Niger di Ambang Perang Besar, Harta Karun Tambang Uraniumnya Jadi Sorotan Dunia
Minggu, 06 Agustus 2023 - 11:14 WIB
NIAMEY - Niger, di bawah kekuasaan junta militer, di ambang perang besar setelah blok Afrika Barat bersiap intervensi militer untuk mengakhiri kudeta di sana.
Ketika ancaman perang besar menghantui negara itu, nasib tambang uraniumnya menjadi sorotan media-media internasional.
Junta militer melakukan kudeta pada 26 Juli dengan menggulingkan presiden terpilih Niger, Mohamed Bazoum. Presiden terguling yang mendapat dukungan blok Afrika Barat (ECOWAS) tersebut masih menjadi tahanan rumah.
ECOWAS telah mengultimatum junta Niger untuk mengakhiri kudeta hingga batas waktu hari Minggu (6/8/2023). Jika ultimatum tak indahkan, maka opsi intervensi militer diambil.
Niger telah menjadi produsen utama bijih uranium, memasok sekitar lima persen dari total kebutuhan dunia.
Niger juga memasok sekitar 25 persen bijih uranium Prancis, yang digunakan untuk pengayaan uranium untuk produksi tenaga nuklir, yang menghasilkan 70 persen listrik Prancis—mantan penjajah Niger.
Kekhawatiran tentang ketidakamanan di negara terbesar kedua di Afrika itu meningkat setelah junta menuduh Prancis berkomplot dengan presiden terguling Mohamed Bazoum untuk intervensi militer.
Perencana kudeta, Kolonel Amadou Abdramane, tidak memberikan bukti untuk pernyataannya yang disiarkan televisi. Namun, ECOWAS (Masyarakat Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat) mengultimatum junta untuk mengembalikan kekuasaan kepada Presiden Bazoum paling lambat hari ini atau akan menghadapi intervensi militer.
Mali dan Burkina Faso pasang badan untuk junta Niger, mengancam negara mana pun yang melakukan intervensi militer.
Ada juga kekhawatiran rezim militer baru dapat menggunakan sumber daya bijih uranium untuk menekan negara-negara kuat, termasuk Prancis dan blok Uni Eropa—yang sumber seperlima bijih uraniumnya dari tambang di Niger—bahkan ketika mereka menjatuhkan sanksi pada Niamey.
Ini menimbulkan momok rintangan baru bagi Uni Eropa (UE) ketika mencoba menghentikan pasokan bahan bakar nuklir dari Rusia, serupa dengan tantangan besar yang dihadapi blok tersebut untuk mengganti pasokan minyak dan gas dari Rusia.
UE masih mendapatkan sebagian besar bahan bakar nuklir uranium dan uranium alaminya dari Rosatom, perusahaan tenaga nuklir milik negara Rusia. Awal tahun ini, Parlemen Eropa memperdebatkan sanksi industri nuklir Rusia, tetapi ditunda.
Namun, Phuc Vinh Nguyen, pakar kebijakan energi di Jacques Delors Institute, mengatakan untuk saat ini, Prancis memiliki cadangan uranium yang cukup untuk krisis di Niger yang berlangsung beberapa tahun.
Untuk sementara, dia mengatakan pasar uranium global dapat kendur jika Niger jatuh ke dalam ketidakstabilan lebih lanjut.
“Uranium bisa disimpan dalam jangka waktu lama. Misalnya, Prancis memiliki uranium senilai dua hingga tiga tahun dalam penyimpanan strategis sehingga situasinya memiliki waktu untuk diselesaikan sebelum harus terburu-buru mengambil keputusan," katanya, seperti dikutip The National.
“Prancis sudah memiliki banyak pemasok dan dapat mengandalkan mereka jika perlu, termasuk Kanada dan Australia sebagai yang paling jelas."
“Biayanya sedikit lebih mahal tetapi dampak keseluruhan pada harga tidak akan sepenting apa yang terjadi dengan gas misalnya,” katanya, merujuk pada upaya Eropa untuk menghentikan pasokan gas Rusia.
Demikian pula, juru bicara UE Adalbert Jahnz mengatakan tidak ada risiko pasokan dalam krisis saat ini.
Meskipun hampir separuh penduduk Niger hidup dengan kurang dari dua dolar Amerika Serikat sehari, negara tersebut telah lama menjadi pemasok penting bijih uranium.
Perusahaan Prancis; Orano—sebelumnya Areva—telah menjadi pemain utama di negara Afrika Barat selama beberapa dekade dan mengoperasikan tambang uranium besar di sana.
Tambang uranium Somair milik perusahaan di Arlit diserang oleh militan terkait Al-Qaeda pada tahun 2013, menewaskan satu orang dan melukai 14 orang, dan lagi pada tahun 2016, meskipun tidak ada korban jiwa dalam serangan terakhir.
Niger adalah pemasok uranium alam terbesar kedua di UE pada 2022, setelah Kazakhstan. Data ini menurut badan Euratom blok tersebut.
Secara total, Kazakhstan, Niger, dan Kanada memasok 74 persen dari total pengiriman ke UE.
Tetapi bahkan jika pasokan Eropa aman untuk saat ini, dalam jangka panjang ada kekhawatiran akan keamanan keseluruhan Niger di tengah pemberontakan Islamis di perbatasannya—melintasi wilayah Sahel dan ke Nigeria—yang telah berjuang untuk menahan kelompok Boko Haram yang sangat kejam.
Negara-negara di seluruh Sahel mendapat manfaat dari kerja sama keamanan Barat, tetapi ini secara bertahap menghilang di tengah kudeta di Mali pada 2020 dan 2021, yang menyebabkan Prancis menarik pasukannya.
Fola Ainu, seorang pakar di Royal United Services Institute London, mengatakan kepada The National bahwa tidak ada solusi yang jelas untuk Niger memutuskan hubungan keamanan dengan sekutu Barat dalam operasi kontraterorisme.
"Rezim harus memikul tanggung jawab untuk memimpin operasi kontraterorisme di seluruh wilayah yang juga berarti mitra internasional memandang ke atas dan menyediakannya dengan dukungan yang dibutuhkannya,” katanya.
“Sayangnya Senegal tidak mampu melakukan ini dan Ghana, di sisi lain, sedang sibuk.”
Situasi Niger yang sudah rapuh juga telah memburuk di bidang ekonomi, menurut Rida Lyammouri, senior fellow di lembaga think tank Policy Centre for the New South, yang berbasis di Maroko.
Sekarang tidak jelas siapa yang akan turun tangan untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh penarikan ratusan juta dolar bantuan pembangunan oleh AS dan UE.
"Pekerjaan pembangunan yang signifikan dilakukan oleh mitra selain negara-negara Barat," katanya.
"China dan Turki memiliki proyek pembangunan ekonomi besar yang sedang berlangsung di Niger dan kemungkinan tidak akan terpengaruh oleh hasil dari krisis yang sedang berlangsung," ujarnya.
"Uni Eropa, Prancis, Jerman, dan AS adalah donor bantuan utama ke Niger, dan negara [Niger] sangat bergantung pada bantuan yang datang dari mitra Barat ini, dan jika hubungan terputus atau rusak, kondisi kemanusiaan akan semakin memburuk, terutama di daerah-daerah yang terkena dampak konflik.”
Ketika ancaman perang besar menghantui negara itu, nasib tambang uraniumnya menjadi sorotan media-media internasional.
Junta militer melakukan kudeta pada 26 Juli dengan menggulingkan presiden terpilih Niger, Mohamed Bazoum. Presiden terguling yang mendapat dukungan blok Afrika Barat (ECOWAS) tersebut masih menjadi tahanan rumah.
ECOWAS telah mengultimatum junta Niger untuk mengakhiri kudeta hingga batas waktu hari Minggu (6/8/2023). Jika ultimatum tak indahkan, maka opsi intervensi militer diambil.
Nasib Harta Karun Uranium Niger
Niger telah menjadi produsen utama bijih uranium, memasok sekitar lima persen dari total kebutuhan dunia.
Niger juga memasok sekitar 25 persen bijih uranium Prancis, yang digunakan untuk pengayaan uranium untuk produksi tenaga nuklir, yang menghasilkan 70 persen listrik Prancis—mantan penjajah Niger.
Kekhawatiran tentang ketidakamanan di negara terbesar kedua di Afrika itu meningkat setelah junta menuduh Prancis berkomplot dengan presiden terguling Mohamed Bazoum untuk intervensi militer.
Perencana kudeta, Kolonel Amadou Abdramane, tidak memberikan bukti untuk pernyataannya yang disiarkan televisi. Namun, ECOWAS (Masyarakat Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat) mengultimatum junta untuk mengembalikan kekuasaan kepada Presiden Bazoum paling lambat hari ini atau akan menghadapi intervensi militer.
Mali dan Burkina Faso pasang badan untuk junta Niger, mengancam negara mana pun yang melakukan intervensi militer.
Ada juga kekhawatiran rezim militer baru dapat menggunakan sumber daya bijih uranium untuk menekan negara-negara kuat, termasuk Prancis dan blok Uni Eropa—yang sumber seperlima bijih uraniumnya dari tambang di Niger—bahkan ketika mereka menjatuhkan sanksi pada Niamey.
Ini menimbulkan momok rintangan baru bagi Uni Eropa (UE) ketika mencoba menghentikan pasokan bahan bakar nuklir dari Rusia, serupa dengan tantangan besar yang dihadapi blok tersebut untuk mengganti pasokan minyak dan gas dari Rusia.
UE masih mendapatkan sebagian besar bahan bakar nuklir uranium dan uranium alaminya dari Rosatom, perusahaan tenaga nuklir milik negara Rusia. Awal tahun ini, Parlemen Eropa memperdebatkan sanksi industri nuklir Rusia, tetapi ditunda.
Namun, Phuc Vinh Nguyen, pakar kebijakan energi di Jacques Delors Institute, mengatakan untuk saat ini, Prancis memiliki cadangan uranium yang cukup untuk krisis di Niger yang berlangsung beberapa tahun.
Untuk sementara, dia mengatakan pasar uranium global dapat kendur jika Niger jatuh ke dalam ketidakstabilan lebih lanjut.
“Uranium bisa disimpan dalam jangka waktu lama. Misalnya, Prancis memiliki uranium senilai dua hingga tiga tahun dalam penyimpanan strategis sehingga situasinya memiliki waktu untuk diselesaikan sebelum harus terburu-buru mengambil keputusan," katanya, seperti dikutip The National.
“Prancis sudah memiliki banyak pemasok dan dapat mengandalkan mereka jika perlu, termasuk Kanada dan Australia sebagai yang paling jelas."
“Biayanya sedikit lebih mahal tetapi dampak keseluruhan pada harga tidak akan sepenting apa yang terjadi dengan gas misalnya,” katanya, merujuk pada upaya Eropa untuk menghentikan pasokan gas Rusia.
Demikian pula, juru bicara UE Adalbert Jahnz mengatakan tidak ada risiko pasokan dalam krisis saat ini.
Meskipun hampir separuh penduduk Niger hidup dengan kurang dari dua dolar Amerika Serikat sehari, negara tersebut telah lama menjadi pemasok penting bijih uranium.
Perusahaan Prancis; Orano—sebelumnya Areva—telah menjadi pemain utama di negara Afrika Barat selama beberapa dekade dan mengoperasikan tambang uranium besar di sana.
Tambang uranium Somair milik perusahaan di Arlit diserang oleh militan terkait Al-Qaeda pada tahun 2013, menewaskan satu orang dan melukai 14 orang, dan lagi pada tahun 2016, meskipun tidak ada korban jiwa dalam serangan terakhir.
Niger adalah pemasok uranium alam terbesar kedua di UE pada 2022, setelah Kazakhstan. Data ini menurut badan Euratom blok tersebut.
Secara total, Kazakhstan, Niger, dan Kanada memasok 74 persen dari total pengiriman ke UE.
Tetapi bahkan jika pasokan Eropa aman untuk saat ini, dalam jangka panjang ada kekhawatiran akan keamanan keseluruhan Niger di tengah pemberontakan Islamis di perbatasannya—melintasi wilayah Sahel dan ke Nigeria—yang telah berjuang untuk menahan kelompok Boko Haram yang sangat kejam.
Negara-negara di seluruh Sahel mendapat manfaat dari kerja sama keamanan Barat, tetapi ini secara bertahap menghilang di tengah kudeta di Mali pada 2020 dan 2021, yang menyebabkan Prancis menarik pasukannya.
Fola Ainu, seorang pakar di Royal United Services Institute London, mengatakan kepada The National bahwa tidak ada solusi yang jelas untuk Niger memutuskan hubungan keamanan dengan sekutu Barat dalam operasi kontraterorisme.
"Rezim harus memikul tanggung jawab untuk memimpin operasi kontraterorisme di seluruh wilayah yang juga berarti mitra internasional memandang ke atas dan menyediakannya dengan dukungan yang dibutuhkannya,” katanya.
“Sayangnya Senegal tidak mampu melakukan ini dan Ghana, di sisi lain, sedang sibuk.”
Situasi Niger yang sudah rapuh juga telah memburuk di bidang ekonomi, menurut Rida Lyammouri, senior fellow di lembaga think tank Policy Centre for the New South, yang berbasis di Maroko.
Sekarang tidak jelas siapa yang akan turun tangan untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh penarikan ratusan juta dolar bantuan pembangunan oleh AS dan UE.
"Pekerjaan pembangunan yang signifikan dilakukan oleh mitra selain negara-negara Barat," katanya.
"China dan Turki memiliki proyek pembangunan ekonomi besar yang sedang berlangsung di Niger dan kemungkinan tidak akan terpengaruh oleh hasil dari krisis yang sedang berlangsung," ujarnya.
"Uni Eropa, Prancis, Jerman, dan AS adalah donor bantuan utama ke Niger, dan negara [Niger] sangat bergantung pada bantuan yang datang dari mitra Barat ini, dan jika hubungan terputus atau rusak, kondisi kemanusiaan akan semakin memburuk, terutama di daerah-daerah yang terkena dampak konflik.”
(mas)
tulis komentar anda