Pangeran Arab Saudi: Kerajaan Akan Akui Negara Israel Jika....

Kamis, 18 Januari 2024 - 10:30 WIB
Pangeran Faisal bin Farhan al-Saud menyatakan Kerajaan Arab Saudi akan akui Negara Israel jika kesepakatan komprehensif tercapai, mencakup pendirian Negara Palestina yang merdeka. Foto/REUTERS
DAVOS - Pangeran Faisal bin Farhan dari Kerajaan Arab Saudi mengatakan Riyadh akan mengakui Negara Israel jika kesepakatan komprehensif tercapai, yang mencakup berdirinya Negara Israel yang merdeka.

Pernyataan Pangeran Faisal, yang merupakan Menteri Luar Negeri Arab Saudi, disampaikan di sebuah panel di Forum Ekonomi Dunia di Davos.

Komentar itu muncul ketika perang Israel melawan di Gaza tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.





“Kami setuju bahwa perdamaian regional mencakup perdamaian bagi Israel, namun hal itu hanya dapat terjadi melalui perdamaian bagi Palestina, melalui [pendirian] Negara Palestina,” kata Pangeran Faisal, seperti dikutip dari New Arab, Kamis (18/1/2024).

Ketika ditanya apakah Kerajaan Arab Saudi akan mengakui Negara Israel sebagai bagian dari perjanjian politik yang lebih luas tersebut, dia menjawab: “Tentu saja.”

Pangeran Faisal mengatakan menjaga perdamaian regional melalui pembentukan Negara Palestina adalah sesuatu yang telah dikerjakan Kerajaan Arab Saudi bersama pemerintah Amerika Serikat. "Dan ini lebih relevan dalam konteks Gaza," ujarnya.

Mendapatkan kesepakatan normalisasi dengan Arab Saudi akan menjadi hadiah utama bagi Israel setelah Israel menjalin hubungan diplomatik dengan Uni Emirat Arab, Bahrain dan Maroko, dan dapat mengubah geopolitik Timur Tengah.

Kerajaan ini, negara paling kuat di dunia Arab dan rumah bagi situs-situs paling suci dalam Islam, memiliki pengaruh keagamaan yang besar di seluruh dunia.

Setelah pecahnya perang Gaza pada bulan Oktober lalu, Arab Saudi menunda rencana yang didukung AS agar kerajaan tersebut menormalisasi hubungan dengan Israel, kata dua sumber yang mengetahui pemikiran Riyadh, dalam penataan ulang prioritas diplomatiknya.

Kedua sumber tersebut mengatakan kepada Reuters bahwa akan ada penundaan dalam perundingan yang didukung AS mengenai normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel, yang dipandang sebagai langkah penting bagi kerajaan tersebut untuk mendapatkan imbalan nyata dari pakta pertahanan AS sebagai imbalannya.

Sebelum dimulainya perang Gaza pada tanggal 7 Oktober, baik pemimpin Israel maupun Arab Saudi telah mengisyaratkan bahwa mereka terus bergerak menuju pembentukan hubungan diplomatik yang dapat mengubah Timur Tengah.

Palestina menginginkan sebuah negara di wilayah yang direbut Israel dalam perang tahun 1967, dengan Yerusalem Timur yang diduduki sebagai ibu kotanya. Negosiasi yang disponsori AS dengan Israel untuk mencapai tujuan tersebut terhenti lebih dari satu dekade lalu.

Di antara rintangan yang dihadapi adalah pemukiman Israel di tanah yang diduduki, dan perselisihan antara otoritas Palestina yang didukung Barat dan Hamas yang menolak hidup berdampingan dengan Israel.

“Ada jalan menuju masa depan yang lebih baik bagi kawasan ini, bagi Palestina, dan bagi Israel, yaitu perdamaian, dan kami berkomitmen penuh untuk mewujudkannya,” kata Pangeran Faisal.

"...gencatan senjata di semua pihak harus menjadi titik awal bagi perdamaian permanen dan berkelanjutan, yang hanya dapat terjadi melalui keadilan terhadap rakyat Palestina."

Pemerintahan sayap kanan Israel telah mengecilkan prospek mereka memberikan konsesi yang signifikan kepada Palestina sebagai bagian dari potensi kesepakatan normalisasi dengan Arab Saudi.

Perang di Gaza dimulai ketika Hamas menyerbu Israel selatan pada tanggal 7 Oktober, menewaskan sekitar 1.139 orang dan menyandera 240 orang. Israel mengatakan lebih dari 130 orang masih ditahan.

Hamas mengatakan serangan itu terjadi sebagai respons terhadap blokade Israel selama beberapa dekade di Gaza dan agresi terhadap rakyat Palestina, baik di wilayah kantong yang terkepung maupun wilayah pendudukan.

Pengepungan, pengeboman, dan invasi darat Israel ke Gaza sejak 7 Oktober telah menghancurkan wilayah pesisir kecil tersebut dan menewaskan lebih dari 24.000 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak.

Perang ini telah menimbulkan kekhawatiran akan ketidakstabilan regional yang lebih luas. Hizbullah Lebanon yang didukung Iran sering bentrok di sepanjang perbatasan dengan Israel, sementara milisi pro-Iran menyerang sasaran AS di Irak.

Serangan yang dilakukan oleh kelompok Houthi yang bersekutu dengan Iran di Yaman telah mengganggu pelayaran di Laut Merah dan mereka mengatakan bahwa mereka tidak akan berhenti sampai Israel menghentikan pengeboman mereka di Gaza.
(mas)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More