Pangeran Arab Saudi yang Ditahan Dipindahkan ke Lokasi Rahasia
Kamis, 03 Desember 2020 - 14:01 WIB
RIYADH - Seorang pangeran Arab Saudi yang ditahan tanpa dakwaan resmi di sebuah vila di Riyadh yang dijaga ketat telah dipindahkan ke lokasi yang dirahasiakan.
Seorang anggota parlemen Eropa yang menerima informasi itu dari dua orang terdekat sang pangeran mengungkapkannya dalam sebuah surat yang dikirim ke pihak Duta Besar Arab Saudi untuk Uni Eropa.
Langkah tersebut menandai peningkatan dalam penahanan selama hampir tiga tahun terhadap Pangeran Salman bin Abdulaziz. Langkah itu juga menyoroti pembangkangan Kerajaan Arab Saudi terhadap tekanan internasional untuk pembebasannya bahkan ketika pemerintahan Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden dapat mengintensifkan pengawasan catatan hak asasi manusia (HAM)-nya. (Baca: Israel Terima Kapal Perang Tercanggih saat Seteru dengan Iran Memanas )
Pada Januari 2018, Pangeran Salman, yang sekarang berusia 37 tahun, ditangkap bersama ayahnya dalam tindakan keras. Penangkapan itu membuat para pendukungnya bertanya mengapa anggota keluarga kerajaan yang tidak menimbulkan tantangan nyata bagi Putra Mahkota Mohammad bin Salman menjadi sasaran.
Pangeran Salman, yang menempuh pendidikan di Universitas Sorbonne Paris, dan ayahnya ditahan di sel isolasi selama sekitar satu tahun di penjara Al-Hai'r dengan keamanan tinggi di dekat Riyadh. Mereka kemudian dipindahkan ke sebuah vila yang dijaga ketat di ibu kota.
Seorang sumber mengatakan Pangeran Salman selanjutnya dipindahkan lagi ke situs penahanan rahasia pada bulan Maret, tetapi secara misterius dikembalikan dua bulan kemudian ke vila, yang berada di bawah pengawasan keamanan yang tinggi, setelah upaya lobi AS senilai USD2 juta dan petisi dari anggota parlemen Eropa yang menyerukan pembebasannya.
"Sabtu lalu, pangeran dan ayahnya telah dikeluarkan dari vila dan dibawa ke lokasi yang dirahasiakan," kata anggota Parlemen Uni Eropa, Marc Tarabella, dalam sebuah surat kepada duta besar Saudi untuk Uni Eropa. (Baca juga: Pangeran Arab Saudi: Riyadh Dukung Palestina, tapi Bukan Para Pemimpinnya )
"Jelas bahwa perampasan kebebasan mereka saat ini adalah sewenang-wenang, dan merupakan pelanggaran terhadap kewajiban domestik dan internasional Saudi," lanjut surat tertanggal Selasa (1/12/2020) itu, yang dikutip AFP, Kamis (3/12/2020).
"Saya mendesak Anda untuk meminta pemerintah Saudi segera memberikan keberadaan Pangeran Salman dan ayahnya Abdulaziz bin Salman," imbuh dia.
Surat dari Tarabella, wakil ketua delegasi Parlemen Eropa untuk hubungan dengan semenanjung Arab, juga dikirim ke Kedutaan Besar Arab Saudi di Prancis dan Belgia.
Otoritas Arab Saudi sejauh ini belum mengomentari kasus tersebut secara terbuka, dan tidak menanggapi permintaan AFP untuk mengomentari dugaan pemindahaan Pangeran Salman.
Salah satu sumber yang dekat dengan pangeran yang ditahan dan ayahnya juga mengatakan bahwa mereka telah dipindahkan ke lokasi rahasia.
"Tidak ada yang tahu ke mana mereka (aparat kerajaan) memindahkan mereka," kata sumber tersebut kepada AFP. "Kedua pria itu diizinkan melakukan panggilan telepon biasa ke keluarga mereka, tetapi tidak ada komunikasi sejak Sabtu. Mereka telah menghilang," imbuh sumber tersebut.
Pangeran Salman adalah salah satu dari banyak anggota keluarga kerajaan yang dipenjara sejak kebangkitan Putra Mahkota Mohammad, penguasa de facto kerajaan yang telah melancarkan tindakan keras terhadap para pembangkang, kritikus, dan rival politik.
Pada bulan Agustus, dua kelompok HAM—MENA Rights Group yang berbasis di Jenewa dan ALQST yang berbasis di London—mengajukan pengaduan kepada PBB atas penahanan mereka.
Sumber yang dekat dengan pangeran tersebut mengatakan Pangeran Salman dan ayahnya tidak pernah sekalipun diinterogasi sejak penahanan mereka. Hal itu menambah daftar kesewenang-wenangan atas penahanan mereka.
Para pengamat mengatakan apa yang mungkin membuat kesal pihak istana kerajaan adalah pertemuan Pangeran Salman dengan Anggota Kongres Partai Demokrat AS Adam Schiff tepat sebelum pemilu AS pada 2016.
Schiff adalah kritikus Presiden AS Donald Trump, pendukung setia Putra Mahkota Mohammad bin Salman.
Selama kampanye, Presiden terpilih AS Joe Biden mengancam akan mengubah Kerajaan Arab Saudi menjadi "paria".
Tapi Arab Saudi, yang menjadi tuan rumah KTT G20 bulan lalu dengan hampir tidak ada penyebutan masalah HAM dari para pemimpin negara terkaya di dunia, tampaknya tidak berminat untuk tunduk pada tekanan internasional.
Seorang anggota parlemen Eropa yang menerima informasi itu dari dua orang terdekat sang pangeran mengungkapkannya dalam sebuah surat yang dikirim ke pihak Duta Besar Arab Saudi untuk Uni Eropa.
Langkah tersebut menandai peningkatan dalam penahanan selama hampir tiga tahun terhadap Pangeran Salman bin Abdulaziz. Langkah itu juga menyoroti pembangkangan Kerajaan Arab Saudi terhadap tekanan internasional untuk pembebasannya bahkan ketika pemerintahan Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden dapat mengintensifkan pengawasan catatan hak asasi manusia (HAM)-nya. (Baca: Israel Terima Kapal Perang Tercanggih saat Seteru dengan Iran Memanas )
Pada Januari 2018, Pangeran Salman, yang sekarang berusia 37 tahun, ditangkap bersama ayahnya dalam tindakan keras. Penangkapan itu membuat para pendukungnya bertanya mengapa anggota keluarga kerajaan yang tidak menimbulkan tantangan nyata bagi Putra Mahkota Mohammad bin Salman menjadi sasaran.
Pangeran Salman, yang menempuh pendidikan di Universitas Sorbonne Paris, dan ayahnya ditahan di sel isolasi selama sekitar satu tahun di penjara Al-Hai'r dengan keamanan tinggi di dekat Riyadh. Mereka kemudian dipindahkan ke sebuah vila yang dijaga ketat di ibu kota.
Seorang sumber mengatakan Pangeran Salman selanjutnya dipindahkan lagi ke situs penahanan rahasia pada bulan Maret, tetapi secara misterius dikembalikan dua bulan kemudian ke vila, yang berada di bawah pengawasan keamanan yang tinggi, setelah upaya lobi AS senilai USD2 juta dan petisi dari anggota parlemen Eropa yang menyerukan pembebasannya.
"Sabtu lalu, pangeran dan ayahnya telah dikeluarkan dari vila dan dibawa ke lokasi yang dirahasiakan," kata anggota Parlemen Uni Eropa, Marc Tarabella, dalam sebuah surat kepada duta besar Saudi untuk Uni Eropa. (Baca juga: Pangeran Arab Saudi: Riyadh Dukung Palestina, tapi Bukan Para Pemimpinnya )
"Jelas bahwa perampasan kebebasan mereka saat ini adalah sewenang-wenang, dan merupakan pelanggaran terhadap kewajiban domestik dan internasional Saudi," lanjut surat tertanggal Selasa (1/12/2020) itu, yang dikutip AFP, Kamis (3/12/2020).
"Saya mendesak Anda untuk meminta pemerintah Saudi segera memberikan keberadaan Pangeran Salman dan ayahnya Abdulaziz bin Salman," imbuh dia.
Surat dari Tarabella, wakil ketua delegasi Parlemen Eropa untuk hubungan dengan semenanjung Arab, juga dikirim ke Kedutaan Besar Arab Saudi di Prancis dan Belgia.
Otoritas Arab Saudi sejauh ini belum mengomentari kasus tersebut secara terbuka, dan tidak menanggapi permintaan AFP untuk mengomentari dugaan pemindahaan Pangeran Salman.
Salah satu sumber yang dekat dengan pangeran yang ditahan dan ayahnya juga mengatakan bahwa mereka telah dipindahkan ke lokasi rahasia.
"Tidak ada yang tahu ke mana mereka (aparat kerajaan) memindahkan mereka," kata sumber tersebut kepada AFP. "Kedua pria itu diizinkan melakukan panggilan telepon biasa ke keluarga mereka, tetapi tidak ada komunikasi sejak Sabtu. Mereka telah menghilang," imbuh sumber tersebut.
Pangeran Salman adalah salah satu dari banyak anggota keluarga kerajaan yang dipenjara sejak kebangkitan Putra Mahkota Mohammad, penguasa de facto kerajaan yang telah melancarkan tindakan keras terhadap para pembangkang, kritikus, dan rival politik.
Pada bulan Agustus, dua kelompok HAM—MENA Rights Group yang berbasis di Jenewa dan ALQST yang berbasis di London—mengajukan pengaduan kepada PBB atas penahanan mereka.
Sumber yang dekat dengan pangeran tersebut mengatakan Pangeran Salman dan ayahnya tidak pernah sekalipun diinterogasi sejak penahanan mereka. Hal itu menambah daftar kesewenang-wenangan atas penahanan mereka.
Para pengamat mengatakan apa yang mungkin membuat kesal pihak istana kerajaan adalah pertemuan Pangeran Salman dengan Anggota Kongres Partai Demokrat AS Adam Schiff tepat sebelum pemilu AS pada 2016.
Schiff adalah kritikus Presiden AS Donald Trump, pendukung setia Putra Mahkota Mohammad bin Salman.
Selama kampanye, Presiden terpilih AS Joe Biden mengancam akan mengubah Kerajaan Arab Saudi menjadi "paria".
Tapi Arab Saudi, yang menjadi tuan rumah KTT G20 bulan lalu dengan hampir tidak ada penyebutan masalah HAM dari para pemimpin negara terkaya di dunia, tampaknya tidak berminat untuk tunduk pada tekanan internasional.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda