Pekerja Transportasi, Guru, dan Perawat Mogok Massal, Prancis Lumpuh

Jum'at, 06 Desember 2019 - 08:02 WIB
Pekerja Transportasi, Guru, dan Perawat Mogok Massal, Prancis Lumpuh
Pekerja Transportasi, Guru, dan Perawat Mogok Massal, Prancis Lumpuh
A A A
PARIS - Para pekerja transportasi, guru, dan perawat, meluncurkan mogok massal terbesar dalam beberapa dekade terakhir. Mereka memaksa Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk mengabaikan reformasi sistem pensiun. Jaringan transportasi di Paris dan kota-kota di Prancis lumpuh karena sebagian besar pekerja kereta ikut dalam aksi mogok massal.

Aksi itu diperkirakan akan dilaksanakan selama beberapa hari dan akan melumpuhkan Prancis. Itu menjadi tantangan terberat bagi agenda reformasi Macro sejak demonstrasi “rompi kuning”. “Apa yang kita lakukan adalah melumpuhkan ekonomi Prancis,” kata petinggi serikat Force Ouvriere, Christian Grolier, dilansir Reuters. “Apa yang kita lakukan untuk bertarung,” paparnya.

Para pekerja bandara, sopir truk, polisi, dan petugas kebersihan juga diperkirakan akan bergabung dalam mogok massal tersebut. Aksi mereka sebagai bentuk ketidaksepakatan dengan upaya Macron untuk menjadikan ekonomi Prancis memiliki daya saing dan memotong belanja publik.

Macron ingin menyimplifikasi sistem pensiun Prancis dengan mengompromisikan lebih dari 40 rencana yang berbeda, mulai perpanjangan usia pensiun dan memberikan banyak bonus. Sistem pensiun selama ini, menurut Macron, tidak adil dan terlalu boros. Dia menginginkan sistem pensiun tunggal berdasarkan poin dan penilaian sehingga semua pensiunan memiliki hak yang sama.

Pertarungan antara Macron dan serikat pekerja mendapatkan dukungan publik. Melansir BBC, jajak pendapat terbaru menunjukkan 69% publik memberikan dukungan pada aksi mogok massal. Survei yang digelar bulan lalu menyatakan, separuh rakyat Prancis juga menentang reformasi sistem pensiun.

“Selama 30 tahun, pemerintahan Prancis selalu mencoba mereformasi sistem pensiun dan selalu gagal. Itu dikarenakan serikat pekerja menguasai negara ini,” kata pemilik kafe berusia 56 tahun, Isabelle Guibal. “Orang bisa bekerja hari ini dan besok, tetapi pekan depan orang bisa dipecat,” paparnya.

Polisi antihuru-hara mempersiapkan pengamanan ketat menjelang aksi mogok massal dan demonstrasi besar-besaran. Pengamanan difokuskan di kantor perdana menteri dan presiden. Mereka juga memblokade jalanan Champs Elysees. Pemerintah memperingatkan serikat buruh bahwa aksi itu bisa diinfiltrasi kelompok yang akan menebar kerusuhan.

Menteri Dalam Negeri Prancis Christophe Castaner mengatakan, ribuan kelompok anarkis, yakni “black bloc”dan demonstran “rompi kuning” diperkirakan akan memicu kerusuhan. “Saya meminta toko sepanjang aksi mogok massal untuk ditutup,” ujarnya. Dia menempatkan 6.000 polisi dan petugas gerak cepat untuk mengantisipasi kerusuhan.

Perusahaan kereta api SNCF menyatakan, hanya satu dari 10 kereta commuter dan kereta cepat TGV yang akan beroperasi. Operator kereta Eurostar dan Thalys menunda pelayanan kereta yang menghubungkan Paris dengan London dan Brussels. Otoritas penerbangan sipil menyatakan 20% penerbangan dibatalkan. Di Prancis selatan, demonstran memblokade salah satu pengilangan minyak.

Pasokan listrik pun terganggu akibat para pekerja di pusat pembangkit listrik batu bara melakukan mogok massal. Upaya reformasi sistem pensiun di Prancis kerap berakhir buruk. Mantan Presiden Jacques Chirac harus tunduk pada tuntutan serikat pekerja, setelah mogok massal selama berminggu-minggu pada 1995. Mogok massal kali ini menjadi sinyal buruk bagi Macron yang ingin maju kembali pada pemilu presiden mendatang.

Pemerintahan Macron berharap tidak terulang mogok massal seperti pada 1995. Mereka mencoba membangun dialog dengan serikat pekerja. Meskipun serikat pekerja di Prancis sudah memiliki satu suara, yakni menolak reformasi kebijakan pensiun.

Masinis metro Paris Damien Vitry mengungkapkan, dirinya tetap bekerja ketika banyak orang merayakan malam Tahun Baru. "Kamu kehilangan waktu dengan keluarga, dan itulah kenapa kita mendapatkan kompensasi," ujarnya. Dia menyebut, reformasi pensiun seperti pertandingan sepak bola di mana mereka mengubah peraturan saat setengah pertandingan.

Hal senada diungkapkan masinis kereta Cyril Romero dari Toulouse. Dia akan memilih mundur dari pekerjaannya jika reformasi pensiun dijalankan. "Saya bekerja sejak 2001 dan saya mundur pada usia 50 tahun. Tapi, reformasi pensiun mengharuskan saya harus bekerja hingga usia 57 tahun. Mereka ingin kita bekerja lebih lama," katanya kepada France Info.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7549 seconds (0.1#10.140)