Kata Jenderal AS, Pentagon Harus Meniru Korut
A
A
A
WASHINGTON - Seorang jenderal terkemuka Amerika Serikat (AS) menekankan Pentagon untuk meniru Elon Musk dan Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) atau Korea Utara (Korut) yang cepat bangkit dari kegagalan. Sang jenderal menyampaikan hal itu dalam pidatonya di forum yang diselenggarakan kelompok think tank di Washington.
Jenderal Angkatan Udara sekaligus Wakil Ketua Gabungan Kepala Staf Militer AS, John Hyten, secara tidak langsung kagum dengan rezim Kim Jong-un yang berkuasa di Korea Utara yang mampu dengan cepat memajukan program senjatanya meskipun dihantam sanksi dan didera kemiskinan.
Elon Musk adalah miliarder AS yang berambisi menciptakan moda transportasi cepat dan memindahkan manusia ke planet lain dengan berbagai terobosan teknologi.
Lalu, apa kesamaan Kim Jong-un dan Elon Musk? Menurut jenderal nomor dua Pentagon tersebut, kesamaan keduanya adalah sama-sama berupaya tanpa henti untuk berhasil terlepas dari kegagalan. Tekad itulah yang dia tekankan agar ditiru Pentagon.
"Entah bagaimana selama beberapa tahun terakhir, Korea Utara telah mengembangkan program rudal balistik yang dapat mengancam tetangganya dan mengancam Amerika Serikat, serta program nuklir yang dapat mengancam tetangganya dan Amerika Serikat, dan mereka telah melakukan itu," kata Jenderal Hyten dalam pidatonya di sebuah konferensi yang diselenggarakan kelompok Center for Strategic and International Studies (CSIS).
"Mereka telah mengubah seluruh struktur dunia dengan ekonomi ke-115 paling kuat di dunia," ujarnya.
“Anda ingin tahu apa yang berbeda dari Korea Utara? Mereka belajar secara cepat," papar Hyten, seperti dikutip Sputniknews, Rabu (22/1/2020).
Perwira tertinggi kedua Angkatan Bersenjata AS itu mencatat bahwa dengan perbandingan seperti itu, militer AS adalah orang yang tidak suka kegagalan, dan takut belajar dari kesalahan.
"Jika diktator Korea Utara telah belajar bagaimana menerima kegagalan, mengapa Amerika Serikat tidak bisa belajar bagaimana menerima kegagalan?," tanya Hyten. “Kita perlu memahami apa itu kegagalan dan belajar dari kegagalan itu. Belajarlah dari kesalahan yang kami buat. Bergerak cepat dari kesalahan-kesalahan itu."
Namun, Hyten mencatat ada beberapa orang Amerika yang bisa menunjukkan jalannya, seperti Elon Musk dan Jeff Bezos.
"Jika Anda ingin melaju cepat dalam bisnis rudal, Anda perlu menguji cepat, terbang cepat dan belajar cepat. Lihat SpaceX di negara ini. Ada beberapa kegagalan yang cukup spektakuler. Apakah mereka berhenti? Tidak," kata Hyten tentang program ruang angkasa yang dikembangkan Musk dengan perusahaannya yang telah memelopori banyak roket baru sejak didirikan pada tahun 2002.
Sedangkan Korut, jenderal AS ini mengagumi tekadnya yang tak kenal menyerah. "Itulah yang telah dilakukan Korea Utara, dan Korea Utara telah membangun rudal baru, kemampuan baru, senjata baru secepat siapa pun di planet ini dengan ekonomi ke-115 paling kuat di dunia. Kecepatan itu sendiri adalah efisiensi," katanya.
Program senjata nuklir dan rudal balistik Pyongyang sejatinya membutuhkan waktu puluhan tahun untuk membuahkan hasil. Pusat Penelitian Ilmiah Nuklir Yongbyon DPRK dibuka pada awal tahun 1962, dan fasilitas "kue kuning" yang berdekatan mulai memproses uranium untuk perbaikan pada tahun 1980. Meskipun kehilangan sekutu utamanya, Uni Soviet, dan pengenaan sanksi yang menghancurkan di tengah bencana alam yang belum pernah terjadi sebelumnya, negara sosialis ini masih bisa menguji perangkat nuklir pertamanya. Sepuluh tahun kemudian, Korut menguji perangkat termonuklir.
Demikian juga, program rudal balistik DPRK, di mana Pyongyang telah membangun rudal balistik jarak menengah berdasarkan rudal SS-1 Soviet—oleh NATO dinamai rudal Scud.
Korut menembakkan roket pertama yang dirangkai sendiri ke luar angkasa pada tahun 1998 dan pada November 2017 menguji rudal balistik antarbenua Hwasong-15 dengan jangkauan 8.000 mil. Sejak itu, mereka telah menguji senjata jarak pendek yang diyakini sebagai artileri roket yang mirip dengan sistem HIMARS AS.
Jenderal Angkatan Udara sekaligus Wakil Ketua Gabungan Kepala Staf Militer AS, John Hyten, secara tidak langsung kagum dengan rezim Kim Jong-un yang berkuasa di Korea Utara yang mampu dengan cepat memajukan program senjatanya meskipun dihantam sanksi dan didera kemiskinan.
Elon Musk adalah miliarder AS yang berambisi menciptakan moda transportasi cepat dan memindahkan manusia ke planet lain dengan berbagai terobosan teknologi.
Lalu, apa kesamaan Kim Jong-un dan Elon Musk? Menurut jenderal nomor dua Pentagon tersebut, kesamaan keduanya adalah sama-sama berupaya tanpa henti untuk berhasil terlepas dari kegagalan. Tekad itulah yang dia tekankan agar ditiru Pentagon.
"Entah bagaimana selama beberapa tahun terakhir, Korea Utara telah mengembangkan program rudal balistik yang dapat mengancam tetangganya dan mengancam Amerika Serikat, serta program nuklir yang dapat mengancam tetangganya dan Amerika Serikat, dan mereka telah melakukan itu," kata Jenderal Hyten dalam pidatonya di sebuah konferensi yang diselenggarakan kelompok Center for Strategic and International Studies (CSIS).
"Mereka telah mengubah seluruh struktur dunia dengan ekonomi ke-115 paling kuat di dunia," ujarnya.
“Anda ingin tahu apa yang berbeda dari Korea Utara? Mereka belajar secara cepat," papar Hyten, seperti dikutip Sputniknews, Rabu (22/1/2020).
Perwira tertinggi kedua Angkatan Bersenjata AS itu mencatat bahwa dengan perbandingan seperti itu, militer AS adalah orang yang tidak suka kegagalan, dan takut belajar dari kesalahan.
"Jika diktator Korea Utara telah belajar bagaimana menerima kegagalan, mengapa Amerika Serikat tidak bisa belajar bagaimana menerima kegagalan?," tanya Hyten. “Kita perlu memahami apa itu kegagalan dan belajar dari kegagalan itu. Belajarlah dari kesalahan yang kami buat. Bergerak cepat dari kesalahan-kesalahan itu."
Namun, Hyten mencatat ada beberapa orang Amerika yang bisa menunjukkan jalannya, seperti Elon Musk dan Jeff Bezos.
"Jika Anda ingin melaju cepat dalam bisnis rudal, Anda perlu menguji cepat, terbang cepat dan belajar cepat. Lihat SpaceX di negara ini. Ada beberapa kegagalan yang cukup spektakuler. Apakah mereka berhenti? Tidak," kata Hyten tentang program ruang angkasa yang dikembangkan Musk dengan perusahaannya yang telah memelopori banyak roket baru sejak didirikan pada tahun 2002.
Sedangkan Korut, jenderal AS ini mengagumi tekadnya yang tak kenal menyerah. "Itulah yang telah dilakukan Korea Utara, dan Korea Utara telah membangun rudal baru, kemampuan baru, senjata baru secepat siapa pun di planet ini dengan ekonomi ke-115 paling kuat di dunia. Kecepatan itu sendiri adalah efisiensi," katanya.
Program senjata nuklir dan rudal balistik Pyongyang sejatinya membutuhkan waktu puluhan tahun untuk membuahkan hasil. Pusat Penelitian Ilmiah Nuklir Yongbyon DPRK dibuka pada awal tahun 1962, dan fasilitas "kue kuning" yang berdekatan mulai memproses uranium untuk perbaikan pada tahun 1980. Meskipun kehilangan sekutu utamanya, Uni Soviet, dan pengenaan sanksi yang menghancurkan di tengah bencana alam yang belum pernah terjadi sebelumnya, negara sosialis ini masih bisa menguji perangkat nuklir pertamanya. Sepuluh tahun kemudian, Korut menguji perangkat termonuklir.
Demikian juga, program rudal balistik DPRK, di mana Pyongyang telah membangun rudal balistik jarak menengah berdasarkan rudal SS-1 Soviet—oleh NATO dinamai rudal Scud.
Korut menembakkan roket pertama yang dirangkai sendiri ke luar angkasa pada tahun 1998 dan pada November 2017 menguji rudal balistik antarbenua Hwasong-15 dengan jangkauan 8.000 mil. Sejak itu, mereka telah menguji senjata jarak pendek yang diyakini sebagai artileri roket yang mirip dengan sistem HIMARS AS.
(mas)