Kelompok Bersenjata Serbu Sejumlah Stasiun TV di Baghdad
A
A
A
BAGHDAD - Sekelompok orang bersenjata dengan menggunakan topeng menyerbu sejumlah kantor stasiun televisi di Baghdad, Iran. Insiden itu terjadi di tengah kerusuhan sipil dengan korban yang terus bertambah pecah di Ibu Kota Irak dan sejumlah wilayah lain dalam beberapa hari terakhir.
Stasiun televisi milik Arab Saudi, Al Arabiya, mengatakan bahwa kantornya diserbu sekelompok orang bersenjata pada Sabtu malam. Mereka menggeledah dan memukuli karyawan yang melarikan diri. Aksi serupa juga terjadi di kantor stasiun televisi Dijla, NRT, Arabiya Hadath, Fallouja, Alghad Alaraby, Al-Sharqiya dan Sky News Arabia juga dilaporkan menjadi sasaran.
Di antara jaringan stasiun televisi yang ditargetkan adalah outlet media milik Kurdi, Yordania, internasional, dan milik lokal.
Identitas penyerang tidak diketahui, meskipun NRT mengklaim bahwa mereka adalah "pasukan keamanan." Di sisi lain, Al Arabiya mengklaim bahwa para penyerang secara aktif mencegah polisi federal membantu stafnya seperti dikutip dari Russia Today, Minggu (6/10/2019).
Serangan terhadap media massa terjadi pada hari kelima aksi protes anti-pemerintah di seluruh negeri. Aksi ini dimulai pada minggu lalu yang dipicu tingginya angka pengguran dan dugaan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah.
Para pengunjuk rasa menyerukan jatuhnya pemerintahan Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi, dan telah menargetkan gedung-gedung negara dalam serangan pembakaran.
Pertempuran senjata juga telah pecah antara warga dan pasukan keamanan. Menurut Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Irak jumlah korban tewas pada Sabtu malam di seluruh negara itu sekarang mencapai hampir 100. Komisi itu juga mengklaim bahwa lebih dari 3.000 orang terluka dalam bentrokan, menjadikannya kerusuhan paling mematikan di negara itu sejak kekalahan Negara Islam (IS, sebelumnya ISIS) pada 2017.
Sebelumnya pada minggu itu, pemerintah Mahdi memberlakukan jam malam di Baghdad dan di beberapa kota di selatan negara itu, sebuah langkah yang semakin menyulut demonstran. Ada klaim bahwa akses internet juga terputus untuk sebagian besar wilayah di negara itu. Ini tampaknya dalam upaya untuk menghentikan pengorganisasian pengunjuk rasa di media sosial. (Baca juga: Kerusuhan Meluas, Irak Berlakukan Jam Malam dan Blokir Internet )
Perang selama dua dasawarsa - invasi AS, bertahun-tahun kekerasan sektarian, dan kemunculan Negara Islam - telah sangat merugikan ekonomi dan infrastruktur Irak, membuat banyak orang kesulitan mendapatkan kebutuhan paling mendasar. Meskipun negara ini memiliki cadangan minyak terbesar kelima di dunia, banyak penduduknya hidup dalam kemiskinan.
Stasiun televisi milik Arab Saudi, Al Arabiya, mengatakan bahwa kantornya diserbu sekelompok orang bersenjata pada Sabtu malam. Mereka menggeledah dan memukuli karyawan yang melarikan diri. Aksi serupa juga terjadi di kantor stasiun televisi Dijla, NRT, Arabiya Hadath, Fallouja, Alghad Alaraby, Al-Sharqiya dan Sky News Arabia juga dilaporkan menjadi sasaran.
Di antara jaringan stasiun televisi yang ditargetkan adalah outlet media milik Kurdi, Yordania, internasional, dan milik lokal.
Identitas penyerang tidak diketahui, meskipun NRT mengklaim bahwa mereka adalah "pasukan keamanan." Di sisi lain, Al Arabiya mengklaim bahwa para penyerang secara aktif mencegah polisi federal membantu stafnya seperti dikutip dari Russia Today, Minggu (6/10/2019).
Serangan terhadap media massa terjadi pada hari kelima aksi protes anti-pemerintah di seluruh negeri. Aksi ini dimulai pada minggu lalu yang dipicu tingginya angka pengguran dan dugaan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah.
Para pengunjuk rasa menyerukan jatuhnya pemerintahan Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi, dan telah menargetkan gedung-gedung negara dalam serangan pembakaran.
Pertempuran senjata juga telah pecah antara warga dan pasukan keamanan. Menurut Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Irak jumlah korban tewas pada Sabtu malam di seluruh negara itu sekarang mencapai hampir 100. Komisi itu juga mengklaim bahwa lebih dari 3.000 orang terluka dalam bentrokan, menjadikannya kerusuhan paling mematikan di negara itu sejak kekalahan Negara Islam (IS, sebelumnya ISIS) pada 2017.
Sebelumnya pada minggu itu, pemerintah Mahdi memberlakukan jam malam di Baghdad dan di beberapa kota di selatan negara itu, sebuah langkah yang semakin menyulut demonstran. Ada klaim bahwa akses internet juga terputus untuk sebagian besar wilayah di negara itu. Ini tampaknya dalam upaya untuk menghentikan pengorganisasian pengunjuk rasa di media sosial. (Baca juga: Kerusuhan Meluas, Irak Berlakukan Jam Malam dan Blokir Internet )
Perang selama dua dasawarsa - invasi AS, bertahun-tahun kekerasan sektarian, dan kemunculan Negara Islam - telah sangat merugikan ekonomi dan infrastruktur Irak, membuat banyak orang kesulitan mendapatkan kebutuhan paling mendasar. Meskipun negara ini memiliki cadangan minyak terbesar kelima di dunia, banyak penduduknya hidup dalam kemiskinan.
(ian)