Sidang Terpanjang dalam Sejarah: Relawan Palestina Jalan Sidang ke-129
A
A
A
TEL AVIV - Seorang mantan manajer amal di Jalur Gaza yang dituduh mendanai Hamas menghadiri persidangan untuk ke-129 kalinya. Ini menjadi persidangan terpanjang dari jenisnya dalam sejarah Israel. Berlarut-larutnya persidangan ini karena saksi dihalangi untuk bersaksi.
Relawan bernama Mohammed al-Halabi (41) ditangkap pada Juni 2016 ketika bekerja untuk World Vision, sebuah kelompok kemanusiaan umat Kristen. Ia didakwa memberikan sejumlah dana kepada Hamas dan sayap bersenjatanya.
Namun selama hampir empat tahun, Halabi kerap ditolak pengadilan. Sebaliknya, ia dipaksa menghadapi proses penghentian persidangan yang tak berkesudahan di mana saksi kunci dilarang bersaksi.
Sidang terakhirnya pada hari Rabu tidak jauh berbeda, berlangsung dengan cepat segera setelah dimulai.
"Sidang hari ini dibatalkan segera setelah sidang dimulai karena para saksi tidak hadir," ujar saudara laki-laki Halabi, Hamed.
"Jaksa kemudian mengancam bahwa saksi mana pun yang datang dari Gaza untuk memberikan kesaksian mereka akan ditahan," imbuhnya.
"Mereka tidak ingin ada yang membuktikan kesalahan mereka. Semua saksi mata dan bahkan pejabat di World Vision memberikan bukti bahwa dia tidak bersalah. Tapi bukan ini yang dicari jaksa," tukasnya seperti disitir Russia Today dari Middle East Eye, Kamis (24/10/2019).
Pemerintah Israel telah menolak izin perjalanan untuk saksi penting dalam kasus Halabi, mencegah mereka meninggalkan Gaza untuk memberikan kesaksian di pengadilan Israel. Pengacara Halabi, Maher Hanna, mengatakan ia tidak bisa mendapatkan jaminan persidangan yang adil.
Hanna mengatakan salah satu saksi, pemilik perusahaan yang terlibat dalam skema pengiriman uang yang diduga mendanai Hamas, dapat merusak tuduhan yang mereka buat terhadap Habel.
"Dia telah memohon kepada Israel untuk mengizinkannya pergi ke pengadilan dan bersaksi, tetapi mereka tidak mengizinkannya untuk melakukannya," kata Hanna kepada Times of Israel.
Ayah dari lima orang dari kamp pengungsi Jabalya di Gaza, Halabi telah mempertahankan pengakuannya sejak ditangkap pada tahun 2016. Menurut pihak keluarga, ia menolak mengakui tuduhan yang diarahkan kepadanya meskipun menghadapi tekanan dan bahkan ancaman dari para hakim.
Ayahnya mengatakan bahwa pada sebuah sidang, seorang hakim berjanji memberikan "penjara jangka panjang" jika Halabi tidak mengakui bekerja sama dengan kelompok-kelompok teroris.
"(Hakim) mengancamnya dan mencoba memaksanya untuk mengkonfirmasi tuduhan di depan semua orang," kata ayah Halabi kepada Middle East Eye.
Keluarga Halabi juga mengatakan dia telah menderita "siksaan mengerikan" di tangan pihak berwenang Israel dalam sejumlah interogasi, termasuk pemukulan, penghinaan dan kurang tidur secara paksa.
Seorang mantan karyawan di World Vision mengatakan kasus Halabi adalah bagian dari serangan yang berkelanjutan pada pekerjaan bantuan di Jalur Gaza dan wilayah Palestina lainnya.
"Ada serangan politik terhadap organisasi tersebut karena salah satu kantor utamanya berada di Amerika Serikat," kata karyawan itu, yang ingin tetap anonim, kepada Middle East Eye.
"Lobi Israel di AS pasti memainkan peran utama dalam menghambat pekerjaan organisasi," sambungnya.
Ayah Halabi mendukung pernyataan itu. "Mereka tahu betul bahwa dia tidak bersalah, tetapi mereka tidak dapat membebaskannya setelah empat tahun diinterogasi dan disiksa dan membuktikan bahwa mereka salah," ia menambahkan.
Relawan bernama Mohammed al-Halabi (41) ditangkap pada Juni 2016 ketika bekerja untuk World Vision, sebuah kelompok kemanusiaan umat Kristen. Ia didakwa memberikan sejumlah dana kepada Hamas dan sayap bersenjatanya.
Namun selama hampir empat tahun, Halabi kerap ditolak pengadilan. Sebaliknya, ia dipaksa menghadapi proses penghentian persidangan yang tak berkesudahan di mana saksi kunci dilarang bersaksi.
Sidang terakhirnya pada hari Rabu tidak jauh berbeda, berlangsung dengan cepat segera setelah dimulai.
"Sidang hari ini dibatalkan segera setelah sidang dimulai karena para saksi tidak hadir," ujar saudara laki-laki Halabi, Hamed.
"Jaksa kemudian mengancam bahwa saksi mana pun yang datang dari Gaza untuk memberikan kesaksian mereka akan ditahan," imbuhnya.
"Mereka tidak ingin ada yang membuktikan kesalahan mereka. Semua saksi mata dan bahkan pejabat di World Vision memberikan bukti bahwa dia tidak bersalah. Tapi bukan ini yang dicari jaksa," tukasnya seperti disitir Russia Today dari Middle East Eye, Kamis (24/10/2019).
Pemerintah Israel telah menolak izin perjalanan untuk saksi penting dalam kasus Halabi, mencegah mereka meninggalkan Gaza untuk memberikan kesaksian di pengadilan Israel. Pengacara Halabi, Maher Hanna, mengatakan ia tidak bisa mendapatkan jaminan persidangan yang adil.
Hanna mengatakan salah satu saksi, pemilik perusahaan yang terlibat dalam skema pengiriman uang yang diduga mendanai Hamas, dapat merusak tuduhan yang mereka buat terhadap Habel.
"Dia telah memohon kepada Israel untuk mengizinkannya pergi ke pengadilan dan bersaksi, tetapi mereka tidak mengizinkannya untuk melakukannya," kata Hanna kepada Times of Israel.
Ayah dari lima orang dari kamp pengungsi Jabalya di Gaza, Halabi telah mempertahankan pengakuannya sejak ditangkap pada tahun 2016. Menurut pihak keluarga, ia menolak mengakui tuduhan yang diarahkan kepadanya meskipun menghadapi tekanan dan bahkan ancaman dari para hakim.
Ayahnya mengatakan bahwa pada sebuah sidang, seorang hakim berjanji memberikan "penjara jangka panjang" jika Halabi tidak mengakui bekerja sama dengan kelompok-kelompok teroris.
"(Hakim) mengancamnya dan mencoba memaksanya untuk mengkonfirmasi tuduhan di depan semua orang," kata ayah Halabi kepada Middle East Eye.
Keluarga Halabi juga mengatakan dia telah menderita "siksaan mengerikan" di tangan pihak berwenang Israel dalam sejumlah interogasi, termasuk pemukulan, penghinaan dan kurang tidur secara paksa.
Seorang mantan karyawan di World Vision mengatakan kasus Halabi adalah bagian dari serangan yang berkelanjutan pada pekerjaan bantuan di Jalur Gaza dan wilayah Palestina lainnya.
"Ada serangan politik terhadap organisasi tersebut karena salah satu kantor utamanya berada di Amerika Serikat," kata karyawan itu, yang ingin tetap anonim, kepada Middle East Eye.
"Lobi Israel di AS pasti memainkan peran utama dalam menghambat pekerjaan organisasi," sambungnya.
Ayah Halabi mendukung pernyataan itu. "Mereka tahu betul bahwa dia tidak bersalah, tetapi mereka tidak dapat membebaskannya setelah empat tahun diinterogasi dan disiksa dan membuktikan bahwa mereka salah," ia menambahkan.
(ian)