Esper: AS Berhak Serang Iran
A
A
A
WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) memiliki otoritas hukum dan konstitusional untuk terus menyerang proksi Iran, di Irak atau bahkan di Iran dalam menanggapi serangan terhadap pasukan Amerika. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Pertahanan AS Mark Esper.
"Kami menganggap Iran bertanggung jawab atas proksinya, dan kami akan mempertahankan hak untuk melakukan pembelaan diri serta mengambil tindakan jika tersedia secara hukum dan sesuai untuk meminta pertanggungjawaban proksi (Iran) atas tindakan mereka," kata kepala Pentagon itu kepada NPR yang dinukil dari Sputnik, Selasa (14/1/2020).
Menurut Esper, Presiden Trump berhak untuk menyerang Iran berdasarkan Pasal 2 Konstitusi AS. Pasal itu memberikan presiden AS kekuatan untuk secara sepihak terlibat dalam aksi militer dalam hal terjadi serangan terhadap AS, wilayah atau harta miliknya, atau angkatan bersenjata.
”Hak-hak presiden juga didukung oleh Otorisasi untuk Penggunaan Angkatan Militer (AUMF), tindakan hukum yang disahkan oleh Kongres pada tahun 2001 setelah serangan teroris 11 September," Esper menambahkan.
Untuk regulasi terakhir telah diperbarui setiap tahun selama hampir dua dekade, dan digunakan untuk membenarkan perang AS dan penyebaran militer di seluruh dunia, dari Afghanistan dan Irak ke Filipina, Georgia, Yaman, Djibouti, Kenya, Ethiopia, Somalia, dan Eritrea.
Esper juga sekali lagi membela keputusan pemerintahan Trump untuk menargetkan Jenderal Soleimani, dengan mengatakan komandan Iran itu menjadi target yang memaksa untuk "diambil" karena ada kesepakatan lengkap berdasarkan apa yang telah ia lakukan dan apa yang ia rencanakan. Soleimani, Esper mengklaim, memiliki darah ratusan tentara Amerika dan marinir di tangannya.
Penegasan yang terakhir, termasuk klaim bahwa Iran memberikan senjata kepada milisi Irak untuk menyerang AS setelah invasi 2003, masih dipertanyakan. Namun, ada bukti substantif dan terdokumentasi yang menunjukkan bahwa Soleimani sebenarnya secara tidak langsung membantu upaya AS melawan Osama bin Laden dan al-Qaeda di Afghanistan dan dengan menargetkan teroris Wahhabi dalam kampanye melawan ISIS di Irak dan Suriah.
Para pejabat senior di Gedung Putih, Pentagon dan Departemen Luar Negeri AS mengalami kesulitan selama dua minggu untuk membenarkan keputusan AS membunuh Soleimani. Alasan yang diapungkan pun berbeda-beda mulai dari ancaman terhadap kepentingan AS, menjadi tidak masalah apakah ancaman itu akan segera terjadi atai tidak karena masa lalunya mengerikan seperti yang dikatakan oleh Presiden Trump awal pekan ini.
Para pejabat yang berbicara anonim kepada media AS menyatakan Amerika sebenarnya mulai berencana untuk membunuh Soleimani pada Juli 2018, dengan periode Juni 2019 dan September 2019 juga disebutkan.
Soleimani (62) terbunuh pada 3 Januari ketika konvoinya dan seorang pemimpin senior milisi Syiah di Baghdad dihantam oleh serangan pesawat tak berawak AS di Bandara Internasional Baghdad. Kematian komandan itu menyebabkan ketegangan antara Iran dan AS melonjak ke titik tertinggi baru, dengan para pemimpin dan komandan Iran memperingatkan bahwa mereka akan "membalas" kematian Soleimani.
Pada 8 Januari, Garda Revolusi Iran meluncurkan hampir selusin rudal ke pangkalan AS di Irak, dengan Teheran memperingatkan Baghdad tentang serangan itu beberapa jam sebelumnya.
Pada hari Senin, Ketua Pengadilan Iran Ebrahim Raisi mengumumkan bahwa pemerintah Iran akan berusaha untuk menuntut Presiden Trump di pengadilan internasional atas pembunuhan Soleimani.
"Kami menganggap Iran bertanggung jawab atas proksinya, dan kami akan mempertahankan hak untuk melakukan pembelaan diri serta mengambil tindakan jika tersedia secara hukum dan sesuai untuk meminta pertanggungjawaban proksi (Iran) atas tindakan mereka," kata kepala Pentagon itu kepada NPR yang dinukil dari Sputnik, Selasa (14/1/2020).
Menurut Esper, Presiden Trump berhak untuk menyerang Iran berdasarkan Pasal 2 Konstitusi AS. Pasal itu memberikan presiden AS kekuatan untuk secara sepihak terlibat dalam aksi militer dalam hal terjadi serangan terhadap AS, wilayah atau harta miliknya, atau angkatan bersenjata.
”Hak-hak presiden juga didukung oleh Otorisasi untuk Penggunaan Angkatan Militer (AUMF), tindakan hukum yang disahkan oleh Kongres pada tahun 2001 setelah serangan teroris 11 September," Esper menambahkan.
Untuk regulasi terakhir telah diperbarui setiap tahun selama hampir dua dekade, dan digunakan untuk membenarkan perang AS dan penyebaran militer di seluruh dunia, dari Afghanistan dan Irak ke Filipina, Georgia, Yaman, Djibouti, Kenya, Ethiopia, Somalia, dan Eritrea.
Esper juga sekali lagi membela keputusan pemerintahan Trump untuk menargetkan Jenderal Soleimani, dengan mengatakan komandan Iran itu menjadi target yang memaksa untuk "diambil" karena ada kesepakatan lengkap berdasarkan apa yang telah ia lakukan dan apa yang ia rencanakan. Soleimani, Esper mengklaim, memiliki darah ratusan tentara Amerika dan marinir di tangannya.
Penegasan yang terakhir, termasuk klaim bahwa Iran memberikan senjata kepada milisi Irak untuk menyerang AS setelah invasi 2003, masih dipertanyakan. Namun, ada bukti substantif dan terdokumentasi yang menunjukkan bahwa Soleimani sebenarnya secara tidak langsung membantu upaya AS melawan Osama bin Laden dan al-Qaeda di Afghanistan dan dengan menargetkan teroris Wahhabi dalam kampanye melawan ISIS di Irak dan Suriah.
Para pejabat senior di Gedung Putih, Pentagon dan Departemen Luar Negeri AS mengalami kesulitan selama dua minggu untuk membenarkan keputusan AS membunuh Soleimani. Alasan yang diapungkan pun berbeda-beda mulai dari ancaman terhadap kepentingan AS, menjadi tidak masalah apakah ancaman itu akan segera terjadi atai tidak karena masa lalunya mengerikan seperti yang dikatakan oleh Presiden Trump awal pekan ini.
Para pejabat yang berbicara anonim kepada media AS menyatakan Amerika sebenarnya mulai berencana untuk membunuh Soleimani pada Juli 2018, dengan periode Juni 2019 dan September 2019 juga disebutkan.
Soleimani (62) terbunuh pada 3 Januari ketika konvoinya dan seorang pemimpin senior milisi Syiah di Baghdad dihantam oleh serangan pesawat tak berawak AS di Bandara Internasional Baghdad. Kematian komandan itu menyebabkan ketegangan antara Iran dan AS melonjak ke titik tertinggi baru, dengan para pemimpin dan komandan Iran memperingatkan bahwa mereka akan "membalas" kematian Soleimani.
Pada 8 Januari, Garda Revolusi Iran meluncurkan hampir selusin rudal ke pangkalan AS di Irak, dengan Teheran memperingatkan Baghdad tentang serangan itu beberapa jam sebelumnya.
Pada hari Senin, Ketua Pengadilan Iran Ebrahim Raisi mengumumkan bahwa pemerintah Iran akan berusaha untuk menuntut Presiden Trump di pengadilan internasional atas pembunuhan Soleimani.
(ian)