Hotel Ryugyong, Hotel Termegah Korut Hasil Perang Dingin
A
A
A
PADA 1987, sebuah lahan telah dikosongkan di ibu kota Korea Utara (Korut), Pyongyang. Saat itu, pemerintah setempat berencana membangun hotel bintang lama setinggi 305 meter dengan 3.000 ruangan. Hotel itu diberi nama Ryugyong dan dijadwalkan rampung dalam dua tahun. Namun, rencana itu gagal.
Pembangunan Ryugyong terbengkalai akibat kurangnya dana dan baru dapat dibangun kembali pada 1992. Struktur bangunannya sudah menjulang tinggi sesuai rancangan di atas kertas, tapi belum selesai 100%. Sebab, selain terdiri atas beton yang telanjang bulat, hotel tersebut tidak dilengkapi kaca atau lampu.
Setelah mengalami pasang surut selama beberapa dekade, hotel itu akhirnya selesai dibangun pada 2011-an. Ryugyong kini sudah dibalut logam dan kaca, juga lampu LED yang berwarna-warni, dan berdiri kukuh di pusat kota. Namun, salah satu bangunan tertinggi di dunia tersebut tidak dibuka untuk siapa pun.
Ryugyong merupakan produk persaingan antara Korut dan Korea Selatan (Korsel) selama Perang Dingin. Korut yang didukung Uni Soviet tidak mau kalah dari Korsel yang didukung Amerika Serikat (AS) dalam berbagai bidang, termasuk peradaban. Korut terus mengejar ketertinggalan dari Korsel, meski kembang kempis.
Sebelum Ryugyong dibangun, perusahaan Korsel gencar melakukan pembangunan hotel, baik di Korsel maupun luar negeri, termasuk hotel tertinggi Westin Stamford di Singapura. Di samping itu, sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Panas 1998, Korsel banyak memperbaiki infrastruktur dan fasilitas di Seoul.
Menanggapi keadaan itu, Korut merancang berbagai siasat. Seperti Korsel, Korut juga menjadi tuan rumah Festival Pemuda dan Siswa Dunia pada 1989, turnamen mirip Olimpiade. Korut lalu berencana membangun hotel besar untuk mengakomodasi peserta kompetisi itu dan mencuri rekor yang dicatat Korsel.
Namun, Korut menghadapi berbagai kendala. Dengan hilangnya bantuan dari Uni Soviet, Korut memilih fokus pada perluasan bandara dan infrastruktur jalan raya. Sebab, jika pembangunan Ryugyong dilanjutkan, Korut akan mengalami krisis ekonomi. Akhirnya, crane-crane ditinggalkan di atas gedung tersebut.
“Bangunannya mengerucut agar lebih ringan. Pasalnya, Korut kekurangan bahan konstruksi dan hanya menggunakan beton baja,” kata Calvin Chua, seorang arsitek dari Singapura, dikutip CNN. “Sebagian besar bangunan di Korut juga terbuat dari beton karena ilmu arsitek yang mereka dapat dari Uni Soviet hanya itu,”
Chua menambahkan, Ryugyong tidak dirancang menyerupai piramida, melainkan gunung. Sebab, gunung memiliki makna yang kuat di Korut karena menjadi simbol negara. Sejumlah petinggi Korut juga dilahirkan di gunung, termasuk Kim Jong-il yang dilahirkan di sebuah perkemahan militer di Gunung Paektu. (Muh Shamil)
Pembangunan Ryugyong terbengkalai akibat kurangnya dana dan baru dapat dibangun kembali pada 1992. Struktur bangunannya sudah menjulang tinggi sesuai rancangan di atas kertas, tapi belum selesai 100%. Sebab, selain terdiri atas beton yang telanjang bulat, hotel tersebut tidak dilengkapi kaca atau lampu.
Setelah mengalami pasang surut selama beberapa dekade, hotel itu akhirnya selesai dibangun pada 2011-an. Ryugyong kini sudah dibalut logam dan kaca, juga lampu LED yang berwarna-warni, dan berdiri kukuh di pusat kota. Namun, salah satu bangunan tertinggi di dunia tersebut tidak dibuka untuk siapa pun.
Ryugyong merupakan produk persaingan antara Korut dan Korea Selatan (Korsel) selama Perang Dingin. Korut yang didukung Uni Soviet tidak mau kalah dari Korsel yang didukung Amerika Serikat (AS) dalam berbagai bidang, termasuk peradaban. Korut terus mengejar ketertinggalan dari Korsel, meski kembang kempis.
Sebelum Ryugyong dibangun, perusahaan Korsel gencar melakukan pembangunan hotel, baik di Korsel maupun luar negeri, termasuk hotel tertinggi Westin Stamford di Singapura. Di samping itu, sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Panas 1998, Korsel banyak memperbaiki infrastruktur dan fasilitas di Seoul.
Menanggapi keadaan itu, Korut merancang berbagai siasat. Seperti Korsel, Korut juga menjadi tuan rumah Festival Pemuda dan Siswa Dunia pada 1989, turnamen mirip Olimpiade. Korut lalu berencana membangun hotel besar untuk mengakomodasi peserta kompetisi itu dan mencuri rekor yang dicatat Korsel.
Namun, Korut menghadapi berbagai kendala. Dengan hilangnya bantuan dari Uni Soviet, Korut memilih fokus pada perluasan bandara dan infrastruktur jalan raya. Sebab, jika pembangunan Ryugyong dilanjutkan, Korut akan mengalami krisis ekonomi. Akhirnya, crane-crane ditinggalkan di atas gedung tersebut.
“Bangunannya mengerucut agar lebih ringan. Pasalnya, Korut kekurangan bahan konstruksi dan hanya menggunakan beton baja,” kata Calvin Chua, seorang arsitek dari Singapura, dikutip CNN. “Sebagian besar bangunan di Korut juga terbuat dari beton karena ilmu arsitek yang mereka dapat dari Uni Soviet hanya itu,”
Chua menambahkan, Ryugyong tidak dirancang menyerupai piramida, melainkan gunung. Sebab, gunung memiliki makna yang kuat di Korut karena menjadi simbol negara. Sejumlah petinggi Korut juga dilahirkan di gunung, termasuk Kim Jong-il yang dilahirkan di sebuah perkemahan militer di Gunung Paektu. (Muh Shamil)
(ysw)