India Tahan 75 Orang di Kashmir setelah Pemilu Lokal
Sabtu, 26 Desember 2020 - 20:01 WIB
SRINAGAR - Pemerintah India menahan 75 pemimpin politik dan aktivis untuk mencegah kerusuhan setelah aliansi partai-partai regional memenangkan pemilu lokal di Kashmir.
Pemilu Dewan Distrik yang berakhir awal pekan ini adalah yang pertama sejak pemerintah Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi tahun lalu mencabut status khusus wilayah mayoritas Muslim yang dikuasai India itu.
New Delhi kemudian menindak oposisi dan menahan ratusan orang untuk mencegah protes dan kekerasan.
“Penahanan baru, termasuk para pemimpin separatis dan anggota kelompok terlarang Jamat-e-Islami, adalah untuk penahanan preventif,” ungkap seorang pejabat senior polisi, yang meminta untuk tidak disebut namanya sesuai kebijakan resmi. (Baca Juga: Israel Gempur Kamp Pengungsi dan Rumah Sakit Anak di Gaza)
India dan Pakistan mengklaim semua wilayah Kashmir sejak pembagian wilayah India yang dikuasai Inggris menjadi Pakistan yang mayoritas Muslim dan India yang mayoritas Hindu pada 1947. (Lihat Infografis: Neverland Michael Jackson Terjual Seharga Rp313 Miliar)
Dua dari tiga perang yang terjadi antara kedua negara berlangsung di Kashmir. (Lihat Video: 16 Tahun Tsunami Aceh, Suasana Haru Menyelimuti Kuburan Massal)
Para tokoh oposisi Kashmir mengecam penahanan tersebut. “Penahanan itu merusak keputusan rakyat,” tegas Imran Nabi Dar, juru bicara Konferensi Nasional, partai regional dan anggota kunci aliansi.
“Kemenangan aliansi itu menunjukkan bahwa warga Kashmir belum menerima keputusan Modi untuk mengakhiri status khusus Kashmir,” ungakp Omar Abdullah, mantan menteri utama dan kepala Konferensi Nasional.
Setelah dibebaskan dari penahanan yang lama, Abdullah dan Mehbooba Mufti, ketua Partai Demokrat Rakyat Jammu dan Kashmir, mengumumkan aliansi tersebut pada Oktober untuk mengupayakan pemulihan otonomi Kashmir secara damai.
Aliansi itu pun mendapat dukungan rakyat pada pemilu regional tersebut.
Pemilu Dewan Distrik yang berakhir awal pekan ini adalah yang pertama sejak pemerintah Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi tahun lalu mencabut status khusus wilayah mayoritas Muslim yang dikuasai India itu.
New Delhi kemudian menindak oposisi dan menahan ratusan orang untuk mencegah protes dan kekerasan.
“Penahanan baru, termasuk para pemimpin separatis dan anggota kelompok terlarang Jamat-e-Islami, adalah untuk penahanan preventif,” ungkap seorang pejabat senior polisi, yang meminta untuk tidak disebut namanya sesuai kebijakan resmi. (Baca Juga: Israel Gempur Kamp Pengungsi dan Rumah Sakit Anak di Gaza)
India dan Pakistan mengklaim semua wilayah Kashmir sejak pembagian wilayah India yang dikuasai Inggris menjadi Pakistan yang mayoritas Muslim dan India yang mayoritas Hindu pada 1947. (Lihat Infografis: Neverland Michael Jackson Terjual Seharga Rp313 Miliar)
Dua dari tiga perang yang terjadi antara kedua negara berlangsung di Kashmir. (Lihat Video: 16 Tahun Tsunami Aceh, Suasana Haru Menyelimuti Kuburan Massal)
Para tokoh oposisi Kashmir mengecam penahanan tersebut. “Penahanan itu merusak keputusan rakyat,” tegas Imran Nabi Dar, juru bicara Konferensi Nasional, partai regional dan anggota kunci aliansi.
“Kemenangan aliansi itu menunjukkan bahwa warga Kashmir belum menerima keputusan Modi untuk mengakhiri status khusus Kashmir,” ungakp Omar Abdullah, mantan menteri utama dan kepala Konferensi Nasional.
Setelah dibebaskan dari penahanan yang lama, Abdullah dan Mehbooba Mufti, ketua Partai Demokrat Rakyat Jammu dan Kashmir, mengumumkan aliansi tersebut pada Oktober untuk mengupayakan pemulihan otonomi Kashmir secara damai.
Aliansi itu pun mendapat dukungan rakyat pada pemilu regional tersebut.
(sya)
Lihat Juga :
tulis komentar anda