Dinilai Gagal, CEO Boeing Dennis Muilenburg Dipecat

Kamis, 26 Desember 2019 - 06:39 WIB
Dinilai Gagal, CEO Boeing...
Dinilai Gagal, CEO Boeing Dennis Muilenburg Dipecat
A A A
NEW YORK - Berita mengejutkan datang dari Boeing. Chief Executive Officer (CEO) Boeing Company, Dennis Muilenburg, resmi dipecat pada awal pekan ini. Dua kecelakaan maut pesawat 737 MAX yang menewaskan 346 orang di Indonesia dan Ethiopia serta kerugian sebesar USD10 miliar (Rp139 triliun) mengakhiri kariernya. Dia dianggap gagal total.

Muilenburg sebelumnya masih diberi kepercayaan oleh Boeing dengan mempertahankannya sebagai CEO dan hanya mencabut jabatannya sebagai chairman pada Oktober. Pada bulan lalu penggantinya, David Calhoun, bahkan memujinya sebagai satu-satunya orang yang dapat memulihkan reputasi 737 MAX.

Namun Boeing dan Calhoun kehilangan kesabaran, kecewa, dan tidak puas dengan langkah-langkah yang diambil Muilenburg, begitu juga dengan para pembuat kebijakan transportasi penerbangan dan pelanggan Boeing. Menurut pengamat Cai von Rumohr, Boeing tak memiliki pilihan selain mencari pemimpin baru.

Para pengamat mengatakan beberapa kesalahan yang dilakukan Muilenburg ialah gagal mengeluarkan keputusan tepat dan cepat atas masalah teknis 737 MAX selama kecelakaan pertama di Indonesia, melewati deadline demi deadline dalam solusi pasca-kecelakaan, dan lambat memproses pemulihan 737 MAX.

Setelah 737 MAX milik Lion Air jatuh pada Oktober 2018, spekulasi terkait buruknya sistem keselamatan sebagai faktor utama kecelakaan banyak mencuat. Hal itu didukung oleh berbagai data kendala selama penerbangan sebelumnya. Namun Muilenburg bersitegas hanya diperlukan pelatihan ekstra dan update kecil.

Pesawat 737 MAX kemudian kembali terjatuh di Ethiopia pada Maret. Saat itu badan penerbangan di berbagai negara di dunia memulai perintah pengandangan. Namun di hadapan Kongres, Muilenburg meyakinkan Badan Penerbangan Federal (FAA) tentang keselamatan 737 MAX dan meminta 737 MAX aktif.

Boeing lalu berjanji akan memberikan solusi dalam hitungan minggu. Namun Boeing terlalu optimistis dan hanya melewati deadline demi deadline. Di hadapan pelanggan dan investor Boeing dianggap gagal. “Semakin lama bergelut dengan isu ini, semakin besar kompensasi yang harus mereka bayar,” kata Rumohr.

Hubungan buruk Boeing dengan FAA, Kongres, dan para pelanggannya kian membuat posisi Muilenburg tergerus. Pemerhati penerbangan Richard Aboulafia dari Teal Group mengatakan Boeing menerima tekanan sangat hebat, bahkan dari orang-orang yang sejak lama mendukung mereka sebagai produsen pesawat.

Pada awal bulan ini Boeing menyatakan akan menunda produksi pesawat 737 MAX dimulai Januari 2020 menyusul diperpanjangnya proses pemeriksaan sistem keselamatan oleh otoritas terkait Amerika Serikat (AS). Pesawat generasi keempat Boeing 737 itu telah dikandangkan di seluruh dunia sejak Maret silam.

Sebelumnya Boeing berharap proses pemeriksaan sistem keselamatan dapat selesai pada akhir tahun ini sehingga 737 MAX dapat kembali mengudara. Namun harapan itu sirna. Para investor Boeing juga tidak berharap banyak mengingat pemulihan reputasi 737 MAX memerlukan dana dan waktu yang lebih banyak.

Meski produksi dihentikan untuk sementara waktu, Boeing menyatakan akan tetap membayar upah seluruh karyawannya sesuai dengan kontrak. Namun bagaimana transaksi spare part dengan perusahaan pendukung yang terlibat dalam pembuatan 737 MAX tidak diketahui. Isu itu diyakini masih didiskusikan Boeing.

“Kami sebelumnya pernah menyatakan akan terus melakukan evaluasi rencana produksi seandainya pengandangan 737 MAX berlangsung lebih panjang daripada yang kami kira,” ungkap Boeing seperti dikutip Reuters. “Sesuai hasil evaluasi kami memutuskan untuk menunda produksi 737 dimulai pada tahun depan,” imbuhnya.

Boeing melanjutkan saat ini akan fokus mengirimkan 400 pesawat yang disimpan di gudang. Keputusan itu dinilai efektif mengingat Boeing tidak memiliki banyak pilihan. Boeing telah memproduksi pesawat versi 737 MAX sebanyak 40 unit per bulan di Renton, Washington, AS, sejak mengalami dua kecelakaan maut.

FAA menyatakan waktu pemulihan 737 MAX yang ditetapkan Boeing tidak realistis. Proses pemeriksaan sistem keamanan tidak dapat diselesaikan sebelum 2020 atau sesuai harapan Boeing. FAA mengkritisi pernyataan Boeing selama konferensi pers dengan maksud memberikan tekanan terhadap otoritas federal.

Gelar yang dipertahankan 737 sebagai pesawat paling laris selama 55 tahun juga akhirnya direbut Airbus A320. Airbus menerima 15.193 pesanan, sedangkan Boeing 15.136 unit sampai akhir Oktober silam. Airbus juga menerima 70 pesanan pesawat baru senilai USD30 miliar dari UEA dan USD14 miliar dari Air Arabia.

Airbus baru kali ini mampu melampaui Boeing meski selama beberapa tahun terakhir mampu bersaing lebih baik dengan pemasaran yang lebih gencar. Pada 2018, pesanan Airbus tertinggal 400 dari Boeing. Perubahan ini diduga tidak terlepas dari dirilisnya versi terbaru A320NEO yang memiliki fitur canggih.

Kendati demikian 737 masih lebih unggul bila dibandingkan dengan A320 dalam hal distribusi pesawat. Jika kebijakan pengandangan 737 MAX sudah dicabut, Boeing juga dapat kembali memulihkan distribusi dan mencatat rekor penjualan pada 2020. Namun Airbus juga patut optimistis dan dapat mengirimkan lebih banyak pesawat.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1166 seconds (0.1#10.140)