Indonesia yang Di-warning, Eropa yang Berdarah-darah
A
A
A
JAKARTA - Siapa bakal menyangka beberapa hari sebelum teror mengerikan melanda Eropa, yakni Prancis, Indonesia sudah mendapat peringatan bahaya teror. Negara pemberi “warning” tak lain adalah Amerika Serikat (AS) dan Australia.
Entah atas motif apa AS dan Australia menyampaikan peringatan seperti itu. AS melalui Keduataan Besar-nya sempat memperingatkan potensi teror di Surabaya, Jawa Timur. Dalam peringatannya, AS meminta warganya di Surabaya untuk waspada, terutama yang ada di hotel-hotel dan bank. (Baca: Kedubes AS Waspadai Adanya Serangan Teror di Surabaya)
“Kedubes AS menyadari akan adanya potensi ancaman terhadap Amerika Serikat, khususnya di beberapa tempat, seperti bank dan hotel di Surabaya,” demikian “warning” yang ditulis Kedubes AS di laman resminya.
Dalam peringatan itu, Kedubes AS bahkan meminta kepada warganya untuk mendaftarkan nomor telepon seluler mereka agar mudah dihubungi.
“Kedubes AS mengimbau kepada seluruh warga AS untuk semakin meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitar ketika mendatangi tempat-tempat tersebut,” lanjut peringatan AS itu, tanpa menyertakan alasan yang jelas.
Australia Ikut-ikutan
Sekutu AS, Australia ikut-ikutan memberikan peringatan potensi teror terhadap Indonesia. Jika AS memperingatkan ancaman bahaya di Surabaya, Australia menyebut Bali sebagai wilayah rawan versi mereka.
Peringatan dari Australia itu disampaikan Departemen Luar Negeri. (Baca: Australia Sebut Teroris Rencanakan Serangan di Indonesia)
”Anda harus berhati-hati, khususnya di sekitar lokasi yang memiliki tingkat keamanan yang rendah. Hindari tempat-tempat yang mungkin dikenal sebagai sasaran teroris,” bunyi peringatan departemen itu.
Menyambung peringatan itu, Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, mengatakan Australia sedang memantau situasi di Indonesia. ”(Harus) selalu ada kehati-hatian saat bepergian ke luar negeri,” kata Bishop.
”Tentu saja kami telah memiliki pengalaman tragis di masa lalu, di mana di Bali, banyak warga Australia telah tewas. Tapi kami bekerja sama dengan badan-badan keamanan, intelijen dan penegakan hukum di Indonesia,” lanjut Bishop pada Selasa, 6 Januari 2015.
Chalie Hebdo "Berdarah"
Praktis sehari kemudian, pada Rabu, 7 Januari 2015, para pria bersenjata menyerbu kantor majalah satir, Charlie Hebdo, di Paris. Pelakunya adalah dua bersaudara Cherif dan Said Kouachi. Semula polisi Prancis menyebut ada tiga pelakunya, di mana satu orang telah menyerahkan diri, yakni Mourad Hamyd.
Rupanya, polisi Prancis salah. Mourad Hamyd sama sekali tidak terlbat dalam serangan majalah yang menerbitkan kartun satir penghina Nabi Muhammad dan tokoh-tokoh top itu. Hamyd yang baru berusia 18 tahun, saat serangan terjadi dia ada di sekolahnya, sedang belajar.
“Saya sempat bingung, dan kaget saat saya disebut terlibat dalam penyerangan itu,” katanya. “Saya benar-benar syok, banyak orang yang mengatakan sesuatu yang buruk tentang saya di media sosial, yang semuanya itu tidak benar. Saya hanyalah seorang siswa biasa yang tinggal bersama kedua orang tua saya,” imbuhnya.
Polisi Prancis ternyata begitu ceroboh mengkaitkan pelajar itu dalam jaringan pelaku teror, hanya karena Mourad terikat hubungan kekerabatan dengan dua penyerang kantor Charlie Hebdo. (Baca: Mourad Hamyd Syok Disebut Teror Charlie Hebdo)
“Saya berharap hal ini tidak mempengaruhi masa depan saya. Saya tidak ada hubungannya dengan semua ini. Cherif (Kouachi) memang kakak ipar saya, tapi saya tidak memiliki kedekatan dengan dirinya,” ujarnya.
Teror Supermarket Paris
Belum reda teror berdarah di kantor majalah Cahrlie Hebdo yang menewaskan 12 orang, teror kembali melanda Prancis. Supermarket Yahudi di Paris jadi sasarannya. Seorang pria bersenjata bernama Amedy Coulibaly, menyandera sekitar 19 orang.
Teror di supermarket itu berakhir tragis. Coulibaly membunuh empat sandera, sebelum akhirnya dia ditembak mati pada Jumat pekan lalu. Dalam waktu yang bersamaan, jejak dua penyerang kantor Charlie Hebdo, Said dan Cherif Kouchai, juga berakhir di sebuah gedung percetakan, di dekat Kota Paris. Kedunya ditembak mati. (Baca: Teroris Paris Bunuh 4 Orang, Dua Penyerang Charlie Hebdo Dihabisi)
Sebelum teror mengerikan di Prancis terjadi, sejumlah negara di Eropa juga dilanda gejala Islamophobia. Salah satunya dengan perusakan dan pembakaran masjid. Kejadian itu setidaknya terjadi di Swedia, di mana dalam sepekan tiga masjid jadi sasaran pembakaran.
Sedangkan di Jerman, kelompok anti-Islam, PEGIDA, nekat menggelar aksi anti-Islam. Padahal kelompok itu sudah diperingatkan kanselir Jerman, Angela Merkel. Untuk meredam gejolak, ribuan warga Jerman membuat demonstrasi tandingan membela komunitas Muslim. (Baca juga: Lawan Kelompok Anti-Islam, Muncul Demo Tandingan di Jerman)
Entah atas motif apa AS dan Australia menyampaikan peringatan seperti itu. AS melalui Keduataan Besar-nya sempat memperingatkan potensi teror di Surabaya, Jawa Timur. Dalam peringatannya, AS meminta warganya di Surabaya untuk waspada, terutama yang ada di hotel-hotel dan bank. (Baca: Kedubes AS Waspadai Adanya Serangan Teror di Surabaya)
“Kedubes AS menyadari akan adanya potensi ancaman terhadap Amerika Serikat, khususnya di beberapa tempat, seperti bank dan hotel di Surabaya,” demikian “warning” yang ditulis Kedubes AS di laman resminya.
Dalam peringatan itu, Kedubes AS bahkan meminta kepada warganya untuk mendaftarkan nomor telepon seluler mereka agar mudah dihubungi.
“Kedubes AS mengimbau kepada seluruh warga AS untuk semakin meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitar ketika mendatangi tempat-tempat tersebut,” lanjut peringatan AS itu, tanpa menyertakan alasan yang jelas.
Australia Ikut-ikutan
Sekutu AS, Australia ikut-ikutan memberikan peringatan potensi teror terhadap Indonesia. Jika AS memperingatkan ancaman bahaya di Surabaya, Australia menyebut Bali sebagai wilayah rawan versi mereka.
Peringatan dari Australia itu disampaikan Departemen Luar Negeri. (Baca: Australia Sebut Teroris Rencanakan Serangan di Indonesia)
”Anda harus berhati-hati, khususnya di sekitar lokasi yang memiliki tingkat keamanan yang rendah. Hindari tempat-tempat yang mungkin dikenal sebagai sasaran teroris,” bunyi peringatan departemen itu.
Menyambung peringatan itu, Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, mengatakan Australia sedang memantau situasi di Indonesia. ”(Harus) selalu ada kehati-hatian saat bepergian ke luar negeri,” kata Bishop.
”Tentu saja kami telah memiliki pengalaman tragis di masa lalu, di mana di Bali, banyak warga Australia telah tewas. Tapi kami bekerja sama dengan badan-badan keamanan, intelijen dan penegakan hukum di Indonesia,” lanjut Bishop pada Selasa, 6 Januari 2015.
Chalie Hebdo "Berdarah"
Praktis sehari kemudian, pada Rabu, 7 Januari 2015, para pria bersenjata menyerbu kantor majalah satir, Charlie Hebdo, di Paris. Pelakunya adalah dua bersaudara Cherif dan Said Kouachi. Semula polisi Prancis menyebut ada tiga pelakunya, di mana satu orang telah menyerahkan diri, yakni Mourad Hamyd.
Rupanya, polisi Prancis salah. Mourad Hamyd sama sekali tidak terlbat dalam serangan majalah yang menerbitkan kartun satir penghina Nabi Muhammad dan tokoh-tokoh top itu. Hamyd yang baru berusia 18 tahun, saat serangan terjadi dia ada di sekolahnya, sedang belajar.
“Saya sempat bingung, dan kaget saat saya disebut terlibat dalam penyerangan itu,” katanya. “Saya benar-benar syok, banyak orang yang mengatakan sesuatu yang buruk tentang saya di media sosial, yang semuanya itu tidak benar. Saya hanyalah seorang siswa biasa yang tinggal bersama kedua orang tua saya,” imbuhnya.
Polisi Prancis ternyata begitu ceroboh mengkaitkan pelajar itu dalam jaringan pelaku teror, hanya karena Mourad terikat hubungan kekerabatan dengan dua penyerang kantor Charlie Hebdo. (Baca: Mourad Hamyd Syok Disebut Teror Charlie Hebdo)
“Saya berharap hal ini tidak mempengaruhi masa depan saya. Saya tidak ada hubungannya dengan semua ini. Cherif (Kouachi) memang kakak ipar saya, tapi saya tidak memiliki kedekatan dengan dirinya,” ujarnya.
Teror Supermarket Paris
Belum reda teror berdarah di kantor majalah Cahrlie Hebdo yang menewaskan 12 orang, teror kembali melanda Prancis. Supermarket Yahudi di Paris jadi sasarannya. Seorang pria bersenjata bernama Amedy Coulibaly, menyandera sekitar 19 orang.
Teror di supermarket itu berakhir tragis. Coulibaly membunuh empat sandera, sebelum akhirnya dia ditembak mati pada Jumat pekan lalu. Dalam waktu yang bersamaan, jejak dua penyerang kantor Charlie Hebdo, Said dan Cherif Kouchai, juga berakhir di sebuah gedung percetakan, di dekat Kota Paris. Kedunya ditembak mati. (Baca: Teroris Paris Bunuh 4 Orang, Dua Penyerang Charlie Hebdo Dihabisi)
Sebelum teror mengerikan di Prancis terjadi, sejumlah negara di Eropa juga dilanda gejala Islamophobia. Salah satunya dengan perusakan dan pembakaran masjid. Kejadian itu setidaknya terjadi di Swedia, di mana dalam sepekan tiga masjid jadi sasaran pembakaran.
Sedangkan di Jerman, kelompok anti-Islam, PEGIDA, nekat menggelar aksi anti-Islam. Padahal kelompok itu sudah diperingatkan kanselir Jerman, Angela Merkel. Untuk meredam gejolak, ribuan warga Jerman membuat demonstrasi tandingan membela komunitas Muslim. (Baca juga: Lawan Kelompok Anti-Islam, Muncul Demo Tandingan di Jerman)
(mas)