Warga Idlib: Kami Seperti Menunggu Hukuman Mati
A
A
A
IDLIB - Ahlam, yang mengkoordinasikan dukungan kemanusiaan untuk World Vision Syria di Provinsi Idlib menuturkan, warga di wilayah itu saat ini seperti sedang menunggu hukuman mati. Dia mengatakan, warga Idlib terjebak dalam pertempuran dan tidak tahu harus lari ke mana.
"Bagian tersulit adalah tidak tahu ke mana harus pergi. Orang-orang melarikan diri dari pengeboman, tetapi mereka tidak ke mana-mana," ucapnya, yang meminta nama lengkapnya tidak digunakan.
"Ketika kalian bertanya pada orang-orang di jalan, ke mana mereka akan pergi? Tidak ada yang tahu. Mereka hanya tahu bahwa tidak ada tempat yang aman lagi, jadi lebih baik terus bergerak," sambungnya, seperti dilansir Al Jazeera.
Dia mengatakan, dalam satu kesempatan ia menemukan satu keluarga yang beranggotakan lebih dari 20 orang mencoba berlindung dari pemboman di sebuah bangunan.
"Semua anggota keluarga berada di satu ruangan, tidak ada makanan, tidak ada toilet. Ada lebih dari 25 anak di sana. Jadi, ketika kami mendengar situasi itu, kami tahu kami harus berusaha membantu," ungkapnya.
Ahlam tetap di provinsi Idlib selama perang Suriah. Dia menyaksikan tentara Suriah memasuki kotanya, Maaret al-Numan, yang terletak di jalan raya M5 yang menghubungkan Aleppo ke Damaskus.
Baik lokasi yang strategis dan salah satu pusat simbolis protes anti-rezim, itu adalah pertama kalinya tentara memasuki kota sejak pasukan oposisi menduduki kota itu pada tahun 2012. Ahlam mengatakan, dia belum pernah melihat situasi seputus asa seperti sekarang.
Sejak Desember 2019, pemerintah Suriah telah memperbarui operasi militernya untuk mengambil alih wilayah-wilayah yang dikuasai pasukan oposisi, menembaki desa-desa Idlib dengan dukungan serangan udara Rusia. PBB telah melaporkan bahwa lebih dari 800 ribu orang telah terlantar dalam dua bulan terakhir.
Dia mengatakan, dengan suhu malam yang turun di bawah nol dan tenda-tenda tertutup salju, banyak yang tidak punya apa-apa untuk menghangatkan diri selain sampah dan pakaian tua, kadang-kadang dengan konsekuensi yang tragis.
"Orang-orang tidur di mobil di sisi jalan, atau di bawah pohon. Anak-anak benar-benar mati kedinginan," ungkap Ahlam.
Reifa, seorang warga Idlib lainnya, memohon kepada Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Gutierrez untuk mengirimkan dokter dan perwat ke Idlib. Dia juga mendesak Guterres dan anggota Dewan Keamanan PBB untuk datang ke Idlib dan melihat langsung situasi di kota tersebut.
"Datanglah ke Idlib. Ayo lihat bersama Anda mata apa yang terjadi di sini. Kepada Dewan Keamanan PBB saya ingin mengatakan ini, lihat sendiri apakah kematian dan pembunuhan yang terjadi di Idlib adalah karena terorisme atau lebih tepatnya (dari bom) yang jatuh dari langit," ujarnya.
"Bagian tersulit adalah tidak tahu ke mana harus pergi. Orang-orang melarikan diri dari pengeboman, tetapi mereka tidak ke mana-mana," ucapnya, yang meminta nama lengkapnya tidak digunakan.
"Ketika kalian bertanya pada orang-orang di jalan, ke mana mereka akan pergi? Tidak ada yang tahu. Mereka hanya tahu bahwa tidak ada tempat yang aman lagi, jadi lebih baik terus bergerak," sambungnya, seperti dilansir Al Jazeera.
Dia mengatakan, dalam satu kesempatan ia menemukan satu keluarga yang beranggotakan lebih dari 20 orang mencoba berlindung dari pemboman di sebuah bangunan.
"Semua anggota keluarga berada di satu ruangan, tidak ada makanan, tidak ada toilet. Ada lebih dari 25 anak di sana. Jadi, ketika kami mendengar situasi itu, kami tahu kami harus berusaha membantu," ungkapnya.
Ahlam tetap di provinsi Idlib selama perang Suriah. Dia menyaksikan tentara Suriah memasuki kotanya, Maaret al-Numan, yang terletak di jalan raya M5 yang menghubungkan Aleppo ke Damaskus.
Baik lokasi yang strategis dan salah satu pusat simbolis protes anti-rezim, itu adalah pertama kalinya tentara memasuki kota sejak pasukan oposisi menduduki kota itu pada tahun 2012. Ahlam mengatakan, dia belum pernah melihat situasi seputus asa seperti sekarang.
Sejak Desember 2019, pemerintah Suriah telah memperbarui operasi militernya untuk mengambil alih wilayah-wilayah yang dikuasai pasukan oposisi, menembaki desa-desa Idlib dengan dukungan serangan udara Rusia. PBB telah melaporkan bahwa lebih dari 800 ribu orang telah terlantar dalam dua bulan terakhir.
Dia mengatakan, dengan suhu malam yang turun di bawah nol dan tenda-tenda tertutup salju, banyak yang tidak punya apa-apa untuk menghangatkan diri selain sampah dan pakaian tua, kadang-kadang dengan konsekuensi yang tragis.
"Orang-orang tidur di mobil di sisi jalan, atau di bawah pohon. Anak-anak benar-benar mati kedinginan," ungkap Ahlam.
Reifa, seorang warga Idlib lainnya, memohon kepada Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Gutierrez untuk mengirimkan dokter dan perwat ke Idlib. Dia juga mendesak Guterres dan anggota Dewan Keamanan PBB untuk datang ke Idlib dan melihat langsung situasi di kota tersebut.
"Datanglah ke Idlib. Ayo lihat bersama Anda mata apa yang terjadi di sini. Kepada Dewan Keamanan PBB saya ingin mengatakan ini, lihat sendiri apakah kematian dan pembunuhan yang terjadi di Idlib adalah karena terorisme atau lebih tepatnya (dari bom) yang jatuh dari langit," ujarnya.
(esn)