Uni Eropa Kritik Hukum Syariah di Aceh
A
A
A
JAKARTA - Para duta besar negara-negara Uni Eropa (UE) mengkritik hukum syariah yang saat ini berlaku di Aceh. Menurut mereka, penerapan hukum itu masih memiliki banyak kekurangan.
Salah satunya adalah subjek hukum tersebut. Menurut Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Georg Witschel, subjek hukum syariah di Aceh masih belum jelas.
“Kami (Duta Besar Negara anggota UE) mempertanyakan apakah hukum tersebut diterapakan hanya kepada warga Muslim di Aceh, atau kepada seluruh warga Aceh, termasuk di dalamnya warga non-Muslim,” ucap Witschel, pada Senin (22/12/2014) di Jakarta.
Witschel melanjutkan, Pemerintah Aceh sudah menjawab, bila hukuman tersebut tidak berlaku kepada warga non-Muslim. Namun, hukuman itu mungkin akan berlaku kepada warga non-Muslim pada beberapa kondisi.
“Menurut pihak Aceh, hukuman itu akan berlaku pada warga non-Muslim jika yang bersangkutan melakukan tindakan yang dalam hukum Aceh dianggap sebuah tindakan salah, namun dalam hukum Indonesia tindakan itu tidak apa-apa, seperti meminum alkohol,” katanya, mengutip penjelasan Pemerintah Aceh.
“Jadi jika saya seorang warga Jeman dan beragama Kristen minum (alkohol) bersama teman saya yang seorang Muslim, lalu ada polisi Syariah datang maka teman saya pasti ditangkap, karena itu dianggap salah. Bagaimana dengan saya? Dalam hukum Indonesia, saya bebas minum. Tapi dalam hukum Aceh itu tetap salah, hal inilah yang coba kita kritisi,” katanya.
“Masih banyak pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban yang jelas mengenai hukum ini,” imbuh dia. Dia juga berharap, hukum syariah di Aceh tidak menjadi hukum yang diskriminatif, terutama bagi kaum wanita.
Salah satunya adalah subjek hukum tersebut. Menurut Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Georg Witschel, subjek hukum syariah di Aceh masih belum jelas.
“Kami (Duta Besar Negara anggota UE) mempertanyakan apakah hukum tersebut diterapakan hanya kepada warga Muslim di Aceh, atau kepada seluruh warga Aceh, termasuk di dalamnya warga non-Muslim,” ucap Witschel, pada Senin (22/12/2014) di Jakarta.
Witschel melanjutkan, Pemerintah Aceh sudah menjawab, bila hukuman tersebut tidak berlaku kepada warga non-Muslim. Namun, hukuman itu mungkin akan berlaku kepada warga non-Muslim pada beberapa kondisi.
“Menurut pihak Aceh, hukuman itu akan berlaku pada warga non-Muslim jika yang bersangkutan melakukan tindakan yang dalam hukum Aceh dianggap sebuah tindakan salah, namun dalam hukum Indonesia tindakan itu tidak apa-apa, seperti meminum alkohol,” katanya, mengutip penjelasan Pemerintah Aceh.
“Jadi jika saya seorang warga Jeman dan beragama Kristen minum (alkohol) bersama teman saya yang seorang Muslim, lalu ada polisi Syariah datang maka teman saya pasti ditangkap, karena itu dianggap salah. Bagaimana dengan saya? Dalam hukum Indonesia, saya bebas minum. Tapi dalam hukum Aceh itu tetap salah, hal inilah yang coba kita kritisi,” katanya.
“Masih banyak pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban yang jelas mengenai hukum ini,” imbuh dia. Dia juga berharap, hukum syariah di Aceh tidak menjadi hukum yang diskriminatif, terutama bagi kaum wanita.
(esn)