Berebut Superpower Sains
Jum'at, 02 Juli 2021 - 05:49 WIB
JAKARTA - Sains menjadi tolok ukur suatu negara bisa disebut sebagai superpower . Itulah yang menjadikan banyak negara berkompetisi untuk menjadi superpower dalam bidang sains.
Dengan kekuatan sains, maka negara tersebut otomatis akan mengalami banyak kemajuan di berbagai bidang, mulai dari perekonomian, teknologi hingga militer .
Bukan hanya itu, sains juga mampu mempengaruhi geopolitik sehingga bisa menentukan ke mana arah dunia, Begitu pun sebaliknya. Ketegangan geopolitik antara China dan Amerika Serikat (AS) juga mengubah peta sains dunia. Negara-negara berlomba-lomba melindungi semua kepentingannya dan mengamankan sumber daya baik alam dan manusia.
Di sisi lain, sains dan geopolitik juga mempengaruhi kerja sama antar peneliti yang menguntungkan negara mereka. Permasalahan perubahan iklim hingga vaksin Covid-19 misalnya, menjadi perhatian dalam kolaborasi global. Berbagai kondisi yang terjadi menuntut peneliti untuk berkolaborasi antar negara dengan sumber daya yang beragam agar lebih inklusif.
Kompetisi untuk menjadi superpower di bidang sains ditunjukkan banyak negara di dunia. Mereka memberikan perhatian besar kepada sains sebagai fondasi utama kemajuan suatu bangsa.
Segala upaya dilakukan untuk mewujudkan hal itu, mulai dari peningkatan anggaran hingga memperkuat elemen untuk mengembangkan riset dan penelitian.
Seperti dilakukan Inggris unuk kembali menggapai kejayaan sains mereka sehingga mereka pernah menguasai hampir separuh dunia. Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson mengumumkan peningkatan anggaran penelitian untuk menjadikan London sebagai superpower sains pada beberapa waktu lalu.
Dia juga akan memimpin Dewan Teknologi dan Sains Naisonal untuk menentukan strategi dan bagaimana penelitian bisa bermanfaat untuk kepentingan publik. Inggris pun meningkatkan anggaran dar 16 miliar poundsterling menjadi 22 miliar poundsterling (Rp440 triliun) per tahunnya pada 2025.
Apa hal yang melatari keinginan Inggris kembali menguasai sains? Pandemi virus korona (Covid-19) menggugah semua pihak tentang arti penting sains. Hal itu berkaitan dengan pengembangan vaksin virus korona.
Sains juga terbukti mampu menjadi terobosan untuk mentransfor kehidupan masyarakat. Selain itu, Inggris lebih fokus pengembangan dan penelitian pada sektor yang menguntungkan ekonomi menuju teknologi yang lebih ramah.
Hal itu sangat disadari meskipun kompetisi untuk mengejar hal sangat entar antar negara. Selain itu, Inggris juga sudah terbebas dari belenggu Uni Eropa (UE) sehingga bisa menentukan arah sains kedepannya tanpa mengekor kepada Jerman dan Prancis.
"Saya menciptakan visi Inggris 2030 di mana negara ini akan menjadi sumber kekuatan besar baik di dalam negeri dan luar negeri. Itu karena Inggris memiliki sains dan seni yang menjadi soft power unik yang mengglobal," kata Johnson.
Sains akan menjadikan suatu negara terus berinovasi sehingga memperkuat tatanan masyarakat demokrasi dan perkembangan ekonomi. Sains juga bisa memperkuat resiliensi suatu masyarakat untuk bisa melindungi diri dan memperkuat perdagangan dan investasi.
Inggris juga membuktikan diri dengan terlibat dalam Horizon Europe dengan dana USD106 miliar. "Inggris akan berpartisipasi dalam program penelitian terbesar dunia sebagai simbol harapan dan solidarita," kata Catherine Guinard, manajer advokasi dan kebijakan lembaga amal Wellcome Trust, dilansir Nature.
Horizon Europe merupakan koalisi penelitian untuk melaksanakan berbagai proyek secara bersama-sama. Fokus utama penelitian terkait nuklir, antariksa, dan uji klinik. Mereka juga akan bekerja sama dalam penelitian sistem perdagangan hingga imigrasi.
Tak kalah progresif, China juga berjuang keras untuk mewujudkan superpower di bidang sains. Bukan hanya mengirim armada ke Bulan dan Mars, China juga berusaha menorehkan ambisi untuk menjadi juara dalam pengembangan kecerdasan buatan dan teknologi aplikasi lainnya.
Pada 2017 lalu, Presiden China Xi Jinping menyampaikan visi bahwa China akan menjadi negara superpower sains pada 2050 mendatang. Anggaran penelitian China berkembang dari USD33 miliar (Rp479 triliun) pada 2000 menjadi USD468 miliar (Rp6.804 triliun) pada 2018.
Selain peningkatan anggaran pada riset dan sains, China juga fokus menjadikan perusahaan milik negara sebagai motor penggeraknya.
"Presiden Xi Jinping lebih memprioritaskan perusahaan milik negara, meskipun perusahaan swasta justru lebih inovatif dan dinamis," kata Andrew Kennedy, pakar kebijakan dan pemerintah dari Universitas Nasional Australia, dilansir Channel News Asia.
"Ambisi China menghadapi tantangan karena banyak ilmuwan China mengeluh tentang kontrol internet yang terlalu kuat dari pemerintah," katanya.
Sebagai negara dengan partai tunggal, Beijing memilih untuk mengontrol perusahaan teknologi. China kini juga mengatur regulasi perusahaan teknologi raksasa untuk mendorongkan negara itu menjadi superpower teknologi di dunia.
“Semua regulasi itu sebagai bagian upaya China menjadi superpower teknologi,” kata peneliti di Trivium China, firma penelitian berbasis di Beijing, Kendra Schaefer, dilansir CNBC. Dengan berbagai kebijakan yang ditempuh China, Schaefer yakin bahwa China bisa menjadi superpower teknologi dengan memperkuat regulasinya.
China menerapkan fondasi yang kuat untuk mengatur operasional perusahaan teknologi, termasuk dalam pengaturan data pribadi. Itu dikarenakan China sangat menyadari pengaturan data menjadi hal yang sangat penting.
“Semua yang diterapkan sangat fondasional untuk menjadikan China bisa berkembang dan bergerak lebih cepat,” paparnya.
Kemudian, Pemerintahan Presiden AS Joe Biden juga tak diragukan lagi dalam pembangunan berbasis sains. Dia juga memiliki penasehat khusus di bidang sains, yakni Eric Lander, yang akan meletakkan fondasi sains dalam pemerintahan Biden.
Biden juga menunjukkan komitmen untuk mengintegrasikan pendekatan sains dalam pemerintahannya. Arah pergerakan kebijakan sains Biden lebih fokus pada perubahan iklim. Selain itu, dia juga menyiapkan pendanaan penelitian untuk negara miskin dalam bidang sains. Selain itu, dalam bidang teknologi juga menjadi fokus utama untuk mendukung keadilan lingkungan.
Biden juga menganggarkan USD171 miliar untuk penelitian dan pengembangan pada 2021. Itu menunjukkan kenaikan 10% dibandingkan tahun sebelumnya.
"Kenaikan anggaran itu merupakan suatu sejarah untuk sejumlah agenda," kata Biden. Itu juga termasuk kenaikan angaran untuk penelitian non-pertahanan.
Di negara tetangga Indonesia yakni Malaysia sudah menetapkan kebijakan sains untuk menghubungkan ilmuwan lokal dan luar negeri dengan program Transformasi Nasional 2050.
Sains di Malaysia lebih fokus untuk mendukung industri swasta mulai dari peralatan semi konduktor hingga produk elektronik. Malaysia menganggarkan 158 miliar ringgit (Rp552 triliun) untuk pengembangan dan penelitian.
Fokus utama Malaysia adalah komersialisasi hasil penelitian. Secara khusus Malaysia menganggarkan 20 miliar ringgit untuk pengembangan kecerdasan buatan dan robotik.
Untuk Singapura, negara tersebut sudah melakukan lompatan dari untuk bertahan menjadi sains yang hebat. Singapura juga membuktikan kalau sains dan teknologi mampu memperkuat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing negara tersebut. Singapura menyiapkan dana 19 miliar dolar Singapura (Rp205 triliun) sebagai bentuk investasi untuk pengembangan sains berbasis inovasi dan enterprise.
Bagaimana dengan Indonesia? Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekaligus Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko menyatakan, untuk sains fokusnya bukan menjadi superpower karena sains ada di kepala manusia, bukan institusi dan apalagi negara.
Itu sebabnya, kata dia, fokus utama Indonesia adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas periset, bagaimana menarik talenta unggul untuk menjadi periset masa depan, dan menyemai periset yang ada agar kapasitas dan kompetensinya meningkat.
"Indonesia harus memperbanyak R&D (Research and Development) industri, sehingga industri kita mampu melakukan product development berbasis riset untuk menciptakan nilai tambah yang semakin tinggi. Hal inilah yang akan membentuk fondasi ekonomi Indonesia yang lebih kuat dan berkesinambungan dalam jangka panjang," tegas Handoko saat berbincang dengan KORAN SINDO.
Dia membeberkan, dalam konteks belanja riset maka berdasarkan standar The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yaitu belanja riset sebesar 1 % dari Produk Domestik Bruto (PDB), dengan kontribusi negara 20 % dan sisanya swasta. Dengan asumsi ini, kata Handoko, APBN sudah memadai karena sudah lebih dari 0,22 %.
"Masalahnya adalah kontribusi saya yang masih kecil. Inilah tugas BRIN untuk memfasilitasi dan membantu agar swasta bisa memulai R&D tanpa investasi yang besar dan resiko sekecil mungkin," ungkapnya.
Dalam proses ini, menurut Handoko, kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk asing tentu sangat diharapkan. Meski demikian bagi dia, kolaborasi itu bukan sekedar untuk mencari dana, tetapi juga lebih ditunjukkan untuk menarik talenta terbaik di luar negeri untuk bekerja bersama periset lokal. "Ini penting sebagai instrumen alami untuk transfer teknologi, pengetahuan dan skill," imbuhnya.
Handoko memastikan, Indonesia tentu menyiapkan kebijakan sains yang lebih baik di masa kini dan masa depan untuk Indonesia bisa bersaing dengan negara lain. BRIN, ujar Handoko, saat ini merekrut periset dengan kualifikasi minimal S3, selain menyediakan beragam skema untuk mobilitas periset seperti research assistantship, S2/S3 by-research, postdoctoral fellow, visiting researcher, dan visiting professor.
Selain itu, BRIN juga menginisiasi global platform for biodiversity research di CSC Cibinong, global platform for oceanic research memakai armada kapal riset, serta global platform for astronomy do Observatorium Kupang.
"Semua ini berbasis sumber daya alam dan keanekaragaman lokal yang sudah kita miliki. Artinya, kita akan berkompetisi di bidang yang Indonesia telah memiliki local competitiveness. Di sektor-sektor semacam ini kita akan mampu berkompetisi, sekaligus menarik investasi di sektor iptek," bebernya.
Lebih dari itu, Handoko mengakui bahwa untuk saat ini Indonesia belum bisa mengatakan Indonesian memiliki keunggulan sains di topik tertentu. Karenanya kita semua masih harus bekerja keras untuk menciptakan kompetensi itu.
Dia menggariskan, tanpa sains Indonesia tidak akan bisa masuk ke golongan negara maju dan akan terjebak di negara berpendapatan menengah (middle income trap). "Karena tampak sains dan riset kita tidak akan mampu meningkatkan nilai tambah yang signifikan atas berbagai kekayaan alam dan produk yang dihasilkan," ungkap Handoko.
Dengan kekuatan sains, maka negara tersebut otomatis akan mengalami banyak kemajuan di berbagai bidang, mulai dari perekonomian, teknologi hingga militer .
Bukan hanya itu, sains juga mampu mempengaruhi geopolitik sehingga bisa menentukan ke mana arah dunia, Begitu pun sebaliknya. Ketegangan geopolitik antara China dan Amerika Serikat (AS) juga mengubah peta sains dunia. Negara-negara berlomba-lomba melindungi semua kepentingannya dan mengamankan sumber daya baik alam dan manusia.
Di sisi lain, sains dan geopolitik juga mempengaruhi kerja sama antar peneliti yang menguntungkan negara mereka. Permasalahan perubahan iklim hingga vaksin Covid-19 misalnya, menjadi perhatian dalam kolaborasi global. Berbagai kondisi yang terjadi menuntut peneliti untuk berkolaborasi antar negara dengan sumber daya yang beragam agar lebih inklusif.
Kompetisi untuk menjadi superpower di bidang sains ditunjukkan banyak negara di dunia. Mereka memberikan perhatian besar kepada sains sebagai fondasi utama kemajuan suatu bangsa.
Segala upaya dilakukan untuk mewujudkan hal itu, mulai dari peningkatan anggaran hingga memperkuat elemen untuk mengembangkan riset dan penelitian.
Seperti dilakukan Inggris unuk kembali menggapai kejayaan sains mereka sehingga mereka pernah menguasai hampir separuh dunia. Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson mengumumkan peningkatan anggaran penelitian untuk menjadikan London sebagai superpower sains pada beberapa waktu lalu.
Dia juga akan memimpin Dewan Teknologi dan Sains Naisonal untuk menentukan strategi dan bagaimana penelitian bisa bermanfaat untuk kepentingan publik. Inggris pun meningkatkan anggaran dar 16 miliar poundsterling menjadi 22 miliar poundsterling (Rp440 triliun) per tahunnya pada 2025.
Apa hal yang melatari keinginan Inggris kembali menguasai sains? Pandemi virus korona (Covid-19) menggugah semua pihak tentang arti penting sains. Hal itu berkaitan dengan pengembangan vaksin virus korona.
Sains juga terbukti mampu menjadi terobosan untuk mentransfor kehidupan masyarakat. Selain itu, Inggris lebih fokus pengembangan dan penelitian pada sektor yang menguntungkan ekonomi menuju teknologi yang lebih ramah.
Hal itu sangat disadari meskipun kompetisi untuk mengejar hal sangat entar antar negara. Selain itu, Inggris juga sudah terbebas dari belenggu Uni Eropa (UE) sehingga bisa menentukan arah sains kedepannya tanpa mengekor kepada Jerman dan Prancis.
"Saya menciptakan visi Inggris 2030 di mana negara ini akan menjadi sumber kekuatan besar baik di dalam negeri dan luar negeri. Itu karena Inggris memiliki sains dan seni yang menjadi soft power unik yang mengglobal," kata Johnson.
Sains akan menjadikan suatu negara terus berinovasi sehingga memperkuat tatanan masyarakat demokrasi dan perkembangan ekonomi. Sains juga bisa memperkuat resiliensi suatu masyarakat untuk bisa melindungi diri dan memperkuat perdagangan dan investasi.
Inggris juga membuktikan diri dengan terlibat dalam Horizon Europe dengan dana USD106 miliar. "Inggris akan berpartisipasi dalam program penelitian terbesar dunia sebagai simbol harapan dan solidarita," kata Catherine Guinard, manajer advokasi dan kebijakan lembaga amal Wellcome Trust, dilansir Nature.
Horizon Europe merupakan koalisi penelitian untuk melaksanakan berbagai proyek secara bersama-sama. Fokus utama penelitian terkait nuklir, antariksa, dan uji klinik. Mereka juga akan bekerja sama dalam penelitian sistem perdagangan hingga imigrasi.
Tak kalah progresif, China juga berjuang keras untuk mewujudkan superpower di bidang sains. Bukan hanya mengirim armada ke Bulan dan Mars, China juga berusaha menorehkan ambisi untuk menjadi juara dalam pengembangan kecerdasan buatan dan teknologi aplikasi lainnya.
Pada 2017 lalu, Presiden China Xi Jinping menyampaikan visi bahwa China akan menjadi negara superpower sains pada 2050 mendatang. Anggaran penelitian China berkembang dari USD33 miliar (Rp479 triliun) pada 2000 menjadi USD468 miliar (Rp6.804 triliun) pada 2018.
Selain peningkatan anggaran pada riset dan sains, China juga fokus menjadikan perusahaan milik negara sebagai motor penggeraknya.
"Presiden Xi Jinping lebih memprioritaskan perusahaan milik negara, meskipun perusahaan swasta justru lebih inovatif dan dinamis," kata Andrew Kennedy, pakar kebijakan dan pemerintah dari Universitas Nasional Australia, dilansir Channel News Asia.
"Ambisi China menghadapi tantangan karena banyak ilmuwan China mengeluh tentang kontrol internet yang terlalu kuat dari pemerintah," katanya.
Sebagai negara dengan partai tunggal, Beijing memilih untuk mengontrol perusahaan teknologi. China kini juga mengatur regulasi perusahaan teknologi raksasa untuk mendorongkan negara itu menjadi superpower teknologi di dunia.
“Semua regulasi itu sebagai bagian upaya China menjadi superpower teknologi,” kata peneliti di Trivium China, firma penelitian berbasis di Beijing, Kendra Schaefer, dilansir CNBC. Dengan berbagai kebijakan yang ditempuh China, Schaefer yakin bahwa China bisa menjadi superpower teknologi dengan memperkuat regulasinya.
China menerapkan fondasi yang kuat untuk mengatur operasional perusahaan teknologi, termasuk dalam pengaturan data pribadi. Itu dikarenakan China sangat menyadari pengaturan data menjadi hal yang sangat penting.
“Semua yang diterapkan sangat fondasional untuk menjadikan China bisa berkembang dan bergerak lebih cepat,” paparnya.
Kemudian, Pemerintahan Presiden AS Joe Biden juga tak diragukan lagi dalam pembangunan berbasis sains. Dia juga memiliki penasehat khusus di bidang sains, yakni Eric Lander, yang akan meletakkan fondasi sains dalam pemerintahan Biden.
Biden juga menunjukkan komitmen untuk mengintegrasikan pendekatan sains dalam pemerintahannya. Arah pergerakan kebijakan sains Biden lebih fokus pada perubahan iklim. Selain itu, dia juga menyiapkan pendanaan penelitian untuk negara miskin dalam bidang sains. Selain itu, dalam bidang teknologi juga menjadi fokus utama untuk mendukung keadilan lingkungan.
Biden juga menganggarkan USD171 miliar untuk penelitian dan pengembangan pada 2021. Itu menunjukkan kenaikan 10% dibandingkan tahun sebelumnya.
"Kenaikan anggaran itu merupakan suatu sejarah untuk sejumlah agenda," kata Biden. Itu juga termasuk kenaikan angaran untuk penelitian non-pertahanan.
Di negara tetangga Indonesia yakni Malaysia sudah menetapkan kebijakan sains untuk menghubungkan ilmuwan lokal dan luar negeri dengan program Transformasi Nasional 2050.
Sains di Malaysia lebih fokus untuk mendukung industri swasta mulai dari peralatan semi konduktor hingga produk elektronik. Malaysia menganggarkan 158 miliar ringgit (Rp552 triliun) untuk pengembangan dan penelitian.
Fokus utama Malaysia adalah komersialisasi hasil penelitian. Secara khusus Malaysia menganggarkan 20 miliar ringgit untuk pengembangan kecerdasan buatan dan robotik.
Untuk Singapura, negara tersebut sudah melakukan lompatan dari untuk bertahan menjadi sains yang hebat. Singapura juga membuktikan kalau sains dan teknologi mampu memperkuat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing negara tersebut. Singapura menyiapkan dana 19 miliar dolar Singapura (Rp205 triliun) sebagai bentuk investasi untuk pengembangan sains berbasis inovasi dan enterprise.
Bagaimana dengan Indonesia? Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekaligus Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko menyatakan, untuk sains fokusnya bukan menjadi superpower karena sains ada di kepala manusia, bukan institusi dan apalagi negara.
Itu sebabnya, kata dia, fokus utama Indonesia adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas periset, bagaimana menarik talenta unggul untuk menjadi periset masa depan, dan menyemai periset yang ada agar kapasitas dan kompetensinya meningkat.
"Indonesia harus memperbanyak R&D (Research and Development) industri, sehingga industri kita mampu melakukan product development berbasis riset untuk menciptakan nilai tambah yang semakin tinggi. Hal inilah yang akan membentuk fondasi ekonomi Indonesia yang lebih kuat dan berkesinambungan dalam jangka panjang," tegas Handoko saat berbincang dengan KORAN SINDO.
Dia membeberkan, dalam konteks belanja riset maka berdasarkan standar The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yaitu belanja riset sebesar 1 % dari Produk Domestik Bruto (PDB), dengan kontribusi negara 20 % dan sisanya swasta. Dengan asumsi ini, kata Handoko, APBN sudah memadai karena sudah lebih dari 0,22 %.
"Masalahnya adalah kontribusi saya yang masih kecil. Inilah tugas BRIN untuk memfasilitasi dan membantu agar swasta bisa memulai R&D tanpa investasi yang besar dan resiko sekecil mungkin," ungkapnya.
Dalam proses ini, menurut Handoko, kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk asing tentu sangat diharapkan. Meski demikian bagi dia, kolaborasi itu bukan sekedar untuk mencari dana, tetapi juga lebih ditunjukkan untuk menarik talenta terbaik di luar negeri untuk bekerja bersama periset lokal. "Ini penting sebagai instrumen alami untuk transfer teknologi, pengetahuan dan skill," imbuhnya.
Handoko memastikan, Indonesia tentu menyiapkan kebijakan sains yang lebih baik di masa kini dan masa depan untuk Indonesia bisa bersaing dengan negara lain. BRIN, ujar Handoko, saat ini merekrut periset dengan kualifikasi minimal S3, selain menyediakan beragam skema untuk mobilitas periset seperti research assistantship, S2/S3 by-research, postdoctoral fellow, visiting researcher, dan visiting professor.
Selain itu, BRIN juga menginisiasi global platform for biodiversity research di CSC Cibinong, global platform for oceanic research memakai armada kapal riset, serta global platform for astronomy do Observatorium Kupang.
"Semua ini berbasis sumber daya alam dan keanekaragaman lokal yang sudah kita miliki. Artinya, kita akan berkompetisi di bidang yang Indonesia telah memiliki local competitiveness. Di sektor-sektor semacam ini kita akan mampu berkompetisi, sekaligus menarik investasi di sektor iptek," bebernya.
Lebih dari itu, Handoko mengakui bahwa untuk saat ini Indonesia belum bisa mengatakan Indonesian memiliki keunggulan sains di topik tertentu. Karenanya kita semua masih harus bekerja keras untuk menciptakan kompetensi itu.
Dia menggariskan, tanpa sains Indonesia tidak akan bisa masuk ke golongan negara maju dan akan terjebak di negara berpendapatan menengah (middle income trap). "Karena tampak sains dan riset kita tidak akan mampu meningkatkan nilai tambah yang signifikan atas berbagai kekayaan alam dan produk yang dihasilkan," ungkap Handoko.
(ynt)
tulis komentar anda