Hamas Ogah Gencatan Senjata Tanpa Israel Akhiri Perang Gaza
Minggu, 05 Mei 2024 - 13:29 WIB
Mediator dari Mesir, Qatar dan Amerika Serikat (AS) telah menunggu Hamas untuk menanggapi proposal yang akan menghentikan pertempuran selama 40 hari dan menukar sandera dengan tahanan Palestina di penjara-penjara Israel, menurut rincian yang dikeluarkan oleh Inggris.
Meskipun telah dilakukan diplomasi selama berbulan-bulan antara pihak-pihak yang bertikai, para mediator tidak mampu menengahi gencatan senjata baru seperti gencatan senjata selama seminggu yang menghasilkan 105 sandera yang dibebaskan pada bulan November lalu—di antara mereka adalah warga Israel yang ditukar dengan warga Palestina yang ditahan oleh Israel.
Pejabat Hamas mengatakan pada Sabtu malam bahwa perundingan berakhir pada hari itu setelah “tidak ada perkembangan”.
“Hamas telah meminta agar perjanjian tersebut memuat ketentuan yang jelas dan eksplisit yang menyatakan, 'Perjanjian mengenai gencatan senjata yang lengkap dan permanen’, dan sejauh ini Israel menolak poin tersebut hingga saat ini,” kata pejabat tersebut.
Hamas mengatakan hambatan utama adalah desakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mengirimkan pasukan darat ke Rafah, kota Gaza selatan yang dipenuhi warga sipil yang mengungsi.
Washington telah berulang kali mengatakan bahwa mereka menentang operasi militer apa pun di Rafah yang membahayakan 1,2 juta warga sipil yang berlindung di sana.
“Kami sangat ingin mencapai kesepakatan, namun tidak dengan mengorbankan apa pun,” kata pejabat Hamas tersebut, seraya menambahkan bahwa jika tidak ada kesepakatan yang tercapai, Israel akan memikul tanggung jawab penuh karena bersikeras memasuki Rafah—alih-alih menghentikan agresi.
“Netanyahu secara pribadi menghalangi kesepakatan gencatan senjata di Gaza karena kepentingan pribadi,” ujarnya, dan memperingatkan bahwa jika Israel melanjutkan rencana serangan darat di Rafah, maka hal itu akan membahayakan rezim Zionis sendiri.
“Kami memastikan bahwa invasi ke Rafah bukanlah hal yang mudah, dan [rezim] pendudukan akan membayar mahal atas setiap petualangan yang mereka lakukan, dan itu akan berakhir dengan kegagalan,” katanya.
Meskipun telah dilakukan diplomasi selama berbulan-bulan antara pihak-pihak yang bertikai, para mediator tidak mampu menengahi gencatan senjata baru seperti gencatan senjata selama seminggu yang menghasilkan 105 sandera yang dibebaskan pada bulan November lalu—di antara mereka adalah warga Israel yang ditukar dengan warga Palestina yang ditahan oleh Israel.
Pejabat Hamas mengatakan pada Sabtu malam bahwa perundingan berakhir pada hari itu setelah “tidak ada perkembangan”.
“Hamas telah meminta agar perjanjian tersebut memuat ketentuan yang jelas dan eksplisit yang menyatakan, 'Perjanjian mengenai gencatan senjata yang lengkap dan permanen’, dan sejauh ini Israel menolak poin tersebut hingga saat ini,” kata pejabat tersebut.
Nasib Rafah Mencemaskan
Hamas mengatakan hambatan utama adalah desakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mengirimkan pasukan darat ke Rafah, kota Gaza selatan yang dipenuhi warga sipil yang mengungsi.
Washington telah berulang kali mengatakan bahwa mereka menentang operasi militer apa pun di Rafah yang membahayakan 1,2 juta warga sipil yang berlindung di sana.
“Kami sangat ingin mencapai kesepakatan, namun tidak dengan mengorbankan apa pun,” kata pejabat Hamas tersebut, seraya menambahkan bahwa jika tidak ada kesepakatan yang tercapai, Israel akan memikul tanggung jawab penuh karena bersikeras memasuki Rafah—alih-alih menghentikan agresi.
“Netanyahu secara pribadi menghalangi kesepakatan gencatan senjata di Gaza karena kepentingan pribadi,” ujarnya, dan memperingatkan bahwa jika Israel melanjutkan rencana serangan darat di Rafah, maka hal itu akan membahayakan rezim Zionis sendiri.
“Kami memastikan bahwa invasi ke Rafah bukanlah hal yang mudah, dan [rezim] pendudukan akan membayar mahal atas setiap petualangan yang mereka lakukan, dan itu akan berakhir dengan kegagalan,” katanya.
tulis komentar anda