Perkuat Geopolitik, China Perbanyak Pos Diplomasi Melampai AS
A
A
A
BEJING - China mengalahkan Amerika Serikat (AS) sebagai negara dengan jumlah pos diplomasi terbesar di dunia. Itu mengindikasikan ambisi internasional Beijing untuk memperkuat geopolitik dan mengembangkan perdagangan.
Laporan yang dipublikasikan dalam Global Diplomacy Index oleh Lowy Institute berbasis di Sydney, berpijakan pada analisis jumlah kedutaan besar (kedubes) dan konsulat yang dimiliki suatu negara di seluruh dunia. Indek Diplomasi Global Lowy 2019 itu memetakan 61 jaringan diplomasi di seluruh dunia baik kedubes, konsulat, misi permanen, dan posisi diplomatik lainnya.
Mereka melacak seluruh negara anggota G20 dan OECD dan sebagian besar adalah negara Asia. Berdasarkan laporan tersebut, China memiliki 276 posisi diplomasi secara global atau selisih tiga dibandingkan AS. Washington dan Beijing memiliki jumlah kedubes yang sama, tetapi China memiliki lebih banyak konsulat lebih banyak dibandingkan AS.
“Secara umum, konsulat memfasilitasi kerja sama ekonomi antar negara, kalau kedutaan lebih fokus menjalin hubungan politik,” ungkap peneliti Lowy Institute, Bonnie Bley, dilansir CNN. “Hasil itu menunjukkan, secara level pratis, jaringan konsulat China di luar negeri untuk mendukung ambisi ekonomi Beijing,” paparnya.
Presiden China Xi Jingping memang berusaha membangun profil internasional sejak berkuasa pada November 2012. Dia ingin menempatkan Beijing dalam diplomasi global. Salah satu kebijakan penting Xi adalah Insiatif Sabuk dan Jalan atau Jalur Sutra. Itu menawarkan bantuan infrastruktur kepada negara mitra untuk menciptakan proyek bersar dan membangun koridor perdagang untuk China.
Ketika China terus menjangkau luas global, AS justru mengalami kemunduran jauh. Sejak berkuasa pada 2017, Presiden Donald Trump justru mengurangi anggaran Departemen Luar Negeri AS. Apa akibatnya? Banyak posisi diplomatik penting justru kosong. Itu menjadi peringatan kalau pemerintahan Trump justru membahayakan moral para diplomat.
73% posisi kunci di Departemen Luar Negeri AS telah terisi. Banyak posisi duta besar kosong tanpa alasan jelas. Mantan duta besar AS untuk Ukraina Marie Yovanovitch mengatakan kepada Kongres bulan ini, Departemen Luar Negeri AS megalami krisis.
Bahkan, Australia tidak memiliki duta besar AS selama dua tahun terakhir. “Kekosongan jabatan diplomatik terjadi selama tiga tahun selama pemerintahan Trump,” papar Bley. “Namun, pengaruh diplomasi AS terus berkembang selama beberapa dekade dan tidak akan terganggu hanya karena satu kali jabatan presiden saja,” paparnya.
Parahnya, Bley mengungkapkan Trump merusak kesepakatan insiatif multilateral seperti Kemitraan Trans-Pasifik, kesepakatan nuklir Iran, kesepakan iklim Paris. Itu semua mengganggu pengaruh diplomasi AS. Apakah AS masih memiliki pengaruh diplomasi yang kuat? Bley mengungkapkan AS tetap menjadi pusat aktivitas diplomasi global.
“Membangun infrastruktur diplomatik merupakan langkah praktis untuk memperkuat pengaruh diplomasi suatu negara,” ujar Bley. “Dalam kasus China, kita bisa mengatakan kepastian bahwa mereka berinvestasi dalam infrastruktur diplomasi untuk mewujudkan ambisi internasional,” tambahnya.
Setelah China dan AS, Prancis berada posisi ketiga dengan 267 dan konsulat di seluruh dunia. Posisi keempat adalah Jepang dan Rusia menduduki peirngkat kelima. Sekadar perbandingan pada 2016, China pada posisi ketiga dibelakang AS dan Prancis. Pada 2017, China mengalami peningkatan ke posisi kedua.
Bley mengungkapkan China mampu menjangkau dunia, meskipun jumlah kedubes asing di daratan China tidak terlalu sebanyak AS. Pada 2019, AS ditempati sebanyak 342 kedutaan dan konsulat dari 61 negara, sedangkan di China hanya terdapat 256 misi diplomatik. “Kuantitas memang satu hal penting, tetapi kualitas diplomasi China akan menentukan peningkatan reputasi internasional,” paparnya.
Misi utama Beijing membangun diplomasi untuk memperkuat posisi politiknya. China menarget negara-negara yang membangun hubungan diplomatik dengan Taiwan seperti Burkina Faso, Republik Dominika, El Salvador, Gambia, dan Sao Tome dan Principe. Taiwan berada di posisi 32 dengan 107 posisi diplomasi dan hanya memiliki 15 keduibes.
Laporan yang dipublikasikan dalam Global Diplomacy Index oleh Lowy Institute berbasis di Sydney, berpijakan pada analisis jumlah kedutaan besar (kedubes) dan konsulat yang dimiliki suatu negara di seluruh dunia. Indek Diplomasi Global Lowy 2019 itu memetakan 61 jaringan diplomasi di seluruh dunia baik kedubes, konsulat, misi permanen, dan posisi diplomatik lainnya.
Mereka melacak seluruh negara anggota G20 dan OECD dan sebagian besar adalah negara Asia. Berdasarkan laporan tersebut, China memiliki 276 posisi diplomasi secara global atau selisih tiga dibandingkan AS. Washington dan Beijing memiliki jumlah kedubes yang sama, tetapi China memiliki lebih banyak konsulat lebih banyak dibandingkan AS.
“Secara umum, konsulat memfasilitasi kerja sama ekonomi antar negara, kalau kedutaan lebih fokus menjalin hubungan politik,” ungkap peneliti Lowy Institute, Bonnie Bley, dilansir CNN. “Hasil itu menunjukkan, secara level pratis, jaringan konsulat China di luar negeri untuk mendukung ambisi ekonomi Beijing,” paparnya.
Presiden China Xi Jingping memang berusaha membangun profil internasional sejak berkuasa pada November 2012. Dia ingin menempatkan Beijing dalam diplomasi global. Salah satu kebijakan penting Xi adalah Insiatif Sabuk dan Jalan atau Jalur Sutra. Itu menawarkan bantuan infrastruktur kepada negara mitra untuk menciptakan proyek bersar dan membangun koridor perdagang untuk China.
Ketika China terus menjangkau luas global, AS justru mengalami kemunduran jauh. Sejak berkuasa pada 2017, Presiden Donald Trump justru mengurangi anggaran Departemen Luar Negeri AS. Apa akibatnya? Banyak posisi diplomatik penting justru kosong. Itu menjadi peringatan kalau pemerintahan Trump justru membahayakan moral para diplomat.
73% posisi kunci di Departemen Luar Negeri AS telah terisi. Banyak posisi duta besar kosong tanpa alasan jelas. Mantan duta besar AS untuk Ukraina Marie Yovanovitch mengatakan kepada Kongres bulan ini, Departemen Luar Negeri AS megalami krisis.
Bahkan, Australia tidak memiliki duta besar AS selama dua tahun terakhir. “Kekosongan jabatan diplomatik terjadi selama tiga tahun selama pemerintahan Trump,” papar Bley. “Namun, pengaruh diplomasi AS terus berkembang selama beberapa dekade dan tidak akan terganggu hanya karena satu kali jabatan presiden saja,” paparnya.
Parahnya, Bley mengungkapkan Trump merusak kesepakatan insiatif multilateral seperti Kemitraan Trans-Pasifik, kesepakatan nuklir Iran, kesepakan iklim Paris. Itu semua mengganggu pengaruh diplomasi AS. Apakah AS masih memiliki pengaruh diplomasi yang kuat? Bley mengungkapkan AS tetap menjadi pusat aktivitas diplomasi global.
“Membangun infrastruktur diplomatik merupakan langkah praktis untuk memperkuat pengaruh diplomasi suatu negara,” ujar Bley. “Dalam kasus China, kita bisa mengatakan kepastian bahwa mereka berinvestasi dalam infrastruktur diplomasi untuk mewujudkan ambisi internasional,” tambahnya.
Setelah China dan AS, Prancis berada posisi ketiga dengan 267 dan konsulat di seluruh dunia. Posisi keempat adalah Jepang dan Rusia menduduki peirngkat kelima. Sekadar perbandingan pada 2016, China pada posisi ketiga dibelakang AS dan Prancis. Pada 2017, China mengalami peningkatan ke posisi kedua.
Bley mengungkapkan China mampu menjangkau dunia, meskipun jumlah kedubes asing di daratan China tidak terlalu sebanyak AS. Pada 2019, AS ditempati sebanyak 342 kedutaan dan konsulat dari 61 negara, sedangkan di China hanya terdapat 256 misi diplomatik. “Kuantitas memang satu hal penting, tetapi kualitas diplomasi China akan menentukan peningkatan reputasi internasional,” paparnya.
Misi utama Beijing membangun diplomasi untuk memperkuat posisi politiknya. China menarget negara-negara yang membangun hubungan diplomatik dengan Taiwan seperti Burkina Faso, Republik Dominika, El Salvador, Gambia, dan Sao Tome dan Principe. Taiwan berada di posisi 32 dengan 107 posisi diplomasi dan hanya memiliki 15 keduibes.
(don)