Virus Corona Intai Pengungsi Palestina dan Suriah di Lebanon
A
A
A
BEIRUT - Pemerintah Lebanon telah menyatakan keadaan mobilisasi umum ketika kasus virus Corona baru, Covid-19 melonjak hingga lebih dari 100. Pengungsi Palestina dan Suriah, yang sering hidup dalam kondisi yang sulit dan tidak bersih, dengan sedikit akses ke perawatan kesehatan, tetap menjadi mata rantai terlemah ketika infeksi berkembang di Lebanon.
Lebanon mengumumkan keadaan mobilisasi umum sampai akhir Maret. Negara ini terkunci dengan bisnis, bank, pabrik industri, bandara dan pelabuhan ditutup. Langkah-langkah terbaru bertujuan untuk menahan pandemi tersebut.
Abou Hamza, seorang pengungsi Suriah yang tinggal di pinggiran kota yang padat di Ibu Kota Beirut mengatakan, keputusan ini benar-benar berpengaruh pada dirinya, khususnya dalam bidang ekonomi.
"Saya menghasilkan 15 dolar per hari sebagai pelukis. Saya belum bekerja dalam seminggu. Ketakutan akan pandemi virus Corona semakin memperburuk ekonomi yang sudah buruk," ucapnya, seperti dilansir Al Arabiya.
Pernyataan Abou Hamza digemakan oleh warga Suriah dan Palestina lainnya yang menemukan perlindungan di Lebanon. Angka-angka UNHCR menempatkan populasi pengungsi Suriah di Lebanon mencapai 900 ribu orang, meskipun para ahli percaya jumlahnya bisa mencapai 1,5 juta orang.
Setidaknya 20 persen dari mereka tinggal di kamp-kamp serampangan dengan sedikit akses ke air bersih atau listrik. 80 persen lainnya tinggal di rumah-rumah yang padat, di Lebanon Utara dan daerah Balback-Hermel, yang dianggap paling miskin di Lebanon.
Menurut UNHCR, 73 persen dari pengungsi Suriah hidup di bawah garis kemiskinan, dengan penghasilan kurang dari USD 3,80 sehari. Selain itu, Lebanon adalah rumah bagi sekitar 200 ribu pengungsi Palestina, yang situasinya tidak jauh lebih baik. Mereka tinggal di 12 kamp pengungsi, terganggu oleh kondisi perumahan yang buruk, pengangguran, kemiskinan dan kekerasan.
Juru bicara UNHCR, Lisa Abou Khaled mengatakan, sejauh ini belum ada kasus infeksi Covid-19 di antara para pengungsi dan bahwa UNHCR telah meluncurkan kampanye kesadaran di komunitas-komunitas pengungsi.
Di kamp-kamp Palestina, Samer Shehade dari Bulan Sabit Merah menggarisbawahi bahwa kelebihan jumlah popuplasi dan infrastruktur yang buruk membuat situasi sangat sulit di tengah krisis Covid-19 saat ini.
“Pengungsi tidak memiliki akses ke layanan kesehatan sosial Lebanon. Kami memiliki lima rumah sakit di kamp, tetapi kami tidak memiliki kapasitas untuk mengobati kasus coronavirus, yang memerlukan tindakan khusus seperti isolasi,” katanya.
Bantuan pengungsi Palestina di Lebanon telah menurun selama beberapa tahun terakhir. Sejak 2018, UNRWA telah menghadapi krisis keuangan terburuknya, dengan pemerintah Amerika Serikat (AS), sebagai donatur terbesar, menghetikan dana bantuan mereka.
Sejauh ini, organisasi tersebut hanya mengumpulkan USD 300 juta dari anggaran daerah tahun ini, di mana UNRWA sejatinya membutuhkan dana sebesar USD 1,4 miliar. Di Lebanon, kapasitasnya untuk memberikan bantuan langsung di kamp-kamp Palestina terbatas pada 6i ribu orang, meskipun lebih dari 65 persen pengungsi Palestina hidup di bawah garis kemiskinan.
Juru bicara UNRWA, Hoda Samra percaya jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan jauh lebih tinggi. "Krisis Covid-19 juga meningkatkan kebutuhan finansial UNRWA," katanya. Terlepas dari penularan Covid-19, tampaknya, untuk saat ini setidaknya, populasi pengungsi yang lebih besar akan tetap dilupakan di Lebanon.
Lebanon mengumumkan keadaan mobilisasi umum sampai akhir Maret. Negara ini terkunci dengan bisnis, bank, pabrik industri, bandara dan pelabuhan ditutup. Langkah-langkah terbaru bertujuan untuk menahan pandemi tersebut.
Abou Hamza, seorang pengungsi Suriah yang tinggal di pinggiran kota yang padat di Ibu Kota Beirut mengatakan, keputusan ini benar-benar berpengaruh pada dirinya, khususnya dalam bidang ekonomi.
"Saya menghasilkan 15 dolar per hari sebagai pelukis. Saya belum bekerja dalam seminggu. Ketakutan akan pandemi virus Corona semakin memperburuk ekonomi yang sudah buruk," ucapnya, seperti dilansir Al Arabiya.
Pernyataan Abou Hamza digemakan oleh warga Suriah dan Palestina lainnya yang menemukan perlindungan di Lebanon. Angka-angka UNHCR menempatkan populasi pengungsi Suriah di Lebanon mencapai 900 ribu orang, meskipun para ahli percaya jumlahnya bisa mencapai 1,5 juta orang.
Setidaknya 20 persen dari mereka tinggal di kamp-kamp serampangan dengan sedikit akses ke air bersih atau listrik. 80 persen lainnya tinggal di rumah-rumah yang padat, di Lebanon Utara dan daerah Balback-Hermel, yang dianggap paling miskin di Lebanon.
Menurut UNHCR, 73 persen dari pengungsi Suriah hidup di bawah garis kemiskinan, dengan penghasilan kurang dari USD 3,80 sehari. Selain itu, Lebanon adalah rumah bagi sekitar 200 ribu pengungsi Palestina, yang situasinya tidak jauh lebih baik. Mereka tinggal di 12 kamp pengungsi, terganggu oleh kondisi perumahan yang buruk, pengangguran, kemiskinan dan kekerasan.
Juru bicara UNHCR, Lisa Abou Khaled mengatakan, sejauh ini belum ada kasus infeksi Covid-19 di antara para pengungsi dan bahwa UNHCR telah meluncurkan kampanye kesadaran di komunitas-komunitas pengungsi.
Di kamp-kamp Palestina, Samer Shehade dari Bulan Sabit Merah menggarisbawahi bahwa kelebihan jumlah popuplasi dan infrastruktur yang buruk membuat situasi sangat sulit di tengah krisis Covid-19 saat ini.
“Pengungsi tidak memiliki akses ke layanan kesehatan sosial Lebanon. Kami memiliki lima rumah sakit di kamp, tetapi kami tidak memiliki kapasitas untuk mengobati kasus coronavirus, yang memerlukan tindakan khusus seperti isolasi,” katanya.
Bantuan pengungsi Palestina di Lebanon telah menurun selama beberapa tahun terakhir. Sejak 2018, UNRWA telah menghadapi krisis keuangan terburuknya, dengan pemerintah Amerika Serikat (AS), sebagai donatur terbesar, menghetikan dana bantuan mereka.
Sejauh ini, organisasi tersebut hanya mengumpulkan USD 300 juta dari anggaran daerah tahun ini, di mana UNRWA sejatinya membutuhkan dana sebesar USD 1,4 miliar. Di Lebanon, kapasitasnya untuk memberikan bantuan langsung di kamp-kamp Palestina terbatas pada 6i ribu orang, meskipun lebih dari 65 persen pengungsi Palestina hidup di bawah garis kemiskinan.
Juru bicara UNRWA, Hoda Samra percaya jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan jauh lebih tinggi. "Krisis Covid-19 juga meningkatkan kebutuhan finansial UNRWA," katanya. Terlepas dari penularan Covid-19, tampaknya, untuk saat ini setidaknya, populasi pengungsi yang lebih besar akan tetap dilupakan di Lebanon.
(esn)