Ambisi Terus Berkuasa, Putin Ajukan Amandemen Konstitusi
A
A
A
MOSKOW - Presiden Rusia Vladimir Putin mengajukan amendemen konstitusi untuk memberikan kesempatan baginya memperpanjang kekuasaan selepas masa jabatan presidennya habis. Putin telah berada di tampuk kekuasaan selama 20 tahun terakhir. Namun, Itu belum cukup bagi Putin.
Dia menunjuk perdanamenteri (PM) baru Mikaheil Mishustin, 53, dan mengurangi kekuasaan presiden. Langkah dramatis itu untuk menyiap kandiri menjelang pemilu 2024 ketika Putin, 67, harus meninggalkan jabatan presidennya setelah pernah menduduki jabatan PM sejak 1999. Setelah Mishustin yang dikenal sebagai kepala badan pajak menjadi PM, ada kemungkinan dia akan menjadi Presiden Rusia mendatang.
Ide memperpanjang kekuasaan dan reformasi konstruksi telah muncul pada Desember lalu saat Putin menyampaikan hal itu. “Ini merupakan langkah awal transisi kekuasaan,” kata Alexander Baunov, analis di Carnegie Moscow Center. Dia mengungkapkan tidak ada Putin kedua. (Baca: Putin: Mungkin Saya Akan Berkuasa Hingga Usia 100 Tahun)
Menurut Baunov, masa jabatan Putin selama empat periode telah membantu Rusia bangkit dari kehancuran Uni Soviet. “Dari sekarang, dia akan kembali berkuasa hingga 12 tahun mendatang,” ujarnya.
Spekulasi kalau Kremlin akan kembali dikuasai Putin selamanya, setelah dia memenangkan pemilu keempat dan masa terakhirnya sebagai presiden pada 2018. Popularitasnyapun sempat menurun karenakrisis ekonomi.
Menurut sumber dalam Kremlin, Putin tidak pernah menganggap dirinya memperpanjang kekuasaan. “Dia (Putin) hanya berpikir kalau segala sesuatu akan hancur," ujar sumber itu kepada Financial Times. Dia menambahkan, tidak ada perubahan serius di suatu negara tanpa adanya tekanan. “Mayoritas rakyat tak peduli. Revolusi terjadi ketika tidak ada roti dan kotak makanan kosong,” ujarnya.
Ketika Putin menjadi PM lagi, analis menyatakan, dia akan memimpin Dewan Negara. “Putin bertahan dengan sistem hak veto di mana dia bisa membatalkan kesepakatan yang tidak disukainya,” kata Tatiana Stanovaya, pendiri lembaga analis politik R. Politik.
Ternyata Putin tidak lagi berkongsi dengan Medvedev. Dia lebih memilih Mishustin, seorang teknokrat. Putin paham kalau Rusia butuh tokoh yang memahami ekonomi. Putin tidak butuh mitra yang memiliki pengalaman politik.
“Putin tidak akan menciptakan figur yang bisa berkompetisi dengannya,” kata mantan spindoctor Kremlin, Gleb Pavlovsky. Karena itu, Putin tidak terlalu cocok dengan Medvedev.
Tiru Langkah Xi Jinping
Indikasi itu menunjukkan Putin hendak menunjukkan dirinya bisa menjadi pemimpin Rusia yang berpengaruh selama dia mau atau seumur hidup. Langkah itu sama seperti dilakukan Presiden China Xi Jinping yang juga mendapatkan kekuasaan mutlak untuk mempertahankan kekuasaannya.
Xi telah menghapus masa jabatan presiden pada 2018 agar memberikan kesempatan baginya menjabat seumur hidup. Dia juga mendapatkan banyak kesempatan untuk meningkatkan propaganda serta memberikan banyak gelar, salah satunya “pemimpin rakyat”, atribut yang pernah diberikan kepada Mao Zedong.
Hal sama dilakukan Putin dengan berulang kali mengubah konstitusi sesuai dengan keinginannya. Pada 2012, dia bertukar jabatan dengan Dmitry Medvedev sehingga Putin memiliki tambahan delapan tahun sebagai presiden. Meskipun disambut demonstrasi, Putin tetap dikenal sebagai pemimpin patriotik yang mendapatkan dukungan dari sebagian besar rakyatnya. (Baca juga: Rusia Pesan Tank Boat Buatan Indonesia)
Putin dan Xi memang memiliki kedekatan personal, termasuk ambisi besar mereka. Sejak mereka berkuasa pada 2010-an, Rusia dan China semakin dekat dan erat. Didukung dengan faktor geopolitik yang mendorong Putin dan Xi bersatu untuk melawan rival mereka, yakni Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
Mereka berdua juga kompak untuk melawan tekanan AS dan Eropa dalam berbagai isumulai dari aneksasi Crimea pada 2014, perang dagang AS-China, serta megaproyek Sabuk dan Jalan Sutra. Xi juga menyebut Putin sebagai teman terbaiknya dan mereka memiliki persahabatan yang intens.
Model kepemimpinan Xi menjadi hal atraktif bagi Putin, meskipun terlalu otokratis. Tujuannya pun sangat jelas, kekuasaan yang absolut akan memberikan dampak terhadap tanggung jawab absolut.
Dia menunjuk perdanamenteri (PM) baru Mikaheil Mishustin, 53, dan mengurangi kekuasaan presiden. Langkah dramatis itu untuk menyiap kandiri menjelang pemilu 2024 ketika Putin, 67, harus meninggalkan jabatan presidennya setelah pernah menduduki jabatan PM sejak 1999. Setelah Mishustin yang dikenal sebagai kepala badan pajak menjadi PM, ada kemungkinan dia akan menjadi Presiden Rusia mendatang.
Ide memperpanjang kekuasaan dan reformasi konstruksi telah muncul pada Desember lalu saat Putin menyampaikan hal itu. “Ini merupakan langkah awal transisi kekuasaan,” kata Alexander Baunov, analis di Carnegie Moscow Center. Dia mengungkapkan tidak ada Putin kedua. (Baca: Putin: Mungkin Saya Akan Berkuasa Hingga Usia 100 Tahun)
Menurut Baunov, masa jabatan Putin selama empat periode telah membantu Rusia bangkit dari kehancuran Uni Soviet. “Dari sekarang, dia akan kembali berkuasa hingga 12 tahun mendatang,” ujarnya.
Spekulasi kalau Kremlin akan kembali dikuasai Putin selamanya, setelah dia memenangkan pemilu keempat dan masa terakhirnya sebagai presiden pada 2018. Popularitasnyapun sempat menurun karenakrisis ekonomi.
Menurut sumber dalam Kremlin, Putin tidak pernah menganggap dirinya memperpanjang kekuasaan. “Dia (Putin) hanya berpikir kalau segala sesuatu akan hancur," ujar sumber itu kepada Financial Times. Dia menambahkan, tidak ada perubahan serius di suatu negara tanpa adanya tekanan. “Mayoritas rakyat tak peduli. Revolusi terjadi ketika tidak ada roti dan kotak makanan kosong,” ujarnya.
Ketika Putin menjadi PM lagi, analis menyatakan, dia akan memimpin Dewan Negara. “Putin bertahan dengan sistem hak veto di mana dia bisa membatalkan kesepakatan yang tidak disukainya,” kata Tatiana Stanovaya, pendiri lembaga analis politik R. Politik.
Ternyata Putin tidak lagi berkongsi dengan Medvedev. Dia lebih memilih Mishustin, seorang teknokrat. Putin paham kalau Rusia butuh tokoh yang memahami ekonomi. Putin tidak butuh mitra yang memiliki pengalaman politik.
“Putin tidak akan menciptakan figur yang bisa berkompetisi dengannya,” kata mantan spindoctor Kremlin, Gleb Pavlovsky. Karena itu, Putin tidak terlalu cocok dengan Medvedev.
Tiru Langkah Xi Jinping
Indikasi itu menunjukkan Putin hendak menunjukkan dirinya bisa menjadi pemimpin Rusia yang berpengaruh selama dia mau atau seumur hidup. Langkah itu sama seperti dilakukan Presiden China Xi Jinping yang juga mendapatkan kekuasaan mutlak untuk mempertahankan kekuasaannya.
Xi telah menghapus masa jabatan presiden pada 2018 agar memberikan kesempatan baginya menjabat seumur hidup. Dia juga mendapatkan banyak kesempatan untuk meningkatkan propaganda serta memberikan banyak gelar, salah satunya “pemimpin rakyat”, atribut yang pernah diberikan kepada Mao Zedong.
Hal sama dilakukan Putin dengan berulang kali mengubah konstitusi sesuai dengan keinginannya. Pada 2012, dia bertukar jabatan dengan Dmitry Medvedev sehingga Putin memiliki tambahan delapan tahun sebagai presiden. Meskipun disambut demonstrasi, Putin tetap dikenal sebagai pemimpin patriotik yang mendapatkan dukungan dari sebagian besar rakyatnya. (Baca juga: Rusia Pesan Tank Boat Buatan Indonesia)
Putin dan Xi memang memiliki kedekatan personal, termasuk ambisi besar mereka. Sejak mereka berkuasa pada 2010-an, Rusia dan China semakin dekat dan erat. Didukung dengan faktor geopolitik yang mendorong Putin dan Xi bersatu untuk melawan rival mereka, yakni Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
Mereka berdua juga kompak untuk melawan tekanan AS dan Eropa dalam berbagai isumulai dari aneksasi Crimea pada 2014, perang dagang AS-China, serta megaproyek Sabuk dan Jalan Sutra. Xi juga menyebut Putin sebagai teman terbaiknya dan mereka memiliki persahabatan yang intens.
Model kepemimpinan Xi menjadi hal atraktif bagi Putin, meskipun terlalu otokratis. Tujuannya pun sangat jelas, kekuasaan yang absolut akan memberikan dampak terhadap tanggung jawab absolut.
(ysw)