Masa Tua Terasa Lebih Indah dengan Mengenang Indonesia
A
A
A
SETELAH meninggalkan Indonesia, Gladys dan keluarganya sempat menetap di Perth untuk beberapa tahun, lalu akhirnya kembali ke Swiss lagi. Gladys dan ibunya, Gret, menetap di Bern, begitu pula Bernie, kakaknya.
Saat kembali ke Swiss, bukan jaminan bahwa kehidupan keluarga Kurt setenang air telaga Thun di Spiez, Berner Oberland. Ayah Gladys, Kurt justru mengalami trauma akibat kehidupannya saat masa Hindia Belanda. Pada suatu pagi, menjelang Natal, Kurt tidak pulang lagi setelah hiking di Isetwald, Berner Oberland. Spekulasi beredar, Kurt terpeleset dan terpelanting ke jurang. Sebagian menganggapnya Kurt memilih membebaskan hidupnya. Tidak diketahui, ke mana Kurt pergi. Pada pagi itu, keluarga hanya menemukan secarik puisi.
Bertindak Sesuai Alasan, Tanpa Ada Drama, Tanpa Ada Kejutan, Untuk Pergi Diam Diam dengan Bebas. Demikian isi puisi yang ditinggalkan Kurt sebelum kematian misteriusnya.
Sepeninggal ayahnya, Gladys berupaya keras melanjutkan kehidupannya. Gladys sempat sekolah penerjemah di Jenewa, namun tidak diteruskan karena dianggapnya tidak cocok. “Banyak teman mendukung karena saya dianggap berbakat dalam bahasa. Tapi pada akhirnya saya juga menyerah,” katanya.
Gladys muda lantas menekuni profesi sebagai tenaga ahli laboratorium dan menemukan pasangan hidupnya, Dokter Hans Lungibuehl. Bersama Hans, Gladys memiliki empat anak. “Sudah besar semua, kami tinggal berdua saja di sini,“ kata Gladys.
Sebagai salah satu saksi hidup era kolonialisme Belanda di Indonesia, tapi sosok Gladys justru tak banyak muncul ke publik. Bahkan, dia pun seperti hilang dari radar Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Bern, Swiss. Setidaknya dalam 10 tahun belakangan ini, tamu-tamu ekspatriat yang ke KBRI Bern lebih didominasi kalangan seniman, penari, pemilik sekolah gamelan, atau sejenisnya. Meski demikian, Gladys mengaku tidak sepenuhnya putus kontak dengan Indonesia. “Saya ada beberapa kawan dari Indonesia di Swiss, tapi tidak banyak,” katanya.
Dia mengaku sesekali bertemu kawan-kawan asal negara yang membuatnya selalu bahagia. Namun, kini dia lebih banyak menghabiskan waktunya di Spiez yang tenang bersama Hans, suaminya. Jika ada kunjungan dari orang Indonesia, Gladys begitu bersukacita. “Ya, kemarin juga ada, bawa nasi goreng, dan kami makan siang bersama,” katanya.
Dia sangat berharap, Indonesia, negeri yang selalu dirindukannya itu, menjadi sebuah negeri adil dan makmur. “Tentu zaman sudah berubah, tapi Indonesia tetap di hati saya,” katanya.
Beberapa kali dia bersama suami dan anak-anaknya liburan ke Indonesia. Namun, dari beberapa kunjungan itu, ada kunjungan yang khusus, yakni saat bersama Miranda Christa, keponakannya, putri Bernhard Surbek. “Kami mengunjungi tempat masa lalu kami, rumah sakit di mana saya lahir atau di mana Solsana pernah ada,” katanya.
Kunjungan khusus ini lantas menjadi sebuah film satu jam tentang perjalanan Gladys dan kedua orang tuanya di Indonesia berjudul Gladys Reise (Perjalanan Gladys).
Di beranda belakang rumahnya yang dipenuhi kebun anggur, Gladys tak segan-segan berujar, Indonesia adalah tanah air di hatinya. “Semua indah di sana, paradise. Kalian beruntung memiliki negara seindah itu dan seramah itu kehidupan masyarakatnya,” katanya.
Krisna Diantha
Kontributor Koran SINDO, Swiss
Saat kembali ke Swiss, bukan jaminan bahwa kehidupan keluarga Kurt setenang air telaga Thun di Spiez, Berner Oberland. Ayah Gladys, Kurt justru mengalami trauma akibat kehidupannya saat masa Hindia Belanda. Pada suatu pagi, menjelang Natal, Kurt tidak pulang lagi setelah hiking di Isetwald, Berner Oberland. Spekulasi beredar, Kurt terpeleset dan terpelanting ke jurang. Sebagian menganggapnya Kurt memilih membebaskan hidupnya. Tidak diketahui, ke mana Kurt pergi. Pada pagi itu, keluarga hanya menemukan secarik puisi.
Bertindak Sesuai Alasan, Tanpa Ada Drama, Tanpa Ada Kejutan, Untuk Pergi Diam Diam dengan Bebas. Demikian isi puisi yang ditinggalkan Kurt sebelum kematian misteriusnya.
Sepeninggal ayahnya, Gladys berupaya keras melanjutkan kehidupannya. Gladys sempat sekolah penerjemah di Jenewa, namun tidak diteruskan karena dianggapnya tidak cocok. “Banyak teman mendukung karena saya dianggap berbakat dalam bahasa. Tapi pada akhirnya saya juga menyerah,” katanya.
Gladys muda lantas menekuni profesi sebagai tenaga ahli laboratorium dan menemukan pasangan hidupnya, Dokter Hans Lungibuehl. Bersama Hans, Gladys memiliki empat anak. “Sudah besar semua, kami tinggal berdua saja di sini,“ kata Gladys.
Sebagai salah satu saksi hidup era kolonialisme Belanda di Indonesia, tapi sosok Gladys justru tak banyak muncul ke publik. Bahkan, dia pun seperti hilang dari radar Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Bern, Swiss. Setidaknya dalam 10 tahun belakangan ini, tamu-tamu ekspatriat yang ke KBRI Bern lebih didominasi kalangan seniman, penari, pemilik sekolah gamelan, atau sejenisnya. Meski demikian, Gladys mengaku tidak sepenuhnya putus kontak dengan Indonesia. “Saya ada beberapa kawan dari Indonesia di Swiss, tapi tidak banyak,” katanya.
Dia mengaku sesekali bertemu kawan-kawan asal negara yang membuatnya selalu bahagia. Namun, kini dia lebih banyak menghabiskan waktunya di Spiez yang tenang bersama Hans, suaminya. Jika ada kunjungan dari orang Indonesia, Gladys begitu bersukacita. “Ya, kemarin juga ada, bawa nasi goreng, dan kami makan siang bersama,” katanya.
Dia sangat berharap, Indonesia, negeri yang selalu dirindukannya itu, menjadi sebuah negeri adil dan makmur. “Tentu zaman sudah berubah, tapi Indonesia tetap di hati saya,” katanya.
Beberapa kali dia bersama suami dan anak-anaknya liburan ke Indonesia. Namun, dari beberapa kunjungan itu, ada kunjungan yang khusus, yakni saat bersama Miranda Christa, keponakannya, putri Bernhard Surbek. “Kami mengunjungi tempat masa lalu kami, rumah sakit di mana saya lahir atau di mana Solsana pernah ada,” katanya.
Kunjungan khusus ini lantas menjadi sebuah film satu jam tentang perjalanan Gladys dan kedua orang tuanya di Indonesia berjudul Gladys Reise (Perjalanan Gladys).
Di beranda belakang rumahnya yang dipenuhi kebun anggur, Gladys tak segan-segan berujar, Indonesia adalah tanah air di hatinya. “Semua indah di sana, paradise. Kalian beruntung memiliki negara seindah itu dan seramah itu kehidupan masyarakatnya,” katanya.
Krisna Diantha
Kontributor Koran SINDO, Swiss
(nfl)