Korut Klaim Nol Kasus COVID-19, Kim Jong-un Dianggap Bohong
A
A
A
SEOUL - Pemerintah Korea Utara (Korut) mengklaim bahwa mereka tidak memiliki kasus infeksi COVID-19, virus corona jenis baru yang telah jadi pandemi global. Mantan analis CIA, Jung H. Pak, menyebut pemimpin Korea Utara Kim Jong-un bohong atas klaim itu.
Korea Utara berbatasan dengan China dan Korea Selatan, dua negara yang sangat terpukul di dunia oleh wabah COVID-19. China sendiri memiliki 80.894 kasus hingga hari ini (18/3/2020) dengan kematian sebanyak 3.237 jiwa. Sedangkan Korea Selatan memiliki 8.413 kasus dengan 84 kematian.
Korea Selatan, yang memiliki kebijakan penyaringan paling agresif di dunia, bernasib jauh lebih baik. Para pakar kesehatan global memuji kemampuan Korea Selatan untuk menguji begitu banyak penghuni negara tersebut.
Korea Selatan telah memeriksa lebih dari seperempat juta orang, yang secara kasar diterjemahkan menjadi satu tes untuk setiap 200 penduduk. Apa yang dilakukan Korea Selatan ini mendorong beberapa pemimpin internasional untuk menirunya.
Sebaliknya, Korea Utara menolak untuk mengakui bahwa ada kasus infeksi COVID-19 di sana, meskipun banyak bukti anekdotal yang bertentangan.
"Tidak mungkin bagi Korea Utara untuk tidak memiliki satu kasus virus corona," kata Jung H. Pak, mantan analis CIA untuk Korea Utara, kepada Fox News.
Pak, yang sekarang adalah anggota Brookings Institute, percaya bahwa Kim Jong-un berbohong tentang angka-angka untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dia masih memegang kendali dan dapat melindungi rakyatnya dari penyakit mematikan meskipun satu dekade dihantam sanksi ekonomi terkait program nuklir dan pelanggaran HAM.
Pyongyang menyatakan bahwa pihakanya mampu melindungi dirinya dari COVID-19 dengan menjadi proaktif dalam perjuangannya untuk kelangsungan hidup nasional.
Negara komunis ini telah menutup perbatasannya, memotong perdagangan dengan China, memperpanjang masa karantina menjadi 30 hari dan menempatkan pembatasan pada kegiatan staf diplomatik dan internasional asing yang berbasis di Korea Utara. Dengan kebijakan itu, rezim Kim Jong-un mengklaim bahwa isolasi dari seluruh dunia telah menyelamatkan Korut.
Ada sedikit kemungkinan virus melompati perbatasan yang sangat termiliterisasi dengan Korea Selatan atau masuk melalui jalur tertutup dengan China. Ada pedagang pasar gelap yang beroperasi di kawasan itu selama bertahun-tahun yang berpotensi membawa virus ke Korut.
Jenderal Robert Abrams, komandan Pasukan Amerika Serikat-Korea Selatan (USFK), meyakini petunjuk lain bahwa Korut memiliki korban COVID-19 adalah kurangnya aktivitas militer dalam beberapa pekan terakhir.
Abrams mengatakan kepada wartawan pada Jumat pekan lalu bahwa Amerika Serikat "cukup yakin" Pyongyang telah merasakan kehancuran yang terkait dengan virus corona baru.
"Ini adalah negara tertutup, jadi kami tidak bisa mengatakan dengan tegas bahwa mereka memiliki kasus, tetapi kami cukup yakin mereka memilikinya," kata Abrams.
"Yang saya tahu adalah bahwa angkatan bersenjata mereka secara fundamental di-lockdown selama sekitar 30 hari dan hanya baru-baru ini mereka memulai latihan rutin lagi. Sebagai contoh, mereka tidak menerbangkan pesawat terbang selama 24 hari," paparnya.
Selain itu, ada lusinan klaim anekdotal dari Korea Utara yang ditutup-tutupi. Kementerian Unifikasi Korea Selatan, yang mengawasi hubungan antar-Korea, mengatakan pada akhir Februari lalu bahwa Pyongyang telah melaporkan kepada Organisasi Kesehatan Dunia bahwa mereka telah menguji 141 kasus yang diduga sebagai virus corona tetapi semuanya negatif.
Namun, media Korea Selatan, yang mengandalkan sumber anonim, telah melaporkan kasus virus corona di Korea Utara, dan beberapa di antaranya fatal.
Sekitar waktu yang sama, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Morgan Ortagus mengatakan bahwa Amerika Serikat sangat prihatin dengan kerentanan orang Korea Utara terhadap wabah virus corona.
Korea Utara berbatasan dengan China dan Korea Selatan, dua negara yang sangat terpukul di dunia oleh wabah COVID-19. China sendiri memiliki 80.894 kasus hingga hari ini (18/3/2020) dengan kematian sebanyak 3.237 jiwa. Sedangkan Korea Selatan memiliki 8.413 kasus dengan 84 kematian.
Korea Selatan, yang memiliki kebijakan penyaringan paling agresif di dunia, bernasib jauh lebih baik. Para pakar kesehatan global memuji kemampuan Korea Selatan untuk menguji begitu banyak penghuni negara tersebut.
Korea Selatan telah memeriksa lebih dari seperempat juta orang, yang secara kasar diterjemahkan menjadi satu tes untuk setiap 200 penduduk. Apa yang dilakukan Korea Selatan ini mendorong beberapa pemimpin internasional untuk menirunya.
Sebaliknya, Korea Utara menolak untuk mengakui bahwa ada kasus infeksi COVID-19 di sana, meskipun banyak bukti anekdotal yang bertentangan.
"Tidak mungkin bagi Korea Utara untuk tidak memiliki satu kasus virus corona," kata Jung H. Pak, mantan analis CIA untuk Korea Utara, kepada Fox News.
Pak, yang sekarang adalah anggota Brookings Institute, percaya bahwa Kim Jong-un berbohong tentang angka-angka untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dia masih memegang kendali dan dapat melindungi rakyatnya dari penyakit mematikan meskipun satu dekade dihantam sanksi ekonomi terkait program nuklir dan pelanggaran HAM.
Pyongyang menyatakan bahwa pihakanya mampu melindungi dirinya dari COVID-19 dengan menjadi proaktif dalam perjuangannya untuk kelangsungan hidup nasional.
Negara komunis ini telah menutup perbatasannya, memotong perdagangan dengan China, memperpanjang masa karantina menjadi 30 hari dan menempatkan pembatasan pada kegiatan staf diplomatik dan internasional asing yang berbasis di Korea Utara. Dengan kebijakan itu, rezim Kim Jong-un mengklaim bahwa isolasi dari seluruh dunia telah menyelamatkan Korut.
Ada sedikit kemungkinan virus melompati perbatasan yang sangat termiliterisasi dengan Korea Selatan atau masuk melalui jalur tertutup dengan China. Ada pedagang pasar gelap yang beroperasi di kawasan itu selama bertahun-tahun yang berpotensi membawa virus ke Korut.
Jenderal Robert Abrams, komandan Pasukan Amerika Serikat-Korea Selatan (USFK), meyakini petunjuk lain bahwa Korut memiliki korban COVID-19 adalah kurangnya aktivitas militer dalam beberapa pekan terakhir.
Abrams mengatakan kepada wartawan pada Jumat pekan lalu bahwa Amerika Serikat "cukup yakin" Pyongyang telah merasakan kehancuran yang terkait dengan virus corona baru.
"Ini adalah negara tertutup, jadi kami tidak bisa mengatakan dengan tegas bahwa mereka memiliki kasus, tetapi kami cukup yakin mereka memilikinya," kata Abrams.
"Yang saya tahu adalah bahwa angkatan bersenjata mereka secara fundamental di-lockdown selama sekitar 30 hari dan hanya baru-baru ini mereka memulai latihan rutin lagi. Sebagai contoh, mereka tidak menerbangkan pesawat terbang selama 24 hari," paparnya.
Selain itu, ada lusinan klaim anekdotal dari Korea Utara yang ditutup-tutupi. Kementerian Unifikasi Korea Selatan, yang mengawasi hubungan antar-Korea, mengatakan pada akhir Februari lalu bahwa Pyongyang telah melaporkan kepada Organisasi Kesehatan Dunia bahwa mereka telah menguji 141 kasus yang diduga sebagai virus corona tetapi semuanya negatif.
Namun, media Korea Selatan, yang mengandalkan sumber anonim, telah melaporkan kasus virus corona di Korea Utara, dan beberapa di antaranya fatal.
Sekitar waktu yang sama, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Morgan Ortagus mengatakan bahwa Amerika Serikat sangat prihatin dengan kerentanan orang Korea Utara terhadap wabah virus corona.
(mas)