Langgar Sanksi PBB, Rezim Kim Jong-un Tingkatkan Program Nuklir Korut
A
A
A
NEW YORK - Rezim Kim Jong-un yang berkuasa di Korea Utara (Korut) terus meningkatkan program nuklir dan rudal balistiknya sepanjang tahun 2019, yang berarti melanggar sanksi PBB. Demikian laporan rahasia PBB yang bocor ke media.
Laporan yang dilihat Reuters tersebut mengatakan negara komunis di semenanjung Korea itu juga secara ilegal mengimpor minyak sulingan dan mengekspor sekitar batubara senilai USD370 juta dengan bantuan tongkang China.
Laporan rahasia PBB tentang Korea Utara itu setebal 67 halaman. Laporan yang akan diserahkan kepada Komite Sanksi Dewan Keamanan PBB untuk Korea Utara akan diumumkan bulan depan. Laporan diungkap media ketika Amerika Serikat berusaha untuk menghidupkan kembali pembicaraan denuklirisasi yang terhenti dengan Korea Utara.
"Pada 2019, Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) tidak menghentikan program-program nuklir dan rudal balistiknya, yang terus ditingkatkan, yang melanggar resolusi Dewan Keamanan (PBB)," tulis pengamat sanksi independen PBB dalam laporan tersebut.
"Meskipun memiliki kemampuan sendiri yang luas, ia (Korut) menggunakan pengadaan eksternal ilegal untuk beberapa komponen dan teknologi," lanjut laporan tersebut yang dikutip Selasa (11/2/2020).
Korea Utara telah dikenai sanksi PBB sejak 2006. Saksi telah diperkuat oleh Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara selama bertahun-tahun dalam upaya untuk memotong dana untuk program nuklir dan rudal balistik Pyongyang.
Para pemantau sanksi mengatakan bahwa dalam upaya baru untuk menghindari sanksi, Korea Utara telah mulai mengekspor jutaan ton komoditas—yang dilarang sejak 2017—menggunakan tongkang.
"Menurut Negara Anggota, DPRK mengekspor 3,7 juta metrik ton batubara antara Januari dan Agustus 2019, dengan nilai perkiraan USD370 juta," lanjut laporan itu.
"Menurut Negara Anggota, sebagian besar ekspor batubara DPRK, diperkirakan 2,8 juta metrik ton, dilakukan melalui transfer antarkapal dari kapal berbendera DPRK ke tongkang lokal China."
Negara anggota yang tidak disebutkan itu mengatakan kepada para pemantau bahwa tongkang telah mengirimkan batubara langsung ke tiga pelabuhan di Teluk Hangzhou China dan juga ke fasilitas di sepanjang sungai Yangtze.
Para pemantau AS juga mengatakan negara anggota DK PBB melaporkan bahwa Korea Utara telah mengekspor setidaknya satu juta ton pasir dari pengerukan sungai, senilai setidaknya USD22 juta, ke pelabuhan-pelabuhan China.
Sekutu Pyongyang, China, telah berulang kali mengatakan mereka menerapkan sanksi PBB.
Para pemantau sanksi melaporkan bahwa Korea Utara terus secara ilegal mengimpor minyak sulingan melalui transfer antarkapal di laut dan pengiriman langsung.
Sejak 2017, impor tahunan minyak olahan Korea Utara telah dibatasi oleh Dewan Keamanan PBB sekitar 500.000 barel. Para pemantau mengatakan Amerika Serikat melaporkan bahwa antara 1 Januari dan 31 Oktober tahun lalu, Pyongyang mengimpor minyak bumi olahan yang melebihi batas "berkali-kali lipat."
Sementara sanksi PBB tidak dimaksudkan untuk membahayakan warga sipil Korea Utara, laporan PBB mengatakan; "Ada sedikit keraguan bahwa sanksi PBB memiliki efek yang tidak diinginkan pada situasi kemanusiaan dan operasi bantuan, meskipun akses ke data dan bukti terbatas dan tidak ada metodologi yang dapat diandalkan yang melucuti sanksi PBB dari faktor-faktor lain."
Rusia dan China telah mengajukan kekhawatiran bahwa sanksi itu merugikan warga sipil Korea Utara, dan telah menyatakan harapan bahwa pelonggaran beberapa pembatasan dapat membantu memecahkan kebuntuan dalam pembicaraan nuklir antara Washington dan Pyongyang.
Namun Amerika Serikat, Prancis dan Inggris mengatakan sekarang bukan saatnya untuk mempertimbangkan mencabut sanksi.
Korea Utara mengatakan tidak lagi terikat oleh komitmen untuk menghentikan uji coba nuklir dan rudal, dengan menyalahkan Amerika Serikat karena gagal memenuhi batas waktu akhir 2019 untuk menunjukkan lebih banyak fleksibilitas dalam pembicaraan nuklir dan sebaliknya menjatuhkan sanksi yang "brutal dan tidak manusiawi".
Laporan PBB mengatakan Korea Utara melakukan 13 uji coba rudal tahun lalu, meluncurkan sedikitnya 25 rudal, termasuk tipe rudal jarak pendek tipe baru dan rudal balistik yang diluncurkan dari kapal selam.
"Ia (Korea Utara) terus mengembangkan infrastruktur dan kapasitas untuk program misilnya," kata para pemantau sanksi.
Para pemantau sanksi juga menyimpulkan bahwa Korea Utara terus melakukan serangan dunia maya terhadap lembaga keuangan dan pertukaran mata uang digital secara global.
"Serangan-serangan ini telah mengakibatkan kerugian moneter dan telah memberikan pendapatan ilegal bagi DPRK yang melanggar sanksi keuangan," imbuh laporan rahasia PBB.
"Serangan-serangan ini berisiko rendah, berpenghasilan tinggi, sulit dideteksi, dan peningkatan kecanggihan mereka dapat menggagalkan atribusi."
Laporan yang dilihat Reuters tersebut mengatakan negara komunis di semenanjung Korea itu juga secara ilegal mengimpor minyak sulingan dan mengekspor sekitar batubara senilai USD370 juta dengan bantuan tongkang China.
Laporan rahasia PBB tentang Korea Utara itu setebal 67 halaman. Laporan yang akan diserahkan kepada Komite Sanksi Dewan Keamanan PBB untuk Korea Utara akan diumumkan bulan depan. Laporan diungkap media ketika Amerika Serikat berusaha untuk menghidupkan kembali pembicaraan denuklirisasi yang terhenti dengan Korea Utara.
"Pada 2019, Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) tidak menghentikan program-program nuklir dan rudal balistiknya, yang terus ditingkatkan, yang melanggar resolusi Dewan Keamanan (PBB)," tulis pengamat sanksi independen PBB dalam laporan tersebut.
"Meskipun memiliki kemampuan sendiri yang luas, ia (Korut) menggunakan pengadaan eksternal ilegal untuk beberapa komponen dan teknologi," lanjut laporan tersebut yang dikutip Selasa (11/2/2020).
Korea Utara telah dikenai sanksi PBB sejak 2006. Saksi telah diperkuat oleh Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara selama bertahun-tahun dalam upaya untuk memotong dana untuk program nuklir dan rudal balistik Pyongyang.
Para pemantau sanksi mengatakan bahwa dalam upaya baru untuk menghindari sanksi, Korea Utara telah mulai mengekspor jutaan ton komoditas—yang dilarang sejak 2017—menggunakan tongkang.
"Menurut Negara Anggota, DPRK mengekspor 3,7 juta metrik ton batubara antara Januari dan Agustus 2019, dengan nilai perkiraan USD370 juta," lanjut laporan itu.
"Menurut Negara Anggota, sebagian besar ekspor batubara DPRK, diperkirakan 2,8 juta metrik ton, dilakukan melalui transfer antarkapal dari kapal berbendera DPRK ke tongkang lokal China."
Negara anggota yang tidak disebutkan itu mengatakan kepada para pemantau bahwa tongkang telah mengirimkan batubara langsung ke tiga pelabuhan di Teluk Hangzhou China dan juga ke fasilitas di sepanjang sungai Yangtze.
Para pemantau AS juga mengatakan negara anggota DK PBB melaporkan bahwa Korea Utara telah mengekspor setidaknya satu juta ton pasir dari pengerukan sungai, senilai setidaknya USD22 juta, ke pelabuhan-pelabuhan China.
Sekutu Pyongyang, China, telah berulang kali mengatakan mereka menerapkan sanksi PBB.
Para pemantau sanksi melaporkan bahwa Korea Utara terus secara ilegal mengimpor minyak sulingan melalui transfer antarkapal di laut dan pengiriman langsung.
Sejak 2017, impor tahunan minyak olahan Korea Utara telah dibatasi oleh Dewan Keamanan PBB sekitar 500.000 barel. Para pemantau mengatakan Amerika Serikat melaporkan bahwa antara 1 Januari dan 31 Oktober tahun lalu, Pyongyang mengimpor minyak bumi olahan yang melebihi batas "berkali-kali lipat."
Sementara sanksi PBB tidak dimaksudkan untuk membahayakan warga sipil Korea Utara, laporan PBB mengatakan; "Ada sedikit keraguan bahwa sanksi PBB memiliki efek yang tidak diinginkan pada situasi kemanusiaan dan operasi bantuan, meskipun akses ke data dan bukti terbatas dan tidak ada metodologi yang dapat diandalkan yang melucuti sanksi PBB dari faktor-faktor lain."
Rusia dan China telah mengajukan kekhawatiran bahwa sanksi itu merugikan warga sipil Korea Utara, dan telah menyatakan harapan bahwa pelonggaran beberapa pembatasan dapat membantu memecahkan kebuntuan dalam pembicaraan nuklir antara Washington dan Pyongyang.
Namun Amerika Serikat, Prancis dan Inggris mengatakan sekarang bukan saatnya untuk mempertimbangkan mencabut sanksi.
Korea Utara mengatakan tidak lagi terikat oleh komitmen untuk menghentikan uji coba nuklir dan rudal, dengan menyalahkan Amerika Serikat karena gagal memenuhi batas waktu akhir 2019 untuk menunjukkan lebih banyak fleksibilitas dalam pembicaraan nuklir dan sebaliknya menjatuhkan sanksi yang "brutal dan tidak manusiawi".
Laporan PBB mengatakan Korea Utara melakukan 13 uji coba rudal tahun lalu, meluncurkan sedikitnya 25 rudal, termasuk tipe rudal jarak pendek tipe baru dan rudal balistik yang diluncurkan dari kapal selam.
"Ia (Korea Utara) terus mengembangkan infrastruktur dan kapasitas untuk program misilnya," kata para pemantau sanksi.
Para pemantau sanksi juga menyimpulkan bahwa Korea Utara terus melakukan serangan dunia maya terhadap lembaga keuangan dan pertukaran mata uang digital secara global.
"Serangan-serangan ini telah mengakibatkan kerugian moneter dan telah memberikan pendapatan ilegal bagi DPRK yang melanggar sanksi keuangan," imbuh laporan rahasia PBB.
"Serangan-serangan ini berisiko rendah, berpenghasilan tinggi, sulit dideteksi, dan peningkatan kecanggihan mereka dapat menggagalkan atribusi."
(mas)