Menjaga Roh Dasasila Bandung
A
A
A
JAKARTA - Indonesia kembali menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA). Konferensi kali ini adalah gelaran ketiga. Kali pertama KAA digelar adalah pada 1955, sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka. KAA edisi kedua dilangsungkan pada 2005, lima puluh tahun setelah KAA pertama.
Kini, pada 2015, KAA edisi ketiga kembali digelar, sekaligus memperingati 60 tahun pertemuan tingkat tinggi pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika. Berikut wawancara khusus Sindonews dengan Menlu RI, Retno Marsudi seputar KAA.
Apa peran Indonesia dalam hubungan Asia-Afrika?
Asia adalah engine of growth (mesin pertumbuhan), sementara Afrika adalah continent of hope (benua harapan). Nah, kalau kalau kita lihat kerjasama-kerjasama yang dilakukan Asia dan Afrika belum optimal. Memang ada beberapa negara Asia, misalnya China yang sudah berperan banyak dan banyak melakukan kegiatan dengan Afrika, Jepang juga demikian.
Tapi, yang kita inginkan, dan itu merupakan kekuatan Indonesia, adalah growing togehter (tumbuh bersama) dan solidaritas. Sense of solidarity (rasa solidaritas) itu yang harus kita kumandangankan. Dan, Indonesia sudah sangat terkenal dengan brigde builder, yang selalu terbuka untuk menjembatani perbedaan dan itu adalah kekuatan kita. Kita akan mainkan kekuatan itu.
Ada banyak konflik di Afrika, apakah hal ini juga akan dibahas di KAA?
Sekali lagi, kita tidak menghindari kalau isu itu akan dibahas. Tetapi, harapan kita adalah kita jangan sampai terjebak pada isu itu, yang kemudian isu besarnya, roh dari Dasasila Bandung itu jadi hilang. Seperti yang saya sampaikan, andaikan semua negara mematuhi apa yang ada di Dasasila Bandung, itu sudah menu komplit untuk menjadikan dunia ini lebih baik.
Di situ ada penghormatan, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia itu nomor satu. Di Dasasila Bandung itu nomor satu. Baru kemudian yang lain-lain. Saya sendiri kagum, dalam artian tahun 1955 Indonesia baru berusia 10 tahun, masih bayi tapi sudah bisa menginisiasi satu pertemuan yang hasilnya tidak lekang dimakan waktu.
Setelah 60 tahun, semua prinsip masih tetap valid dalam situasi dunia seperti sekarang ini.
Bagaimana cara menjaga komitmen, di tengah ego masing-masing negara ?
Itulah peran Indonesia untuk menjembatani. Pada saat kita memunculan kegiatan seperti yang sudah saya sampaikan tadi, kita selalu mengajak orang untuk merasa nyaman untuk berbicara apapun. Seperti misalnya Bali Democracy Forum. Kita menyediakan platform untuk berdikusi mengenai demokrasi, tanpa satu atau dua pihak merasa tertekan, merasa tidak bisa berbicaa.
Apapun bisa dilakukan, bisa dibahas dalam foum tersebut. Sehingga orang bisa nyaman untuk bicara dan ada rasa saling menghormati.
Dalam konteks saling menghormati itu, dalam KTT nanti Presiden Republik Indonesia tidak secara terus menerus menjadi Pimpinan. Kita memberikan kesempatan kepada negara Asia-Afrika yang lain. Presiden RI hanya akan menjadi Pimpinan KTT pada saat pembukaan dan penutupun, sementara yang lainnya kita serahkan, kita bagi ke negara-negara yang lain.
Apa Manfaat KAA untuk masyarakat Indonesia?
Untuk masyarakat Indonesia, sekali lagi saya sampaikan, tujuan ini ada dua. Satu tujuan nasional kita, tentunya memberikan kemanfaatan, ada faktor ekonomi yang ingin kita kembangkan kerjasamanya, di situ semuanya ada. Mendorong pariwisata, kalau kita menarik banyak orang, dia akan melihat Indonesia bagaimana dan sebagainya.
Tapi di dalam konteks yang berbeda, kita juga memberikan kontribusi kepada dunia. Dan di situlah Indonesia ingin berperan, ya dengan cara menyelenggarkan kegiatan-kegiatan besar ini. Kalau kita pergi ke negara non-blok, mau tidak mau ketika kita bicara Indonesia, dia akan bicara mengenai Bandung.
Karena tahun 1955 itu adalah titik yang akan selalu diingat oleh orang, suatu kebangkitan negara-negara berkembang, dan juga menginspirasi lahirnya gerakan non-blok.
Kini, pada 2015, KAA edisi ketiga kembali digelar, sekaligus memperingati 60 tahun pertemuan tingkat tinggi pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika. Berikut wawancara khusus Sindonews dengan Menlu RI, Retno Marsudi seputar KAA.
Apa peran Indonesia dalam hubungan Asia-Afrika?
Asia adalah engine of growth (mesin pertumbuhan), sementara Afrika adalah continent of hope (benua harapan). Nah, kalau kalau kita lihat kerjasama-kerjasama yang dilakukan Asia dan Afrika belum optimal. Memang ada beberapa negara Asia, misalnya China yang sudah berperan banyak dan banyak melakukan kegiatan dengan Afrika, Jepang juga demikian.
Tapi, yang kita inginkan, dan itu merupakan kekuatan Indonesia, adalah growing togehter (tumbuh bersama) dan solidaritas. Sense of solidarity (rasa solidaritas) itu yang harus kita kumandangankan. Dan, Indonesia sudah sangat terkenal dengan brigde builder, yang selalu terbuka untuk menjembatani perbedaan dan itu adalah kekuatan kita. Kita akan mainkan kekuatan itu.
Ada banyak konflik di Afrika, apakah hal ini juga akan dibahas di KAA?
Sekali lagi, kita tidak menghindari kalau isu itu akan dibahas. Tetapi, harapan kita adalah kita jangan sampai terjebak pada isu itu, yang kemudian isu besarnya, roh dari Dasasila Bandung itu jadi hilang. Seperti yang saya sampaikan, andaikan semua negara mematuhi apa yang ada di Dasasila Bandung, itu sudah menu komplit untuk menjadikan dunia ini lebih baik.
Di situ ada penghormatan, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia itu nomor satu. Di Dasasila Bandung itu nomor satu. Baru kemudian yang lain-lain. Saya sendiri kagum, dalam artian tahun 1955 Indonesia baru berusia 10 tahun, masih bayi tapi sudah bisa menginisiasi satu pertemuan yang hasilnya tidak lekang dimakan waktu.
Setelah 60 tahun, semua prinsip masih tetap valid dalam situasi dunia seperti sekarang ini.
Bagaimana cara menjaga komitmen, di tengah ego masing-masing negara ?
Itulah peran Indonesia untuk menjembatani. Pada saat kita memunculan kegiatan seperti yang sudah saya sampaikan tadi, kita selalu mengajak orang untuk merasa nyaman untuk berbicara apapun. Seperti misalnya Bali Democracy Forum. Kita menyediakan platform untuk berdikusi mengenai demokrasi, tanpa satu atau dua pihak merasa tertekan, merasa tidak bisa berbicaa.
Apapun bisa dilakukan, bisa dibahas dalam foum tersebut. Sehingga orang bisa nyaman untuk bicara dan ada rasa saling menghormati.
Dalam konteks saling menghormati itu, dalam KTT nanti Presiden Republik Indonesia tidak secara terus menerus menjadi Pimpinan. Kita memberikan kesempatan kepada negara Asia-Afrika yang lain. Presiden RI hanya akan menjadi Pimpinan KTT pada saat pembukaan dan penutupun, sementara yang lainnya kita serahkan, kita bagi ke negara-negara yang lain.
Apa Manfaat KAA untuk masyarakat Indonesia?
Untuk masyarakat Indonesia, sekali lagi saya sampaikan, tujuan ini ada dua. Satu tujuan nasional kita, tentunya memberikan kemanfaatan, ada faktor ekonomi yang ingin kita kembangkan kerjasamanya, di situ semuanya ada. Mendorong pariwisata, kalau kita menarik banyak orang, dia akan melihat Indonesia bagaimana dan sebagainya.
Tapi di dalam konteks yang berbeda, kita juga memberikan kontribusi kepada dunia. Dan di situlah Indonesia ingin berperan, ya dengan cara menyelenggarkan kegiatan-kegiatan besar ini. Kalau kita pergi ke negara non-blok, mau tidak mau ketika kita bicara Indonesia, dia akan bicara mengenai Bandung.
Karena tahun 1955 itu adalah titik yang akan selalu diingat oleh orang, suatu kebangkitan negara-negara berkembang, dan juga menginspirasi lahirnya gerakan non-blok.
(esn)