan, melaksanakan, dan menilai operasi nuklir.
Dalam pengantar yang menarik untuk bab pertama, laporan tersebut menyatakan bahwa sementara AS telah mencoba untuk mengurangi jumlah dan arti-penting senjata nuklir, yang lain—termasuk Rusia dan China—telah bergerak ke arah yang berlawanan.
“Mereka telah menambahkan jenis kemampuan nuklir baru ke gudang senjata mereka, meningkatkan arti-penting kekuatan nuklir dalam strategi dan rencana mereka, dan terlibat dalam perilaku yang semakin agresif," bunyi laporan itu.
"Sekarang ada berbagai dan campuran ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk ancaman [senjata] konvensional, kimia, biologi, nuklir, luar angkasa, dan dunia maya dan aktor non-negara yang kejam," lanjut laporan itu yang dikutip SINDOnews.com, Jumat (9/7/2021).
Baca Juga
Laporan Pentagon itu mengeklaim bahwa Amerika sejak 2010 telah berupaya untuk mengurangi peran senjata nuklir dalam urusan internasional dan untuk menegosiasikan pengurangan jumlah senjata nuklir. "[Namun] tidak ada musuh potensial yang mengurangi peran senjata nuklir dalam strategi keamanan nasionalnya atau jumlah senjata nuklir yang digunakannya. Sebaliknya, mereka telah bergerak dengan jelas ke arah yang berlawanan," papar laporan Pentagon.
"Rusia telah menambahkan jenis kemampuan nuklir baru ke gudang senjata mereka," sambung laporan Pentagon.
“Akibatnya, ada peningkatan potensi konflik regional yang melibatkan musuh bersenjata nuklir di beberapa bagian dunia dan potensi eskalasi nuklir musuh dalam krisis atau konflik.”
Selain Rusia dan China, laporan Pentagon menyebut Korea Utara dan Iran sebagai ancaman nuklir potensial.
Masih menurut dokumen itu, pengejaran senjata nuklir Pyongyang yang terus-menerus menimbulkan ancaman proliferasi paling cepat dan mengerikan bagi keamanan dan stabilitas internasional."Sementara pengembangan kemampuan rudal balistik jarak jauh yang semakin meningkat, dan strategi dan kegiatan agresifnya untuk mengacaukan pemerintah tetangga, menimbulkan pertanyaan tentang komitmen jangka panjangnya untuk melepaskan kemampuan senjata nuklir," papar laporan Pentagon.
Sejak laporan itu diterbitkan, pemerintahan Joe Biden telah memperpanjang perjanjian pengendalian senjata nuklir New START selama lima tahun dan memulai negosiasi untuk memasuki kembali kesepakatan nuklir Iran 2015 setelah mantan Presiden Donald Trump menarik diri darinya pada 2018.
Sementara itu, utusan AS untuk Konferensi Perlucutan Senjata di Jenewa mengatakan pada hari Kamis bahwa China sedang menyaksikan pengembangan sistem senjata nuklir otonom Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
“Jika mereka mengembangkan senjata dan sistem udara semacam ini, ini berpotensi mengubah lingkungan stabilitas strategis secara dinamis,” kata Duta Besar Robert Wood kepada wartawan.
Amerika Serikat, kata diplomat itu, tidak memiliki kedua jenis sistem tersebut.
“Ini bukan tempat China 10 tahun yang lalu,” imbuh Wood. “Mereka mengejar senjata yang mirip dengan beberapa sistem pengiriman bertenaga nuklir yang telah dikejar Rusia.”
Rusia mengatakan pengembangan persenjataan semacam itu ditujukan untuk melawan pertahanan Amerika Serikat terhadap rudal balistik, meskipun Washington bersikeras bahwa sistem pertahanannya dirancang untuk melindungi tanah air AS dari rudal Korea Utara, bukan Rusia atau China.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda