Perang Yaman dan Perseteruan Sengit Saudi-Iran
A
A
A
SANAA - Perang di Yaman antara kelompok Houthi dan pasukan pemerintah Yaman tak bisa lepas dari peta politik perseteruan sengit antara Arab Saudi dan Iran. Rivalitas sektarian antara kaum Sunni dan Syiah dalam perebutan kekuasan di Yaman juga mulai tampak.
Hari ini (26/3/2015), Saudi dan sembilan negara Teluk resmi meluncurkan agresi militer di Sanaa, Yaman. Mereka berdalih, agresi itu untuk memerangi kelompok Houthi dan menyelamatkan pemerintah sah Yaman di bawah kepemimpinan Presiden Mansour Hadi.
Kelompok Houthi yang didominasi kaum Syiah dikenal sebagai sekutu utama Iran. Pemerintah Iran sendiri belum bereaksi setelah sekutunya di Yaman dikeroyok 10 negara Teluk. (Baca: Perang Dimulai, Saudi dan 9 Negara Teluk Bombardir Yaman)
Para analis melihat rivalitas Saudi dan Iran ikut mewarnai perang di Yaman. Iran yang hampir mencapai kesepakatan nuklir dengan enam negara kekuatan dunia sudah membuat Saudi resah.
”Ini tidak biasa bahwa Saudi mengambil langkah militer. Pada saat ini, saya tidak berpikir harga minyak sangat mungkin akan melejit hanya karena ini. Namun hal ini menjadi seperti perang proxy antara Sunni dan Syiah sehingga merupakan sumber keprihatinan,” kata Norihiro Fujito, analis investasi senior di Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities, seperti dikutip Reuters, Kamis (26/3/2015). (Baca juga: Agresi Militer Saudi Buat Perang di Yaman Melebar)
“Sekarang, reaksi Iran akan menjadi fokus. Saya hanya berharap Iran tidak akan bereaksi berlebihan terhadap hal ini. Jika perang proxyini menjadi perang nyata, seluruh Timur Tengah akan dilalap perang, meskipun saya berpikir itu tidak mungkin terjadi,” lanjut Fujito.
Jang JI-hyang, Direktur Middle East and North Africa Center di Asan Institute For Policy Studies yang berbasis di Seoul, juga sependapat bahwa perang di Yaman tak bisa lepas dari ketegangan Saudi dan Iran.
”Kenapa sekarang? Arab Saudi tidak puas dengan pembicaraan nuklir antara Iran dan Amerika Serikat yang tampaknya menghasilkan kemajuan,” ujarnya. (Baca juga: Agresi Militer Saudi di Yaman Atas Perintah Raja Salman)
“Namun Iran tidak mungkin untuk menanggapi Saudi dalam operasi (militer) di Yaman, karena mereka tidak ingin menjadi pengacau dengan terlibat dalam konflik, sementara kesepakatan nuklir masih tertunda,” imbuh Ji-hyang.
Hari ini (26/3/2015), Saudi dan sembilan negara Teluk resmi meluncurkan agresi militer di Sanaa, Yaman. Mereka berdalih, agresi itu untuk memerangi kelompok Houthi dan menyelamatkan pemerintah sah Yaman di bawah kepemimpinan Presiden Mansour Hadi.
Kelompok Houthi yang didominasi kaum Syiah dikenal sebagai sekutu utama Iran. Pemerintah Iran sendiri belum bereaksi setelah sekutunya di Yaman dikeroyok 10 negara Teluk. (Baca: Perang Dimulai, Saudi dan 9 Negara Teluk Bombardir Yaman)
Para analis melihat rivalitas Saudi dan Iran ikut mewarnai perang di Yaman. Iran yang hampir mencapai kesepakatan nuklir dengan enam negara kekuatan dunia sudah membuat Saudi resah.
”Ini tidak biasa bahwa Saudi mengambil langkah militer. Pada saat ini, saya tidak berpikir harga minyak sangat mungkin akan melejit hanya karena ini. Namun hal ini menjadi seperti perang proxy antara Sunni dan Syiah sehingga merupakan sumber keprihatinan,” kata Norihiro Fujito, analis investasi senior di Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities, seperti dikutip Reuters, Kamis (26/3/2015). (Baca juga: Agresi Militer Saudi Buat Perang di Yaman Melebar)
“Sekarang, reaksi Iran akan menjadi fokus. Saya hanya berharap Iran tidak akan bereaksi berlebihan terhadap hal ini. Jika perang proxyini menjadi perang nyata, seluruh Timur Tengah akan dilalap perang, meskipun saya berpikir itu tidak mungkin terjadi,” lanjut Fujito.
Jang JI-hyang, Direktur Middle East and North Africa Center di Asan Institute For Policy Studies yang berbasis di Seoul, juga sependapat bahwa perang di Yaman tak bisa lepas dari ketegangan Saudi dan Iran.
”Kenapa sekarang? Arab Saudi tidak puas dengan pembicaraan nuklir antara Iran dan Amerika Serikat yang tampaknya menghasilkan kemajuan,” ujarnya. (Baca juga: Agresi Militer Saudi di Yaman Atas Perintah Raja Salman)
“Namun Iran tidak mungkin untuk menanggapi Saudi dalam operasi (militer) di Yaman, karena mereka tidak ingin menjadi pengacau dengan terlibat dalam konflik, sementara kesepakatan nuklir masih tertunda,” imbuh Ji-hyang.
(mas)