Bingung dengan Konflik Israel-Palestina? Ini Panduan Sejarah untuk Memahaminya
Kamis, 12 Oktober 2023 - 02:25 WIB
GAZA - Konflik Israel-Palestina telah merenggut puluhan ribu nyawa dan membuat jutaan orang mengungsi berakar pada tindakan kolonial yang dilakukan lebih dari satu abad yang lalu.
Ketika Israel mendeklarasikan perang terhadap Jalur Gaza setelah serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh kelompok perlawanan Palestina; Hamas, pada hari Sabtu, mata dunia kembali terfokus pada apa yang mungkin terjadi selanjutnya.
Operasi Badai al-Aqsa yang diluncurkan Hamas pada Sabtu lalu telah menewaskan 1.200 orang Israel—angka yang dikonfirmasi Pasukan Pertahanan Israel (IDF) pada Rabu (11/10/2023).
Sebagai tanggapan, Israel melancarkan kampanye pengeboman bernama Operasi Pedang Besi terhadap Jalur Gaza, menewaskan lebih dari 1.100 warga Palestina. Mereka telah memobilisasi pasukan di sepanjang perbatasan Gaza, tampaknya untuk persiapan serangan darat.
Pada hari Senin, Israel mengumumkan “blokade total” terhadap Jalur Gaza, menghentikan pasokan makanan, bahan bakar dan komoditas penting lainnya ke wilayah kantong Palestina yang sudah terkepung tersebut, sebuah tindakan yang menurut hukum internasional merupakan kejahatan perang.
Namun apa yang terjadi dalam beberapa hari dan minggu mendatang akan menjadi sejarah.
Selama beberapa dekade, media Barat, akademisi, pakar militer, dan pemimpin dunia menggambarkan konflik Israel-Palestina sebagai konflik yang sulit diselesaikan, rumit, dan menemui jalan buntu.
Berikut panduan sejarah sederhana untuk memecahkan salah satu konflik yang paling lama berlangsung di dunia ini, seperti dikutip dari Al Jazeera:
Lebih dari 100 tahun yang lalu, pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, menulis surat yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris.
Surat tersebut memang singkat—hanya 67 kata—namun isinya memberikan dampak seismik terhadap Palestina yang masih terasa hingga saat ini.
Perjanjian ini mengikat pemerintah Inggris untuk “mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina” dan memfasilitasi “pencapaian tujuan ini”. Surat tersebut dikenal dengan Deklarasi Balfour.
Intinya, kekuatan Eropa menjanjikan gerakan Zionis sebuah negara di mana lebih dari 90 persen penduduknya adalah penduduk asli Arab Palestina.
Mandat Inggris dibentuk pada tahun 1923 dan berlangsung hingga tahun 1948. Selama periode tersebut, Inggris memfasilitasi imigrasi massal orang Yahudi—banyak penduduk baru yang melarikan diri dari Nazisme di Eropa—dan mereka juga menghadapi protes dan pemogokan. Warga Palestina khawatir dengan perubahan demografi negara mereka dan penyitaan tanah mereka oleh Inggris untuk diserahkan kepada pemukim Yahudi.
Meningkatnya ketegangan akhirnya menyebabkan Pemberontakan Arab, yang berlangsung dari tahun 1936 hingga 1939.
Pada bulan April 1936, Komite Nasional Arab yang baru dibentuk meminta warga Palestina untuk melancarkan pemogokan umum, menahan pembayaran pajak dan memboikot produk-produk Yahudi untuk memprotes kolonialisme Inggris dan meningkatnya imigrasi Yahudi.
Pemogokan selama enam bulan tersebut ditindas secara brutal oleh Inggris, yang melancarkan kampanye penangkapan massal dan melakukan penghancuran rumah, sebuah praktik yang terus diterapkan Israel terhadap warga Palestina hingga saat ini.
Fase kedua pemberontakan dimulai pada akhir tahun 1937 dan dipimpin oleh gerakan perlawanan petani Palestina, yang menargetkan kekuatan Inggris dan kolonialisme.
Pada paruh kedua tahun 1939, Inggris telah mengerahkan 30.000 tentara di Palestina. Desa-desa dibom melalui udara, jam malam diberlakukan, rumah-rumah dihancurkan, dan penahanan administratif serta pembunuhan massal tersebar luas.
Bersamaan dengan itu, Inggris berkolaborasi dengan komunitas pemukim Yahudi dan membentuk kelompok bersenjata dan “pasukan kontra pemberontakan” yang terdiri dari para milisi Yahudi bernama Pasukan Malam Khusus yang dipimpin Inggris.
Di dalam Yishuv, komunitas pemukim pra-negara, senjata diimpor secara diam-diam dan pabrik senjata didirikan untuk memperluas Haganah, paramiliter Yahudi yang kemudian menjadi inti tentara Israel.
Dalam tiga tahun pemberontakan tersebut, 5.000 warga Palestina terbunuh, 15.000 hingga 20.000 orang terluka dan 5.600 orang dipenjarakan.
Pada tahun 1947, populasi Yahudi telah membengkak menjadi 33 persen di Palestina, namun mereka hanya memiliki 6 persen tanah.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Resolusi 181, yang menyerukan pembagian Palestina menjadi negara-negara Arab dan Yahudi.
Palestina menolak rencana tersebut karena rencana tersebut memberikan sekitar 56 persen wilayah Palestina kepada negara Yahudi, termasuk sebagian besar wilayah pesisir yang subur.
Pada saat itu, orang-orang Palestina memiliki 94 persen wilayah Palestina yang bersejarah dan mencakup 67 persen wilayah persen dari populasinya.
Bahkan sebelum Mandat Inggris berakhir pada 14 Mei 1948, paramiliter Zionis sudah memulai operasi militer untuk menghancurkan kota-kota dan desa-desa Palestina guna memperluas perbatasan negara Zionis yang akan lahir.
Pada bulan April 1948, lebih dari 100 pria, wanita dan anak-anak Palestina dibunuh di desa Deir Yassin di pinggiran Yerusalem.
Hal ini menentukan jalannya operasi selanjutnya, dan dari tahun 1947 hingga 1949, lebih dari 500 desa, kota kecil dan besar di Palestina dihancurkan dalam apa yang oleh orang Palestina disebut sebagai Nakba, atau “malapetaka” dalam bahasa Arab. Diperkirakan 15.000 warga Palestina terbunuh, termasuk dalam puluhan pembantaian.
Gerakan Zionis menguasai 78 persen wilayah bersejarah Palestina. Sisanya yang sebesar 22 persen dibagi menjadi wilayah yang sekarang menjadi Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza yang terkepung.
Diperkirakan 750.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka. Saat ini keturunan mereka hidup sebagai enam juta pengungsi di 58 kamp kumuh di seluruh Palestina dan di negara-negara tetangga seperti Lebanon, Suriah, Yordania dan Mesir.
Pada tanggal 15 Mei 1948, Israel mengumumkan pendiriannya.
Keesokan harinya, perang Arab-Israel pertama dimulai dan pertempuran berakhir pada Januari 1949 setelah gencatan senjata antara Israel dan Mesir, Lebanon, Yordania dan Suriah.
Pada bulan Desember 1948, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 194, yang menyerukan hak untuk kembali bagi pengungsi Palestina.
Setidaknya 150.000 warga Palestina tetap tinggal di negara Israel yang baru dibentuk dan hidup di bawah pendudukan militer yang dikontrol ketat selama hampir 20 tahun sebelum mereka akhirnya diberikan kewarganegaraan Israel.
Mesir mengambil alih Jalur Gaza, dan pada tahun 1950, Yordania memulai pemerintahan administratifnya atas Tepi Barat.
Pada tahun 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dibentuk, dan setahun kemudian, partai politik Fatah didirikan.
Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel menduduki sisa wilayah bersejarah Palestina, termasuk Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan Suriah, dan Semenanjung Sinai Mesir selama Perang Enam Hari melawan koalisi tentara Arab.
Bagi sebagian warga Palestina, hal ini menyebabkan perpindahan paksa kedua, atau Naksa, yang berarti “kemunduran” dalam bahasa Arab.
Pada bulan Desember 1967, Front Populer Marxis-Leninis untuk Pembebasan Palestina dibentuk. Selama dekade berikutnya, serangkaian serangan dan pembajakan pesawat oleh kelompok sayap kiri menarik perhatian dunia terhadap penderitaan rakyat Palestina.
Pembangunan pemukiman dimulai di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diduduki. Sistem dua tingkat diciptakan di mana pemukim Yahudi diberikan semua hak dan keistimewaan sebagai warga negara Israel sedangkan warga Palestina harus hidup di bawah pendudukan militer yang mendiskriminasi mereka dan melarang segala bentuk ekspresi politik atau sipil.
Intifada Palestina pertama pecah di Jalur Gaza pada bulan Desember 1987 setelah empat warga Palestina tewas ketika sebuah truk Israel bertabrakan dengan dua van yang membawa pekerja Palestina.
Protes menyebar dengan cepat ke Tepi Barat dengan pemuda Palestina melemparkan batu ke tank dan tentara Israel.
Hal ini juga menyebabkan berdirinya gerakan Hamas, sebuah cabang dari Ikhwanul Muslimin yang terlibat dalam perlawanan bersenjata melawan pendudukan Israel.
Respons keras tentara Israel dirangkum dalam kebijakan “Patah Tulang Mereka” yang dianjurkan oleh Menteri Pertahanan saat itu, Yitzhak Rabin. Aksi ini mencakup pembunuhan mendadak, penutupan universitas, deportasi aktivis, dan penghancuran rumah.
Intifada terutama dilakukan oleh kaum muda dan diarahkan oleh Kepemimpinan Nasional Terpadu Pemberontakan, sebuah koalisi faksi politik Palestina yang berkomitmen untuk mengakhiri pendudukan Israel dan membangun kemerdekaan Palestina.
Pada tahun 1988, Liga Arab mengakui PLO sebagai satu-satunya perwakilan rakyat Palestina.
Intifada ditandai dengan mobilisasi rakyat, protes massal, pembangkangan sipil, pemogokan yang terorganisir dengan baik, dan kerja sama komunal.
Menurut organisasi hak asasi manusia Israel; B’Tselem, 1.070 warga Palestina dibunuh oleh pasukan Israel selama Intifada, termasuk 237 anak-anak. Lebih dari 175.000 warga Palestina ditangkap.
Intifada juga mendorong komunitas internasional untuk mencari solusi atas konflik tersebut.
Intifada berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Oslo pada tahun 1993 dan pembentukan Otoritas Palestina (PA), sebuah pemerintahan sementara yang diberikan pemerintahan mandiri terbatas di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Jalur Gaza.
PLO mengakui Israel berdasarkan solusi dua negara dan secara efektif menandatangani perjanjian yang memberikan Israel kendali atas 60 persen wilayah Tepi Barat, serta sebagian besar sumber daya tanah dan air di wilayah tersebut.
PA seharusnya memberi jalan bagi pemerintah Palestina terpilih pertama yang menjalankan negara merdeka di Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan ibu kotanya di Yerusalem Timur, namun hal itu tidak pernah terjadi.
Kritik terhadap PA memandangnya sebagai subkontraktor korup bagi pendudukan Israel yang bekerja sama erat dengan militer Israel dalam menekan perbedaan pendapat dan aktivisme politik melawan Israel.
Pada tahun 1995, Israel membangun pagar elektronik dan tembok beton di sekitar Jalur Gaza, menghentikan interaksi antara wilayah Palestina yang terpecah.
Intifada kedua dimulai pada tanggal 28 September 2000, ketika pemimpin oposisi dari Partai Likud Ariel Sharon melakukan kunjungan provokatif ke kompleks Masjid Al-Aqsa dengan ribuan pasukan keamanan dikerahkan di dalam dan sekitar Kota Tua Yerusalem.
Bentrokan antara pengunjuk rasa Palestina dan pasukan Israel menewaskan lima warga Palestina dan melukai 200 orang selama dua hari.
Insiden ini memicu pemberontakan bersenjata yang meluas. Selama Intifada, Israel menyebabkan kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap perekonomian dan infrastruktur Palestina.
Israel menduduki kembali wilayah yang diperintah oleh Otoritas Palestina dan memulai pembangunan tembok pemisah yang seiring dengan maraknya pembangunan pemukiman, menghancurkan mata pencaharian dan komunitas warga Palestina.
Pemukiman ilegal menurut hukum internasional, namun selama bertahun-tahun, ratusan ribu pemukim Yahudi pindah ke koloni yang dibangun di atas tanah Palestina yang dicuri. Ruang bagi warga Palestina semakin menyusut karena jalan-jalan dan infrastruktur yang hanya diperuntukkan bagi pemukim membelah Tepi Barat yang diduduki, memaksa kota-kota Palestina menjadi bantustan, yaitu daerah kantong terisolasi bagi warga kulit hitam Afrika Selatan yang diciptakan oleh rezim apartheid di negara tersebut.
Pada saat Perjanjian Oslo ditandatangani, lebih dari 110.000 pemukim Yahudi tinggal di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur. Saat ini, jumlahnya mencapai lebih dari 700.000 orang yang tinggal di lebih dari 100.000 hektare (390 mil persegi) tanah yang diambil alih dari Palestina.
Pemimpin PLO Yasser Arafat meninggal pada tahun 2004, dan setahun kemudian, Intifada Kedua berakhir, pemukiman Israel di Jalur Gaza dibongkar, dan tentara Israel serta 9.000 pemukim meninggalkan daerah kantong tersebut.
Setahun kemudian, warga Palestina memberikan suara dalam pemilihan umum untuk pertama kalinya.
Hamas memenangkan mayoritas. Namun, pecah perang saudara Fatah-Hamas yang berlangsung berbulan-bulan dan mengakibatkan kematian ratusan warga Palestina.
Hamas mengusir Fatah dari Jalur Gaza, dan Fatah—partai utama Otoritas Palestina—kembali menguasai sebagian Tepi Barat.
Pada bulan Juni 2007, Israel memberlakukan blokade darat, udara dan laut di Jalur Gaza, menuduh Hamas melakukan “terorisme”.
Israel telah melancarkan empat serangan militer berkepanjangan di Gaza: pada tahun 2008, 2012, 2014 dan 2021. Ribuan warga Palestina telah terbunuh, termasuk banyak anak-anak, dan puluhan ribu rumah, sekolah, dan gedung perkantoran telah hancur.
Pembangunan kembali hampir mustahil dilakukan karena pengepungan tersebut menghalangi material konstruksi, seperti baja dan semen, mencapai Gaza.
Serangan tahun 2008 melibatkan penggunaan senjata yang dilarang secara internasional, seperti gas fosfor.
Pada tahun 2014, dalam kurun waktu 50 hari, Israel membunuh lebih dari 2.100 warga Palestina, termasuk 1.462 warga sipil dan hampir 500 anak-anak.
Selama serangan tersebut, yang disebut Operasi Pelindung Tepi oleh Israel, sekitar 11.000 warga Palestina terluka, 20.000 rumah hancur dan setengah juta orang mengungsi.
Ketika Israel mendeklarasikan perang terhadap Jalur Gaza setelah serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh kelompok perlawanan Palestina; Hamas, pada hari Sabtu, mata dunia kembali terfokus pada apa yang mungkin terjadi selanjutnya.
Operasi Badai al-Aqsa yang diluncurkan Hamas pada Sabtu lalu telah menewaskan 1.200 orang Israel—angka yang dikonfirmasi Pasukan Pertahanan Israel (IDF) pada Rabu (11/10/2023).
Sebagai tanggapan, Israel melancarkan kampanye pengeboman bernama Operasi Pedang Besi terhadap Jalur Gaza, menewaskan lebih dari 1.100 warga Palestina. Mereka telah memobilisasi pasukan di sepanjang perbatasan Gaza, tampaknya untuk persiapan serangan darat.
Pada hari Senin, Israel mengumumkan “blokade total” terhadap Jalur Gaza, menghentikan pasokan makanan, bahan bakar dan komoditas penting lainnya ke wilayah kantong Palestina yang sudah terkepung tersebut, sebuah tindakan yang menurut hukum internasional merupakan kejahatan perang.
Namun apa yang terjadi dalam beberapa hari dan minggu mendatang akan menjadi sejarah.
Selama beberapa dekade, media Barat, akademisi, pakar militer, dan pemimpin dunia menggambarkan konflik Israel-Palestina sebagai konflik yang sulit diselesaikan, rumit, dan menemui jalan buntu.
Berikut panduan sejarah sederhana untuk memecahkan salah satu konflik yang paling lama berlangsung di dunia ini, seperti dikutip dari Al Jazeera:
Deklarasi Balfour
Lebih dari 100 tahun yang lalu, pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, menulis surat yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris.
Surat tersebut memang singkat—hanya 67 kata—namun isinya memberikan dampak seismik terhadap Palestina yang masih terasa hingga saat ini.
Perjanjian ini mengikat pemerintah Inggris untuk “mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina” dan memfasilitasi “pencapaian tujuan ini”. Surat tersebut dikenal dengan Deklarasi Balfour.
Intinya, kekuatan Eropa menjanjikan gerakan Zionis sebuah negara di mana lebih dari 90 persen penduduknya adalah penduduk asli Arab Palestina.
Mandat Inggris dibentuk pada tahun 1923 dan berlangsung hingga tahun 1948. Selama periode tersebut, Inggris memfasilitasi imigrasi massal orang Yahudi—banyak penduduk baru yang melarikan diri dari Nazisme di Eropa—dan mereka juga menghadapi protes dan pemogokan. Warga Palestina khawatir dengan perubahan demografi negara mereka dan penyitaan tanah mereka oleh Inggris untuk diserahkan kepada pemukim Yahudi.
Apa yang Terjadi pada 1930-an?
Meningkatnya ketegangan akhirnya menyebabkan Pemberontakan Arab, yang berlangsung dari tahun 1936 hingga 1939.
Pada bulan April 1936, Komite Nasional Arab yang baru dibentuk meminta warga Palestina untuk melancarkan pemogokan umum, menahan pembayaran pajak dan memboikot produk-produk Yahudi untuk memprotes kolonialisme Inggris dan meningkatnya imigrasi Yahudi.
Pemogokan selama enam bulan tersebut ditindas secara brutal oleh Inggris, yang melancarkan kampanye penangkapan massal dan melakukan penghancuran rumah, sebuah praktik yang terus diterapkan Israel terhadap warga Palestina hingga saat ini.
Fase kedua pemberontakan dimulai pada akhir tahun 1937 dan dipimpin oleh gerakan perlawanan petani Palestina, yang menargetkan kekuatan Inggris dan kolonialisme.
Pada paruh kedua tahun 1939, Inggris telah mengerahkan 30.000 tentara di Palestina. Desa-desa dibom melalui udara, jam malam diberlakukan, rumah-rumah dihancurkan, dan penahanan administratif serta pembunuhan massal tersebar luas.
Bersamaan dengan itu, Inggris berkolaborasi dengan komunitas pemukim Yahudi dan membentuk kelompok bersenjata dan “pasukan kontra pemberontakan” yang terdiri dari para milisi Yahudi bernama Pasukan Malam Khusus yang dipimpin Inggris.
Di dalam Yishuv, komunitas pemukim pra-negara, senjata diimpor secara diam-diam dan pabrik senjata didirikan untuk memperluas Haganah, paramiliter Yahudi yang kemudian menjadi inti tentara Israel.
Dalam tiga tahun pemberontakan tersebut, 5.000 warga Palestina terbunuh, 15.000 hingga 20.000 orang terluka dan 5.600 orang dipenjarakan.
Apa Rencana Pembagian PBB?
Pada tahun 1947, populasi Yahudi telah membengkak menjadi 33 persen di Palestina, namun mereka hanya memiliki 6 persen tanah.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Resolusi 181, yang menyerukan pembagian Palestina menjadi negara-negara Arab dan Yahudi.
Palestina menolak rencana tersebut karena rencana tersebut memberikan sekitar 56 persen wilayah Palestina kepada negara Yahudi, termasuk sebagian besar wilayah pesisir yang subur.
Pada saat itu, orang-orang Palestina memiliki 94 persen wilayah Palestina yang bersejarah dan mencakup 67 persen wilayah persen dari populasinya.
Nakba 1948 dan Pembersihan Etnis Palestina
Bahkan sebelum Mandat Inggris berakhir pada 14 Mei 1948, paramiliter Zionis sudah memulai operasi militer untuk menghancurkan kota-kota dan desa-desa Palestina guna memperluas perbatasan negara Zionis yang akan lahir.
Pada bulan April 1948, lebih dari 100 pria, wanita dan anak-anak Palestina dibunuh di desa Deir Yassin di pinggiran Yerusalem.
Hal ini menentukan jalannya operasi selanjutnya, dan dari tahun 1947 hingga 1949, lebih dari 500 desa, kota kecil dan besar di Palestina dihancurkan dalam apa yang oleh orang Palestina disebut sebagai Nakba, atau “malapetaka” dalam bahasa Arab. Diperkirakan 15.000 warga Palestina terbunuh, termasuk dalam puluhan pembantaian.
Gerakan Zionis menguasai 78 persen wilayah bersejarah Palestina. Sisanya yang sebesar 22 persen dibagi menjadi wilayah yang sekarang menjadi Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza yang terkepung.
Diperkirakan 750.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka. Saat ini keturunan mereka hidup sebagai enam juta pengungsi di 58 kamp kumuh di seluruh Palestina dan di negara-negara tetangga seperti Lebanon, Suriah, Yordania dan Mesir.
Pada tanggal 15 Mei 1948, Israel mengumumkan pendiriannya.
Keesokan harinya, perang Arab-Israel pertama dimulai dan pertempuran berakhir pada Januari 1949 setelah gencatan senjata antara Israel dan Mesir, Lebanon, Yordania dan Suriah.
Pada bulan Desember 1948, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 194, yang menyerukan hak untuk kembali bagi pengungsi Palestina.
Tahun-tahun setelah Nakba
Setidaknya 150.000 warga Palestina tetap tinggal di negara Israel yang baru dibentuk dan hidup di bawah pendudukan militer yang dikontrol ketat selama hampir 20 tahun sebelum mereka akhirnya diberikan kewarganegaraan Israel.
Mesir mengambil alih Jalur Gaza, dan pada tahun 1950, Yordania memulai pemerintahan administratifnya atas Tepi Barat.
Pada tahun 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dibentuk, dan setahun kemudian, partai politik Fatah didirikan.
Naksa atau Perang Enam Hari dan Permukimannya
Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel menduduki sisa wilayah bersejarah Palestina, termasuk Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan Suriah, dan Semenanjung Sinai Mesir selama Perang Enam Hari melawan koalisi tentara Arab.
Bagi sebagian warga Palestina, hal ini menyebabkan perpindahan paksa kedua, atau Naksa, yang berarti “kemunduran” dalam bahasa Arab.
Pada bulan Desember 1967, Front Populer Marxis-Leninis untuk Pembebasan Palestina dibentuk. Selama dekade berikutnya, serangkaian serangan dan pembajakan pesawat oleh kelompok sayap kiri menarik perhatian dunia terhadap penderitaan rakyat Palestina.
Pembangunan pemukiman dimulai di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diduduki. Sistem dua tingkat diciptakan di mana pemukim Yahudi diberikan semua hak dan keistimewaan sebagai warga negara Israel sedangkan warga Palestina harus hidup di bawah pendudukan militer yang mendiskriminasi mereka dan melarang segala bentuk ekspresi politik atau sipil.
Intifada Pertama 1987-1993
Intifada Palestina pertama pecah di Jalur Gaza pada bulan Desember 1987 setelah empat warga Palestina tewas ketika sebuah truk Israel bertabrakan dengan dua van yang membawa pekerja Palestina.
Protes menyebar dengan cepat ke Tepi Barat dengan pemuda Palestina melemparkan batu ke tank dan tentara Israel.
Hal ini juga menyebabkan berdirinya gerakan Hamas, sebuah cabang dari Ikhwanul Muslimin yang terlibat dalam perlawanan bersenjata melawan pendudukan Israel.
Respons keras tentara Israel dirangkum dalam kebijakan “Patah Tulang Mereka” yang dianjurkan oleh Menteri Pertahanan saat itu, Yitzhak Rabin. Aksi ini mencakup pembunuhan mendadak, penutupan universitas, deportasi aktivis, dan penghancuran rumah.
Intifada terutama dilakukan oleh kaum muda dan diarahkan oleh Kepemimpinan Nasional Terpadu Pemberontakan, sebuah koalisi faksi politik Palestina yang berkomitmen untuk mengakhiri pendudukan Israel dan membangun kemerdekaan Palestina.
Pada tahun 1988, Liga Arab mengakui PLO sebagai satu-satunya perwakilan rakyat Palestina.
Intifada ditandai dengan mobilisasi rakyat, protes massal, pembangkangan sipil, pemogokan yang terorganisir dengan baik, dan kerja sama komunal.
Menurut organisasi hak asasi manusia Israel; B’Tselem, 1.070 warga Palestina dibunuh oleh pasukan Israel selama Intifada, termasuk 237 anak-anak. Lebih dari 175.000 warga Palestina ditangkap.
Intifada juga mendorong komunitas internasional untuk mencari solusi atas konflik tersebut.
PerjanjianOslo dan Otoritas Palestina
Intifada berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Oslo pada tahun 1993 dan pembentukan Otoritas Palestina (PA), sebuah pemerintahan sementara yang diberikan pemerintahan mandiri terbatas di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Jalur Gaza.
PLO mengakui Israel berdasarkan solusi dua negara dan secara efektif menandatangani perjanjian yang memberikan Israel kendali atas 60 persen wilayah Tepi Barat, serta sebagian besar sumber daya tanah dan air di wilayah tersebut.
PA seharusnya memberi jalan bagi pemerintah Palestina terpilih pertama yang menjalankan negara merdeka di Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan ibu kotanya di Yerusalem Timur, namun hal itu tidak pernah terjadi.
Kritik terhadap PA memandangnya sebagai subkontraktor korup bagi pendudukan Israel yang bekerja sama erat dengan militer Israel dalam menekan perbedaan pendapat dan aktivisme politik melawan Israel.
Pada tahun 1995, Israel membangun pagar elektronik dan tembok beton di sekitar Jalur Gaza, menghentikan interaksi antara wilayah Palestina yang terpecah.
Intifada Kedua
Intifada kedua dimulai pada tanggal 28 September 2000, ketika pemimpin oposisi dari Partai Likud Ariel Sharon melakukan kunjungan provokatif ke kompleks Masjid Al-Aqsa dengan ribuan pasukan keamanan dikerahkan di dalam dan sekitar Kota Tua Yerusalem.
Bentrokan antara pengunjuk rasa Palestina dan pasukan Israel menewaskan lima warga Palestina dan melukai 200 orang selama dua hari.
Insiden ini memicu pemberontakan bersenjata yang meluas. Selama Intifada, Israel menyebabkan kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap perekonomian dan infrastruktur Palestina.
Israel menduduki kembali wilayah yang diperintah oleh Otoritas Palestina dan memulai pembangunan tembok pemisah yang seiring dengan maraknya pembangunan pemukiman, menghancurkan mata pencaharian dan komunitas warga Palestina.
Pemukiman ilegal menurut hukum internasional, namun selama bertahun-tahun, ratusan ribu pemukim Yahudi pindah ke koloni yang dibangun di atas tanah Palestina yang dicuri. Ruang bagi warga Palestina semakin menyusut karena jalan-jalan dan infrastruktur yang hanya diperuntukkan bagi pemukim membelah Tepi Barat yang diduduki, memaksa kota-kota Palestina menjadi bantustan, yaitu daerah kantong terisolasi bagi warga kulit hitam Afrika Selatan yang diciptakan oleh rezim apartheid di negara tersebut.
Pada saat Perjanjian Oslo ditandatangani, lebih dari 110.000 pemukim Yahudi tinggal di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur. Saat ini, jumlahnya mencapai lebih dari 700.000 orang yang tinggal di lebih dari 100.000 hektare (390 mil persegi) tanah yang diambil alih dari Palestina.
Perpecahan Palestina dan Blokade Gaza
Pemimpin PLO Yasser Arafat meninggal pada tahun 2004, dan setahun kemudian, Intifada Kedua berakhir, pemukiman Israel di Jalur Gaza dibongkar, dan tentara Israel serta 9.000 pemukim meninggalkan daerah kantong tersebut.
Setahun kemudian, warga Palestina memberikan suara dalam pemilihan umum untuk pertama kalinya.
Hamas memenangkan mayoritas. Namun, pecah perang saudara Fatah-Hamas yang berlangsung berbulan-bulan dan mengakibatkan kematian ratusan warga Palestina.
Hamas mengusir Fatah dari Jalur Gaza, dan Fatah—partai utama Otoritas Palestina—kembali menguasai sebagian Tepi Barat.
Pada bulan Juni 2007, Israel memberlakukan blokade darat, udara dan laut di Jalur Gaza, menuduh Hamas melakukan “terorisme”.
Perang di Jalur Gaza
Israel telah melancarkan empat serangan militer berkepanjangan di Gaza: pada tahun 2008, 2012, 2014 dan 2021. Ribuan warga Palestina telah terbunuh, termasuk banyak anak-anak, dan puluhan ribu rumah, sekolah, dan gedung perkantoran telah hancur.
Pembangunan kembali hampir mustahil dilakukan karena pengepungan tersebut menghalangi material konstruksi, seperti baja dan semen, mencapai Gaza.
Serangan tahun 2008 melibatkan penggunaan senjata yang dilarang secara internasional, seperti gas fosfor.
Pada tahun 2014, dalam kurun waktu 50 hari, Israel membunuh lebih dari 2.100 warga Palestina, termasuk 1.462 warga sipil dan hampir 500 anak-anak.
Selama serangan tersebut, yang disebut Operasi Pelindung Tepi oleh Israel, sekitar 11.000 warga Palestina terluka, 20.000 rumah hancur dan setengah juta orang mengungsi.
(mas)
tulis komentar anda