Crimea jilid II mewabah, Ukraina diambang terbelah lagi
A
A
A
Sindonews.com – Baru beberapa pekan Ukraina kehilangan Crimea, setelah rakyat di wilayah itu memilih bergabung ke Rusia, kini Ukraina terancam kehilangan sejumlah wilayahnya lagi.
Tak tanggung-tanggung, tiga kota (Kharkiv, Donetsk dan Luhansk) menuntut referendum mengikuti jejak Crimea.
Gejala mewabahnya “Crimea jilid II” di Ukraina timur dimulai dari munculnya gelombang massa pro-Rusia yang menyerbu sejumlah gedung pemerintah di tiga kota itu. Polisi di Kharkiv menyebut, massa mencapai sekitar 1.000 orang. Sedangkan massa yang menyerbu gedung berjumlah ratusan orang.
Crimea sendiri kini resmi pisah dari Ukraina dan memilih bergabung ke Federasi Rusia. Meski Ukraina sendiri serta Majelis Umum PBB tidak mengakui referendum Crimea, Rusia tetap menerima Crimea menjadi bagian dari wilayah mereka. Kremlin, bahkan membuat peta baru Rusia, di mana Crmea resmi menjadi bagian dari mereka.
Tidak mau “Crimea jilid II” terjadi, pemerintah baru Ukraina telah bersiap diri mencegah gejala yang mereka sebut sebagai separatis itu. Presiden interim Ukraina, Oleksandr Turchynov, berjanji menggelar operasi anti-teroris untuk mencegah gejala separatis itu.
Janji itu benar-benar diwujudkan, di mana 70 orang penyerbu gedung-gedung pemerintah di kota Kharkiv ditangkap.
Didalangi Rusia?
Wilayah Ukraina yang diambang terbelah lagi adalah wilayah bagian timur. Wilayah itu seperti halnya Crimea, juga didominasi warga etnis Rusia. Bahkan, dalam aksi menuntut referendum massa tidak pernah luput untuk mengibarkan bendera Rusia dan meneriakkan yel-yel “Rusia! Rusia!”.
Pemerintah Ukraina pun curiga gejala separatis di wilayah timur itu telah diatur pihak luar. Tudingan mereka langsung mengarah kepada Rusia. ”Rusia memainkan skenario Crimea untuk mencaplok semenanjung (Ukraina),” tuding Turchynov mengacu kepada tiga wilayah di Ukraina timur yang menuntut referendum.
”Kami tidak akan membiarkan ini,” lanjut pengganti Viktor Yanukovych yang telah digulingkan itu. Bukan sekadar aksi demonstrasi biasa, massa pro-Rusia itu, kata Turchynov, juga mengangkat senjata. ”langkah-langkah anti-teroris akan dilakukan terhadap mereka yang telah merampas senjata.”
Suara massa pro-Rusia itu juga nyaring, ketika mereka berteriak menuntut tiga wilayah agar pisah dari Kiev. ”Ada tindakan agresif dari pihak berwenang Kiev yang tidak sah, kami akan mengajukan banding ke Federasi Rusia untuk membawa pasukan penjaga perdamaian,” bunyi pernyataan massa dari tiga wilayah itu, layaknya membaca teks proklamasi.
Teks itu dibaca di hadapan massa yang berjumlah sekitar 1.000 orang di luar gedung pemerintah yang mereka duduki.
Pasukan sewaan AS
Munculnya tuntutan referendum dari tiga wilayah di Ukraina timur, kembali memicu ketegangan antara Ukraina dan Rusia. Pihak Moskow yang berhasrat melindungi warga etnis Rusia menentang keras penggunaan kekuatan militer untuk mengatasi para demonstran penuntut referendum.
Rusia berdalih, penggunaan kekuatan militer oleh Ukraina akan memicu perang saudara di negara itu.”Kami menyerukan penghentian segera dari setiap persiapan militer, yang penuh dengan risiko perang sipil,” bunyi pernyataan Kementerian Luar Negeri Rusia, seperti dikutip Reuters, Selasa (8/4/2014).
Alih-alih menerima seruan Moskow, pihak Kiev justru telah mempersiapkan kekuatan militernya untuk mencegah “Crimea jilid II” terjadi. Informasi yang diterima Kementerian Luar Negeri Rusia, pasukan militer Ukraina dikerahkan ke wilayah Donetsk. Pasukan yang dikirim, termasuk pasukan ultra-nasionalis yang dikenal sebagai aktor penggulingan Viktor Yanukovych.
Tak cukup pasukan militer, Ukraina juga disebut menyewa pasukan bayaran. Informasi yang diterima Rusia menyatakan, pasukan bayaran itu berasal dari perusahaan jasa keamanan Greystone Ltd, yang berbasis di Amerika Serikat. Dalam aksinya, pasukan itu menggunakan seragam pasukan Ukraina.
Moskow sendiri mendesak agar Ukraina berhenti menyalahkan Rusia dan menyarankan agar Kiev menciptakan pemerintah federal dengan memberikan kekuasaan yang lebih luas untuk setiap provinsinya. Kebijakan seperti itu dianggap sebagai solusi untuk mencegah disintegrasi negara itu.
Tak tanggung-tanggung, tiga kota (Kharkiv, Donetsk dan Luhansk) menuntut referendum mengikuti jejak Crimea.
Gejala mewabahnya “Crimea jilid II” di Ukraina timur dimulai dari munculnya gelombang massa pro-Rusia yang menyerbu sejumlah gedung pemerintah di tiga kota itu. Polisi di Kharkiv menyebut, massa mencapai sekitar 1.000 orang. Sedangkan massa yang menyerbu gedung berjumlah ratusan orang.
Crimea sendiri kini resmi pisah dari Ukraina dan memilih bergabung ke Federasi Rusia. Meski Ukraina sendiri serta Majelis Umum PBB tidak mengakui referendum Crimea, Rusia tetap menerima Crimea menjadi bagian dari wilayah mereka. Kremlin, bahkan membuat peta baru Rusia, di mana Crmea resmi menjadi bagian dari mereka.
Tidak mau “Crimea jilid II” terjadi, pemerintah baru Ukraina telah bersiap diri mencegah gejala yang mereka sebut sebagai separatis itu. Presiden interim Ukraina, Oleksandr Turchynov, berjanji menggelar operasi anti-teroris untuk mencegah gejala separatis itu.
Janji itu benar-benar diwujudkan, di mana 70 orang penyerbu gedung-gedung pemerintah di kota Kharkiv ditangkap.
Didalangi Rusia?
Wilayah Ukraina yang diambang terbelah lagi adalah wilayah bagian timur. Wilayah itu seperti halnya Crimea, juga didominasi warga etnis Rusia. Bahkan, dalam aksi menuntut referendum massa tidak pernah luput untuk mengibarkan bendera Rusia dan meneriakkan yel-yel “Rusia! Rusia!”.
Pemerintah Ukraina pun curiga gejala separatis di wilayah timur itu telah diatur pihak luar. Tudingan mereka langsung mengarah kepada Rusia. ”Rusia memainkan skenario Crimea untuk mencaplok semenanjung (Ukraina),” tuding Turchynov mengacu kepada tiga wilayah di Ukraina timur yang menuntut referendum.
”Kami tidak akan membiarkan ini,” lanjut pengganti Viktor Yanukovych yang telah digulingkan itu. Bukan sekadar aksi demonstrasi biasa, massa pro-Rusia itu, kata Turchynov, juga mengangkat senjata. ”langkah-langkah anti-teroris akan dilakukan terhadap mereka yang telah merampas senjata.”
Suara massa pro-Rusia itu juga nyaring, ketika mereka berteriak menuntut tiga wilayah agar pisah dari Kiev. ”Ada tindakan agresif dari pihak berwenang Kiev yang tidak sah, kami akan mengajukan banding ke Federasi Rusia untuk membawa pasukan penjaga perdamaian,” bunyi pernyataan massa dari tiga wilayah itu, layaknya membaca teks proklamasi.
Teks itu dibaca di hadapan massa yang berjumlah sekitar 1.000 orang di luar gedung pemerintah yang mereka duduki.
Pasukan sewaan AS
Munculnya tuntutan referendum dari tiga wilayah di Ukraina timur, kembali memicu ketegangan antara Ukraina dan Rusia. Pihak Moskow yang berhasrat melindungi warga etnis Rusia menentang keras penggunaan kekuatan militer untuk mengatasi para demonstran penuntut referendum.
Rusia berdalih, penggunaan kekuatan militer oleh Ukraina akan memicu perang saudara di negara itu.”Kami menyerukan penghentian segera dari setiap persiapan militer, yang penuh dengan risiko perang sipil,” bunyi pernyataan Kementerian Luar Negeri Rusia, seperti dikutip Reuters, Selasa (8/4/2014).
Alih-alih menerima seruan Moskow, pihak Kiev justru telah mempersiapkan kekuatan militernya untuk mencegah “Crimea jilid II” terjadi. Informasi yang diterima Kementerian Luar Negeri Rusia, pasukan militer Ukraina dikerahkan ke wilayah Donetsk. Pasukan yang dikirim, termasuk pasukan ultra-nasionalis yang dikenal sebagai aktor penggulingan Viktor Yanukovych.
Tak cukup pasukan militer, Ukraina juga disebut menyewa pasukan bayaran. Informasi yang diterima Rusia menyatakan, pasukan bayaran itu berasal dari perusahaan jasa keamanan Greystone Ltd, yang berbasis di Amerika Serikat. Dalam aksinya, pasukan itu menggunakan seragam pasukan Ukraina.
Moskow sendiri mendesak agar Ukraina berhenti menyalahkan Rusia dan menyarankan agar Kiev menciptakan pemerintah federal dengan memberikan kekuasaan yang lebih luas untuk setiap provinsinya. Kebijakan seperti itu dianggap sebagai solusi untuk mencegah disintegrasi negara itu.
(mas)