Terancam Tenggelam di Bawah Laut, Maladewa Perlu Bantuan Segera
A
A
A
NEW DELHI - Maladewa mungkin kehilangan seluruh pulaunya kecuali segera mendapat dana bantuan untuk memerangi dampak perubahan iklim.
Mantan Presiden Maladewa Mohamed Nasheed menjadi terkenal setelah menggelar rapat kabinet di bawah laut untuk menarik perhatian publik pada pemanasan global dan pulau-pulau yang tenggelam.
Meski demikian, negara kepulauan yang terkenal dengan pasir putih dan pulau karang sebagai tujuan wisata mewah itu kesulitan mendapatkan uang untuk membangun infrastruktur penting seperti dinding laut agar pulau-pulaunya tak tenggelam akibat pemanasan global.
"Bagi negara kecil, ini tidak mudah. Seiring waktu saat pendanaan diperoleh, kami mungkin sudah di bawah laut," ungkap Menteri Luar Negeri (Menlu) Maladewa Abdulla Shahid di New Delhi, India.
Saat perundingan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Madrid pada Desember, Maladewa dan negara-negara rawan lainnya mendorong langkah nyata untuk pendanaan baru bagi mereka untuk mengatasi bencana dan dampak terkait perubahan iklim. Namun upaya mereka gagal.
Shahid berharap putaran perundingan baru di Glasgow pada November akan memberi hasil lebih baik.
Sebagai salah satu negara terendah di dunia, lebih dari 80% lahan Maladewa berada kurang dari satu meter di atas permukaan air laut. Itu artinya, populasi Maladewa sebanyak 530.000 jiwa sangat rentan pada gelombang laut, gelombang badai, dan cuaca buruk.
Pada 2004, tsunami Samudera Hindia mengakibatkan kerugian sekitar USD470 juta atau 62% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Maladewa. Bencana itu merusak infrastruktur, termasuk satu-satunya bandara internasional yang harus tutup selama beberapa hari.
"Untuk melindungi pulau, kami perlu mulai membangun dinding laut. Ini mahal, tapi kita membutuhkannya. Kami tak bisa menunggu hingga semuanya hilang," ujar Shahid.
Mantan Presiden Maladewa Mohamed Nasheed menjadi terkenal setelah menggelar rapat kabinet di bawah laut untuk menarik perhatian publik pada pemanasan global dan pulau-pulau yang tenggelam.
Meski demikian, negara kepulauan yang terkenal dengan pasir putih dan pulau karang sebagai tujuan wisata mewah itu kesulitan mendapatkan uang untuk membangun infrastruktur penting seperti dinding laut agar pulau-pulaunya tak tenggelam akibat pemanasan global.
"Bagi negara kecil, ini tidak mudah. Seiring waktu saat pendanaan diperoleh, kami mungkin sudah di bawah laut," ungkap Menteri Luar Negeri (Menlu) Maladewa Abdulla Shahid di New Delhi, India.
Saat perundingan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Madrid pada Desember, Maladewa dan negara-negara rawan lainnya mendorong langkah nyata untuk pendanaan baru bagi mereka untuk mengatasi bencana dan dampak terkait perubahan iklim. Namun upaya mereka gagal.
Shahid berharap putaran perundingan baru di Glasgow pada November akan memberi hasil lebih baik.
Sebagai salah satu negara terendah di dunia, lebih dari 80% lahan Maladewa berada kurang dari satu meter di atas permukaan air laut. Itu artinya, populasi Maladewa sebanyak 530.000 jiwa sangat rentan pada gelombang laut, gelombang badai, dan cuaca buruk.
Pada 2004, tsunami Samudera Hindia mengakibatkan kerugian sekitar USD470 juta atau 62% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Maladewa. Bencana itu merusak infrastruktur, termasuk satu-satunya bandara internasional yang harus tutup selama beberapa hari.
"Untuk melindungi pulau, kami perlu mulai membangun dinding laut. Ini mahal, tapi kita membutuhkannya. Kami tak bisa menunggu hingga semuanya hilang," ujar Shahid.
(sfn)