Korban Berjatuhan, Wanita Nepal Ditawari Uang untuk Tolak 'Gubuk Menstruasi'
A
A
A
KATHMANDU - Sebuah desa Nepal akan memberikan hadiah uang tunai kepada wanita yang menolak untuk diisolasi di 'gubuk menstruasi' ilegal selama menstruasi. Hal itu diungkapkan oleh seorang pejabat setelah tradisi tersebut terus menyebabkan korban tewas.
Korban tewas terbaru dari tradisi itu adalah seorang wanita bernama Parbati Buda Rawat (21). Ia ditemukan tidak bernyawa di dalam gubuk di distrik Achham di Nepal barat. Sebelumnya ia diketahui menyalakan api agar bisa menghangatkan tubuhnya di dalam gubur lumpur dan batu yang membeku.
"Tampaknya dia meninggal setelah mati lemas," kata seorang inspektur polisi, Narapati Bhatta, seperti dikutip dari Reuters, Rabu (4/12/2019).
Sebelumnya, kemarahan menyebabkan penyelidikan parlemen terhadap praktik "chhaupadi" yang dilakukan selama berabad-abad olah umat Hindu setelah seorang gadis remaja serta seorang ibu dan putra-putranya meninggal dalam dua insiden serupa pada awal tahun ini. Tradisi ini sendiri telah dilarang pada tahun 2005.
Namun tradisi ini tetap dilakukan di daerah terpencil di barat Nepal di mana beberapa komunitas masih percaya akan ditimpa nasib sial, seperti bencana alam, kecuali jika wanita dan gadis yang menstruasi dikirim ke kandang atau gubuk binatang. Menurut kepercayaan mereka, wanita atau gadis yang tengah menstruasi dianggap tidak suci.
Para wanita dan gadis itu juga tidak diperbolehkan bertemu dengan anggota keluarga lain atau bepergian, harus makan dengan hemat, dan dilarang menyentuh berbagai barang termasuk susu, patung agama, dan ternak.
Ketua kotamadya desa Purbichowki di distrik Doti - di perbatasan barat distrik Achham tempat korban terakhir meninggal - mengatakan ia akan memberi hadiah USD44 kepada wanita yang menolak chhaupadi.
“Kita perlu merobohkan gubuk di pikiran kita, mengubah sikap dan menerima menstruasi sebagai proses alami dalam kehidupan seorang wanita,” kata Dirgha Raj Bogati, menambahkan bahwa menghancurkan gubuk itu terbukti tidak efektif.
"Jika kita membongkar satu gubuk, mereka pindah dan membangun yang lain," ungkapnya.
Ia mengatakan hadiah ini, yang diberikan satu kali untuk mencegah penggunaan gubuk menstruiasi oleh pihak keluarga, akan menguntungkan 100 wanita di salah satu negara termiskin di dunia pada tahun ini. Data Bank Dunia menunjukkan 41% dari 28 jutra penduduk di Nepal hidup dengan uang kurang dari USD3,20 sehari.
Bogati pun mengulangi peringatan oleh pejabat setempat bahwa keluarga akan tidak akan mendapat tunjangan negara jika diketahui mempraktekkan chhaupadi.
Pemerintah memberlakukan hukuman penjara tiga bulan dan denda 3.000 rupee bagi mereka yang mengucilkan wanita dan gadis yang sedang menstruasi, yang membuat mereka berisiko terkena gigitan ular, serangan binatang buas dan pemerkosaan, serta keracunan karbon dioksida.
Namun para pegiat mengatakan hanya sedikit yang dihukum karena para korban jarang melaporkan anggota keluarga mereka sendiri.
Om Prakash Aryal, seorang pengacara hak asasi manusia, mendesak polisi untuk menyiapkan laporan mereka sendiri dan mengajukan kasus-kasus di pengadilan jika para korban khawatir untuk melapor.
“Sangat memalukan bahwa praktik tidak manusiawi seperti itu masih berlaku di Nepal. Ini merupakan noda pada peradaban kita,” ucapnya.
Korban tewas terbaru dari tradisi itu adalah seorang wanita bernama Parbati Buda Rawat (21). Ia ditemukan tidak bernyawa di dalam gubuk di distrik Achham di Nepal barat. Sebelumnya ia diketahui menyalakan api agar bisa menghangatkan tubuhnya di dalam gubur lumpur dan batu yang membeku.
"Tampaknya dia meninggal setelah mati lemas," kata seorang inspektur polisi, Narapati Bhatta, seperti dikutip dari Reuters, Rabu (4/12/2019).
Sebelumnya, kemarahan menyebabkan penyelidikan parlemen terhadap praktik "chhaupadi" yang dilakukan selama berabad-abad olah umat Hindu setelah seorang gadis remaja serta seorang ibu dan putra-putranya meninggal dalam dua insiden serupa pada awal tahun ini. Tradisi ini sendiri telah dilarang pada tahun 2005.
Namun tradisi ini tetap dilakukan di daerah terpencil di barat Nepal di mana beberapa komunitas masih percaya akan ditimpa nasib sial, seperti bencana alam, kecuali jika wanita dan gadis yang menstruasi dikirim ke kandang atau gubuk binatang. Menurut kepercayaan mereka, wanita atau gadis yang tengah menstruasi dianggap tidak suci.
Para wanita dan gadis itu juga tidak diperbolehkan bertemu dengan anggota keluarga lain atau bepergian, harus makan dengan hemat, dan dilarang menyentuh berbagai barang termasuk susu, patung agama, dan ternak.
Ketua kotamadya desa Purbichowki di distrik Doti - di perbatasan barat distrik Achham tempat korban terakhir meninggal - mengatakan ia akan memberi hadiah USD44 kepada wanita yang menolak chhaupadi.
“Kita perlu merobohkan gubuk di pikiran kita, mengubah sikap dan menerima menstruasi sebagai proses alami dalam kehidupan seorang wanita,” kata Dirgha Raj Bogati, menambahkan bahwa menghancurkan gubuk itu terbukti tidak efektif.
"Jika kita membongkar satu gubuk, mereka pindah dan membangun yang lain," ungkapnya.
Ia mengatakan hadiah ini, yang diberikan satu kali untuk mencegah penggunaan gubuk menstruiasi oleh pihak keluarga, akan menguntungkan 100 wanita di salah satu negara termiskin di dunia pada tahun ini. Data Bank Dunia menunjukkan 41% dari 28 jutra penduduk di Nepal hidup dengan uang kurang dari USD3,20 sehari.
Bogati pun mengulangi peringatan oleh pejabat setempat bahwa keluarga akan tidak akan mendapat tunjangan negara jika diketahui mempraktekkan chhaupadi.
Pemerintah memberlakukan hukuman penjara tiga bulan dan denda 3.000 rupee bagi mereka yang mengucilkan wanita dan gadis yang sedang menstruasi, yang membuat mereka berisiko terkena gigitan ular, serangan binatang buas dan pemerkosaan, serta keracunan karbon dioksida.
Namun para pegiat mengatakan hanya sedikit yang dihukum karena para korban jarang melaporkan anggota keluarga mereka sendiri.
Om Prakash Aryal, seorang pengacara hak asasi manusia, mendesak polisi untuk menyiapkan laporan mereka sendiri dan mengajukan kasus-kasus di pengadilan jika para korban khawatir untuk melapor.
“Sangat memalukan bahwa praktik tidak manusiawi seperti itu masih berlaku di Nepal. Ini merupakan noda pada peradaban kita,” ucapnya.
(ian)