Tokyo-Singapura Diakui sebagai Kota bagi Pekerja Keras

Senin, 30 September 2019 - 06:24 WIB
Tokyo-Singapura Diakui sebagai Kota bagi Pekerja Keras
Tokyo-Singapura Diakui sebagai Kota bagi Pekerja Keras
A A A
TOKYO - Pada Juli 2013 silam, Miwa Sado, 31, seorang reporter stasiun televisi di Jepang, ditemukan tewas di apartemennya di Tokyo. Dia meninggal karena sakit jantung. Terungkap kemudian Sado ternyata diketahui telah bekerja 159 jam dan 37 menit di kantornya selama satu bulan sebelum kematiannya. Kematian Sado pun disebabkan “beban pekerjaan yang terlalu berat”.

Kasus kematian orang karena bekerja terlalu keras di Jepang sudah banyak terjadi. Orang Jepang mengenalnya dengan istilah karoshi. Data pertama karoshi tercatat pada 1969 dan menurut data Pemerintah Jepang 190 orang mengalami kematian karena kecapaian kerja pada 2017.

Awal tahun ini Pemerintah Jepang mengenalkan hukum pembatasan jam kerja lembur hanya 45 jam per bulan dengan perpanjangan 100 jam dalam sebulan pada masa sibuk. Namun hal itu dianggap sebelah mata karena budaya kerja keras orang Jepang telah menjadi identitas mereka.

“Masih ada tekanan kepada pekerja untuk membuktikan diri mereka bisa bekerja dalam jangka waktu yang panjang,” kata Direktur Kajian Asia di Universitas Temple Tokyo, Jeff Kingston, seperti dilansir Guardian. “Selama etika kerja samurai diterapkan, sangat sulit untuk menjadi optimistis,” paparnya.

Kajian yang dilaksanakan firma konsultan Kisi menyebutkan Tokyo sebagai kota yang paling “bekerja keras” dari 40 kota yang disurvei. Indeks keseimbangan kerja-kehidupan menunjukkan rata-rata penduduk Tokyo bekerja 42 jam selama satu pekan. Adapun Jakarta tidak masuk dalam kota yang disurvei Kisi.

Menurut data OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) mengenai produktivitas, Jepang masuk dalam kelompok negara yang tidak terlalu produktif di antara anggota G-7. Namun data dari perusahaan perbankan UBS menunjukkan Tokyo berada di posisi ke-32 dengan rata-rata 1.997 jam per tahun dari 77 kota yang disurvei.

Adapun kota yang warganya harus berjuang lebih keras adalah Mumbai; mereka bekerja 3.315 jam selama setahun. Kota dengan jam kerja berlebih lainnya adalah Mexico City. Ibu kota Meksiko itu menjadi kota dengan sistem metro terbesar di Amerika Utara setelah New York, hal yang juga menunjukkan bahwa jam kerja yang panjang tidak berkaitan langsung dengan produktivitas.

Menurut kajian yang dilakukan UBS, Mexico City menjadi kota ketiga dengan tingkat pekerja kerasnya di mana mereka menghabiskan waktu 2.622 jam selama setahun. Namun tingkat daya saing Meksiko hanya pada peringkat ke-38 dari data OECD. Penelitian justru menunjukkan jam kerja yang pendek akan meningkatkan produktivitas.

Hal itu diungkapkan dalam survei The Chartered Institute of Personnel and Development yang melakukan survei terhadap 5.136 orang. Mereka menemukan satu dari empat pekerja bekerja terlalu lama. Satu dari empat orang menyatakan mereka harus bekerja ekstra untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.

“Pekerja kerap mengungkapkan bahwa bekerja selama berjam-jam tidak akan menghasilkan performa yang baik,” kata psikolog kesehatan Universitas Bedfordshire, Profesor Gail Kinman. “Orang yang bekerja terlalu lama akan menghasilkan memori dan konsentrasi yang buruk. Mereka juga cenderung tidak bisa menggali kreativitas dan memecahkan masalah,” jelasnya.

Kinman memperingatkan bahwa bekerja terlalu lama berdampak buruk terhadap kesehatan mental dan fisik. Hal itu karena tenaga manusia berkurang dan kurang istirahat. “Bekerja seimbang bisa menjadi hal esensial bagi kesehatan fisik dan mental agar kehidupan pribadi lebih bahagia,” katanya. Dia menyarankan untuk merencanakan liburan setiap tahun dan memprioritaskan perawatan diri.

Dalam survei Kisi, Singapura merupakan negara yang orang-orangnya bekerja lebih dari 48 jam dalam satu pekan. “Singapura menjadi kota yang memang layak ditinggali. Tapi kebanyakan warganya memiliki nilai stres yang tinggi,” tutur Bernhard Mehl, CEO Kisi.

Dalam kasus Singapura, Mehl menyarankan perlunya program untuk kesehatan mental dan percakapan mengenai bantuan stres bagi para pekerja. “Kota-kota seharusnya memahami bahwa mereka harus melakukan banyak hal baik dan fokus pada agenda perubahan,” paparnya.

Dia menambahkan, meskipun tinggal di era di mana banyak kemajuan yang tidak diperkirakan seperti teknologi dan konektivitas, banyak negara gagal menghadapi segala aspek untuk memperbaiki kehidupan sehari-hari dengan menemukan keseimbangan kerja dan kesenangan.

Untuk itu dia berharap kajian tersebut bisa menegaskan tentang pentingnya mengoptimalkan kebahagiaan warga untuk menghadapi biaya ekonomi dan psikologi di tempat kerja yang membuat stres. Mehl menjelaskan, stres di tempat kerja berkontribusi terhadap 120.000 kematian setiap tahun.

Itu senilai USD190 miliar, berdasarkan estimasi peneliti dari Harvard dan Stanford. ”Ini membuktikan bahwa kita sebaiknya memprioritaskan pemahaman tentang peranan intensitas tempat kerja dengan kesehatan dan kebahagiaan,” paparnya.

Urusan kebahagiaan dan kesehatan para pekerja, menurut Mehl, bukan urusan individu, tetapi juga menjadi urusan para pekerja. Pada akhirnya hasilnya bukan hanya kebahagiaan dan kesehatan di tempat kerja, tetapi dalam jangka panjang adalah kepentingan ekonomi. Dia menekankan perihal profesionalitas dan kehidupan personal yang bukan urusan eksklusif.

“Jam kerja yang terlalu panjang, ekspektasi tidak realistis dari bos atau ketidakamanan pekerjaan, stres di tempat kerja berdampak pada kesehatan mental dan fisik,” kata Mehl. Dia mengungkapkan, pembuat kebijakan seharusnya menangani isu tersebut secara bersama-sama. “Selama pekerja stres, mereka tidak akan memberikan keuntungan meskipun pemerintah dan perusahaan bekerja keras,” ujarnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5567 seconds (0.1#10.140)