Pertama Kali, Serangan Drone Prancis Tewaskan 7 Militan di Mali
A
A
A
PARIS - Militer Prancis untuk pertama kalinya menggunakan pesawat nirawak atau drone bersenjata untuk memerangi kelompok militan di Mali. Setidaknya tujuh militan tewas dalam serangan yang berlangsung akhir pekan lalu.
Kementerian Pertahanan Prancis membenarkan bahwa penggunaan drone bersenjata itu baru pertama kalinya dalam perang melawan kelompok militan. Prancis telah bergabung dengan sekelompok kecil negara yang menggunakan drone bersenjata, termasuk Amerika Serikat.
Pengerahan drone terjadi hampir satu bulan setelah dua helikopter Prancis bertabrakan di Mali. Tabrakan dua helikopter itu menewaskan 13 tentara dan tercatat sebagai kerugian militer paling mematikan bagi Prancis dalam hampir empat dekade.
Menurut Kementerian Pertahanan, serangan pesawat tak berawak itu terjadi hari Sabtu ketika Presiden Emmanuel Macron mengunjungi Pantai Gading, tempat Prancis memiliki pangkalan militer. Macron telah mengumumkan bahwa pasukan Prancis telah membunuh 33 ekstremis pada hari itu.
Serangan pesawat tak berawak itu menargetkan para jihadis di hutan Ouagadou, tempat sebuah kelompok yang dikenal sebagai Macina Liberation Front (Front Pembebasan Macina) aktif. "Komando Prancis diserang oleh sekelompok teroris yang menyusup dengan sepeda motor," kata kementerian itu.
"Bekerja di lingkungan yang sulit, di daerah yang berhutan lebat, tindakan ini dimungkinkan oleh aksi pasukan darat yang didukung oleh komponen udara," lanjut kementerian itu, seperti dikutip Fox News, Selasa (24/12/2019).
Menteri Pertahanan Florence Parly menyebut drone itu sebagai pelindung pasukan Prancis dan efektif melawan musuh."
Dia mengatakan Mali mengizinkan pasukan Prancis untuk leluasa lebih banyak dan fleksibel, dan bersikeras bahwa Prancis akan menghormati aturan konflik bersenjata dalam menggunakan drone. Dia telah mengumumkan pada 2017 bahwa Prancis akan mempersenjatai drone pengintai setelah negara itu mengalami serangkaian serangan ekstremis.
Penggunaan drone bersenjata agak sensitif di Prancis, terutama karena banyak warga sipil yang tewas oleh serangan drone AS di Afghanistan dan Somalia.
Prancis, mantan penguasa kolonial Mali, memimpin operasi militer 2013 untuk mengusir para ekstremis dari kekuasannya di Mali utara. Para ekstremis di wilayah itu telah menerapkan versi hukum Syariah Islam yang keras. Namun, sejak itu, militer Mali telah gagal membendung kekerasan meskipun ada dukungan dari Prancis dan misi penjaga perdamaian PBB.
Militer Prancis memiliki 4.500 personel di Afrika Barat dan Tengah. Macron akan membahas masa depan misi militer Prancis di kawasan Sahel Afrika pada pertemuan di Prancis bulan depan dengan presiden dari negara-negara yang ambil bagian dalam pasukan kontraterorisme G-5.
Kementerian Pertahanan Prancis membenarkan bahwa penggunaan drone bersenjata itu baru pertama kalinya dalam perang melawan kelompok militan. Prancis telah bergabung dengan sekelompok kecil negara yang menggunakan drone bersenjata, termasuk Amerika Serikat.
Pengerahan drone terjadi hampir satu bulan setelah dua helikopter Prancis bertabrakan di Mali. Tabrakan dua helikopter itu menewaskan 13 tentara dan tercatat sebagai kerugian militer paling mematikan bagi Prancis dalam hampir empat dekade.
Menurut Kementerian Pertahanan, serangan pesawat tak berawak itu terjadi hari Sabtu ketika Presiden Emmanuel Macron mengunjungi Pantai Gading, tempat Prancis memiliki pangkalan militer. Macron telah mengumumkan bahwa pasukan Prancis telah membunuh 33 ekstremis pada hari itu.
Serangan pesawat tak berawak itu menargetkan para jihadis di hutan Ouagadou, tempat sebuah kelompok yang dikenal sebagai Macina Liberation Front (Front Pembebasan Macina) aktif. "Komando Prancis diserang oleh sekelompok teroris yang menyusup dengan sepeda motor," kata kementerian itu.
"Bekerja di lingkungan yang sulit, di daerah yang berhutan lebat, tindakan ini dimungkinkan oleh aksi pasukan darat yang didukung oleh komponen udara," lanjut kementerian itu, seperti dikutip Fox News, Selasa (24/12/2019).
Menteri Pertahanan Florence Parly menyebut drone itu sebagai pelindung pasukan Prancis dan efektif melawan musuh."
Dia mengatakan Mali mengizinkan pasukan Prancis untuk leluasa lebih banyak dan fleksibel, dan bersikeras bahwa Prancis akan menghormati aturan konflik bersenjata dalam menggunakan drone. Dia telah mengumumkan pada 2017 bahwa Prancis akan mempersenjatai drone pengintai setelah negara itu mengalami serangkaian serangan ekstremis.
Penggunaan drone bersenjata agak sensitif di Prancis, terutama karena banyak warga sipil yang tewas oleh serangan drone AS di Afghanistan dan Somalia.
Prancis, mantan penguasa kolonial Mali, memimpin operasi militer 2013 untuk mengusir para ekstremis dari kekuasannya di Mali utara. Para ekstremis di wilayah itu telah menerapkan versi hukum Syariah Islam yang keras. Namun, sejak itu, militer Mali telah gagal membendung kekerasan meskipun ada dukungan dari Prancis dan misi penjaga perdamaian PBB.
Militer Prancis memiliki 4.500 personel di Afrika Barat dan Tengah. Macron akan membahas masa depan misi militer Prancis di kawasan Sahel Afrika pada pertemuan di Prancis bulan depan dengan presiden dari negara-negara yang ambil bagian dalam pasukan kontraterorisme G-5.
(mas)