Cara Georgia Bisa Nol Kematian sejak Wabah Corona Muncul
A
A
A
TBLISI - Ketika jumlah kematian akibat pandemi virus corona baru, COVID-19, terus meningkat di seluruh dunia, Georgia tidak memiliki angka kematian satu pun. Negara pecahan Uni Soviet ini mengungkapkan cara bisa mempertahankan nol kematian selama penyakit itu mewabah.
Data dari situs pelaporan online worldometers.info, Georgia sampai saat ini (4/4/2020) memiliki 155 kasus infeksi COVID-19. Dari jumlah itu, 28 orang di antaranya berhasil disembuhkan dan sisanya masih dalam perawatan.
Perdana Menteri Georgia Giorgi Gakharia mengatakan kunci dari tingkat penularan yang rendah adalah menerapkan larangan perjalanan dari negara-negara hotspot atau pusat wabah sejak awal Januari lalu.
"Kami mengambil tindakan kuat dan tegas sejak dini tanpa ragu-ragu. Kami tidak hanya mulai memeriksa suhu semua pendatang, tetapi mulai 28 Januari kami juga melarang penerbangan dari semua negara begitu mereka menjadi hotspot dalam wabah global, yang menyebabkan larangan pelancong internasional sepenuhnya," kata Gakharia kepada Fox News.
Gakharia menjabat sebagai perdana menteri sejak September tahun lalu. "Kami juga mengambil langkah awal menutup sekolah pada pertengahan Maret dan membatasi pertemuan publik," ujarnya.
Pada Jumat kemarin, para pejabat Georgia telah mendokumentasikan jumlah kasus infeksi COVID-19 dan jumlah pasien sembuh. Agak luar biasa, karena menurut mereka, tidak ada korban jiwa.
Negara itu mendiagnosis kasus pertama virus corona baru pada 26 Februari, yakni seorang warga Georgia di wilayah yang berbatasan dengan Azerbaijan setelah ia kembali dari Iran.
"Kami melihat tanda-tanda peringatan sejak dini dan menindaknya. Tindakan resmi pertama kami datang pada 22 Januari ketika Pusat Pengendalian Penyakit Nasional Georgia memperingatkan warga Georgia agar tidak bepergian ke Wuhan," kata Gakharia.
"Pada saat itu, kami memberi tahu orang Georgia bahwa ada kemungkinan 'kecil, tetapi teoretis', virus itu dapat mencapai Georgia. Beberapa hari kemudian, seperti yang diketahui semua orang, situasi di Wuhan menjadi semakin kacau, dan pada 26 Januari, kami mulai memeriksa semua pelancong yang kembali dari China," paparnya.
Untuk sementara masalah itu terkendali, namun Gakharian menekankan bahwa ancaman COVID-19 masih jauh dari selesai.
"Kami jauh dari mengatakan bahwa penyebaran (virus) telah berhenti, tetapi kami telah melakukan semaksimal mungkin untuk meratakan 'kurva' dari penyebaran," kata Gakharia.
"Kami percaya situasinya stabil. Tetapi kami tidak dapat bereaksi berlebihan atau bergerak dengan tidak bijaksana. Kami akan terus bekerja dengan para ahli kami di Lugar Center dari Pusat Pengendalian Penyakit Nasional Georgia dan organisasi kesehatan internasional lainnya untuk menentukan kapan harus 'membuka kembali' Georgia."
Meskipun angka kematian nol, ekonomi negara—yang diklasifikasikan sebagai pasar bebas dan sangat bergantung pada budidaya dan produk pertanian serta pertambangan; mangan, tembaga, dan emas—sudah pasti terpukul.
"COVID-19 akan meninggalkan jejak besarnya dalam kehidupan sehari-hari kita dan perilaku sosial kita. Yang pasti, itu akan memiliki efek yang sangat negatif pada ekonomi dunia—perilaku pasar adalah bukti nyata akan hal itu," kata Gakharia.
"Tentu saja, langkah-langkah yang telah kami ambil memiliki dampak ekonomi. Seperti hampir semua negara, kami telah melembagakan social distancing dan menutup bisnis yang tidak penting di seluruh negeri," paparnya.
Namun, pemerintah telah mengumumkan paket penyelamatan ekonomi awal, termasuk ratusan juta dolar dalam bantuan bisnis, menunda pembayaran pajak properti dan pajak penghasilan selama beberapa bulan, serta memberikan pengembalian pajak PPN kepada bisnis untuk membantu arus kas.
Negara berpenduduk sekitar 3,7 juta itu dianggap sebagai penghubung antara Eropa Timur dan Asia Barat, berbatasan dengan Laut Hitam di barat, Turki dan Armenia di selatan, Azerbaijan di tenggara, dan Rusia di utara. Negara-negara yang berbatasan dengan Georgia itu bila digabungkan memiliki setidaknya 23.500 kasus COVID-19 dan telah mencatat lebih dari 372 kematian.
"Kunci bagi Georgia adalah tindakan awal, tindakan tegas, dan komunikasi yang jelas serta konsisten kepada warga kami. Tidak mudah untuk menutup negara ini, tetapi tentu saja lebih mudah di negara kecil seperti Georgia dibandingkan dengan ekonomi terbesar di dunia," katanya.
"Kami membuat keputusan agresif untuk mulai menutup acara dan pertemuan sosial besar, dan kami menutup sekolah pada pertengahan Maret dan memaksakan isolasi diri. Kami memberi ribuan warga negara kami fasilitas karantina, dan kami sepenuhnya melarang pergerakan pada malam hari."
Dia juga menggarisbawahi bahwa tindakan semantara yang diambil pada Januari adalah belum menutup penuh perbatasan. Sebaliknya, pendekatan penutupan perbatasan itu secara bertahap menjelang deklarasi Keadaan Darurat 21 Maret.
COVID-19, virus yang pertama kali muncul di Wuhan, China, akhir tahun lalu, telah menginfeksi lebih dari 1,1 juta orang di seluruh dunia dan menewaskan lebih dari 59.000 jiwa.
Data dari situs pelaporan online worldometers.info, Georgia sampai saat ini (4/4/2020) memiliki 155 kasus infeksi COVID-19. Dari jumlah itu, 28 orang di antaranya berhasil disembuhkan dan sisanya masih dalam perawatan.
Perdana Menteri Georgia Giorgi Gakharia mengatakan kunci dari tingkat penularan yang rendah adalah menerapkan larangan perjalanan dari negara-negara hotspot atau pusat wabah sejak awal Januari lalu.
"Kami mengambil tindakan kuat dan tegas sejak dini tanpa ragu-ragu. Kami tidak hanya mulai memeriksa suhu semua pendatang, tetapi mulai 28 Januari kami juga melarang penerbangan dari semua negara begitu mereka menjadi hotspot dalam wabah global, yang menyebabkan larangan pelancong internasional sepenuhnya," kata Gakharia kepada Fox News.
Gakharia menjabat sebagai perdana menteri sejak September tahun lalu. "Kami juga mengambil langkah awal menutup sekolah pada pertengahan Maret dan membatasi pertemuan publik," ujarnya.
Pada Jumat kemarin, para pejabat Georgia telah mendokumentasikan jumlah kasus infeksi COVID-19 dan jumlah pasien sembuh. Agak luar biasa, karena menurut mereka, tidak ada korban jiwa.
Negara itu mendiagnosis kasus pertama virus corona baru pada 26 Februari, yakni seorang warga Georgia di wilayah yang berbatasan dengan Azerbaijan setelah ia kembali dari Iran.
"Kami melihat tanda-tanda peringatan sejak dini dan menindaknya. Tindakan resmi pertama kami datang pada 22 Januari ketika Pusat Pengendalian Penyakit Nasional Georgia memperingatkan warga Georgia agar tidak bepergian ke Wuhan," kata Gakharia.
"Pada saat itu, kami memberi tahu orang Georgia bahwa ada kemungkinan 'kecil, tetapi teoretis', virus itu dapat mencapai Georgia. Beberapa hari kemudian, seperti yang diketahui semua orang, situasi di Wuhan menjadi semakin kacau, dan pada 26 Januari, kami mulai memeriksa semua pelancong yang kembali dari China," paparnya.
Untuk sementara masalah itu terkendali, namun Gakharian menekankan bahwa ancaman COVID-19 masih jauh dari selesai.
"Kami jauh dari mengatakan bahwa penyebaran (virus) telah berhenti, tetapi kami telah melakukan semaksimal mungkin untuk meratakan 'kurva' dari penyebaran," kata Gakharia.
"Kami percaya situasinya stabil. Tetapi kami tidak dapat bereaksi berlebihan atau bergerak dengan tidak bijaksana. Kami akan terus bekerja dengan para ahli kami di Lugar Center dari Pusat Pengendalian Penyakit Nasional Georgia dan organisasi kesehatan internasional lainnya untuk menentukan kapan harus 'membuka kembali' Georgia."
Meskipun angka kematian nol, ekonomi negara—yang diklasifikasikan sebagai pasar bebas dan sangat bergantung pada budidaya dan produk pertanian serta pertambangan; mangan, tembaga, dan emas—sudah pasti terpukul.
"COVID-19 akan meninggalkan jejak besarnya dalam kehidupan sehari-hari kita dan perilaku sosial kita. Yang pasti, itu akan memiliki efek yang sangat negatif pada ekonomi dunia—perilaku pasar adalah bukti nyata akan hal itu," kata Gakharia.
"Tentu saja, langkah-langkah yang telah kami ambil memiliki dampak ekonomi. Seperti hampir semua negara, kami telah melembagakan social distancing dan menutup bisnis yang tidak penting di seluruh negeri," paparnya.
Namun, pemerintah telah mengumumkan paket penyelamatan ekonomi awal, termasuk ratusan juta dolar dalam bantuan bisnis, menunda pembayaran pajak properti dan pajak penghasilan selama beberapa bulan, serta memberikan pengembalian pajak PPN kepada bisnis untuk membantu arus kas.
Negara berpenduduk sekitar 3,7 juta itu dianggap sebagai penghubung antara Eropa Timur dan Asia Barat, berbatasan dengan Laut Hitam di barat, Turki dan Armenia di selatan, Azerbaijan di tenggara, dan Rusia di utara. Negara-negara yang berbatasan dengan Georgia itu bila digabungkan memiliki setidaknya 23.500 kasus COVID-19 dan telah mencatat lebih dari 372 kematian.
"Kunci bagi Georgia adalah tindakan awal, tindakan tegas, dan komunikasi yang jelas serta konsisten kepada warga kami. Tidak mudah untuk menutup negara ini, tetapi tentu saja lebih mudah di negara kecil seperti Georgia dibandingkan dengan ekonomi terbesar di dunia," katanya.
"Kami membuat keputusan agresif untuk mulai menutup acara dan pertemuan sosial besar, dan kami menutup sekolah pada pertengahan Maret dan memaksakan isolasi diri. Kami memberi ribuan warga negara kami fasilitas karantina, dan kami sepenuhnya melarang pergerakan pada malam hari."
Dia juga menggarisbawahi bahwa tindakan semantara yang diambil pada Januari adalah belum menutup penuh perbatasan. Sebaliknya, pendekatan penutupan perbatasan itu secara bertahap menjelang deklarasi Keadaan Darurat 21 Maret.
COVID-19, virus yang pertama kali muncul di Wuhan, China, akhir tahun lalu, telah menginfeksi lebih dari 1,1 juta orang di seluruh dunia dan menewaskan lebih dari 59.000 jiwa.
(mas)