Larangan non-Muslim pakai kata Allah di Malaysia diprotes
A
A
A
Sindonews.com – Putusan Pengadilan di Malaysia yang melarang koran The Herald, menggunakan kata “Allah” untuk sebutan Tuhan menuai protes. Tidak hanya redaksi koran Kristiani itu saja yang protes, tapi juga kalangan gereja.
Editor The Herald, Lawrence Andrew, mengatakan keputusan pengadilan Malaysia pada Senin (14/10) itu cacat hukum. Dia berpendapat, kata "Allah" telah digunakan secara luas dalam Alkitab Bahasa Melayu, selama beberapa dekade tanpa ada larangan.
”Tuhan adalah bagian integral dari setiap agama yang kita miliki. Dan Allah adalah sebutan untuk Tuhan baik oleh umat Kristen maupun Muslim di Timur Tengah serta Indonesia,” kata Andrew.
”Anda (Pengadilan Malaysia) tidak bisa tiba-tiba mengatakan bahwa itu bukan bagian integral. Bahasa Malaysia adalah bahasa yang meminjam banyak kata, ‘Allah’ juga merupakan kata pinjaman,” katanya lagi.
Dia menegaskan, pihak gereja tetap tidak akan tunduk dengan putusan pengadilan yang kontoversial itu. Menurutnya, gereja pasti akan mengajukan banding. Gereja-gereja di negara bagian Sabah dan Sarawak, sebelumnya menegaskan, akan terus menggunakan kata “Allah” terlepas dari putusan pengadilan itu.
Mengutip laporan Reuters, tiga hakim di pengadilan banding Malaysia dengan suara bulat membatalkan putusan 2009, yang telah mengizinkan koran The Herald berbahasa Melayu menggunakan kata “Allah” untuk menyebut Tuhan.
”Penggunaan kata Allah bukan merupakan bagian integral dari iman dalam agama Kristen,” kata hakim ketua Mohamed Apandi Ali, saat membacakan putusan itu. ”Penggunaan kata tersebut akan menyebabkan kebingungan di masyarakat.”
Keputusan pengadilan itu, terjadi di saat ketegangan berbau SARA muncul di Malaysia. Dalam beberapa bulan terakhir, Perdana Menteri Najib Razak telah berupaya untuk menggalang dukungan dari etnis Melayu, yang mayoritas Muslim untuk mengamankan dukungan politik partainya.
Dalam kasus tersebut, pemerintah berpendapat bahwa kata “Allah” hanya khusus untuk Muslim. Gara-gara menggunakan kata itu, surat kabar The Herald, pernah dilarang beredar di Malaysia pada tahun 2008.
Namun, keputusan pengadilan itu disambut oleh para aktivis Malaysia. ”Kini hasilnya sudah jelas, siapa pun yang ingin membawa kasus ini ke pengadilan federal, saya mendesak mereka untuk berpikir dua kali agar isu ini berakhir di sini,” kata Ibrahim Ali, salah seorang aktivis Malaysia.
”Karena kami peduli dan menghormati hubungan yang harmonis antara Muslim dan penganut agama lain di negara ini,” lanjut dia.
Editor The Herald, Lawrence Andrew, mengatakan keputusan pengadilan Malaysia pada Senin (14/10) itu cacat hukum. Dia berpendapat, kata "Allah" telah digunakan secara luas dalam Alkitab Bahasa Melayu, selama beberapa dekade tanpa ada larangan.
”Tuhan adalah bagian integral dari setiap agama yang kita miliki. Dan Allah adalah sebutan untuk Tuhan baik oleh umat Kristen maupun Muslim di Timur Tengah serta Indonesia,” kata Andrew.
”Anda (Pengadilan Malaysia) tidak bisa tiba-tiba mengatakan bahwa itu bukan bagian integral. Bahasa Malaysia adalah bahasa yang meminjam banyak kata, ‘Allah’ juga merupakan kata pinjaman,” katanya lagi.
Dia menegaskan, pihak gereja tetap tidak akan tunduk dengan putusan pengadilan yang kontoversial itu. Menurutnya, gereja pasti akan mengajukan banding. Gereja-gereja di negara bagian Sabah dan Sarawak, sebelumnya menegaskan, akan terus menggunakan kata “Allah” terlepas dari putusan pengadilan itu.
Mengutip laporan Reuters, tiga hakim di pengadilan banding Malaysia dengan suara bulat membatalkan putusan 2009, yang telah mengizinkan koran The Herald berbahasa Melayu menggunakan kata “Allah” untuk menyebut Tuhan.
”Penggunaan kata Allah bukan merupakan bagian integral dari iman dalam agama Kristen,” kata hakim ketua Mohamed Apandi Ali, saat membacakan putusan itu. ”Penggunaan kata tersebut akan menyebabkan kebingungan di masyarakat.”
Keputusan pengadilan itu, terjadi di saat ketegangan berbau SARA muncul di Malaysia. Dalam beberapa bulan terakhir, Perdana Menteri Najib Razak telah berupaya untuk menggalang dukungan dari etnis Melayu, yang mayoritas Muslim untuk mengamankan dukungan politik partainya.
Dalam kasus tersebut, pemerintah berpendapat bahwa kata “Allah” hanya khusus untuk Muslim. Gara-gara menggunakan kata itu, surat kabar The Herald, pernah dilarang beredar di Malaysia pada tahun 2008.
Namun, keputusan pengadilan itu disambut oleh para aktivis Malaysia. ”Kini hasilnya sudah jelas, siapa pun yang ingin membawa kasus ini ke pengadilan federal, saya mendesak mereka untuk berpikir dua kali agar isu ini berakhir di sini,” kata Ibrahim Ali, salah seorang aktivis Malaysia.
”Karena kami peduli dan menghormati hubungan yang harmonis antara Muslim dan penganut agama lain di negara ini,” lanjut dia.
(mas)