AS Kerap Membom Negara Lain, Rusia Menolak Jadi Negara Normal
A
A
A
MOSKOW - Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Mark Esper mengatakan akan menjadi hebat jika Barat bisa membuat Rusia beperilaku seperti negara normal. Komentar itu dibalas Moskow dengan sindiran yang menohok perihal perilaku Washington yang kerap membom negara-negara lain dengan mengabaikan hukum internasional.
Komentar Esper itu muncul saat mengunjungi Paris untuk bertemu rekannya dari Prancis, Florence Parly, pada Sabtu pekan lalu. "Akan lebih hebat jika kita bisa membuat Rusia berperilaku seperti negara yang lebih normal," kata Esper.
"Tetapi Anda juga tidak dapat mengabaikan sejarah bertahun-tahun terakhir di mana Rusia telah menginvasi Georgia, telah mencaplok Crimea, menduduki wilayah Ukraina, mengancam negara-negara Baltik," lanjut bos Pentagon tersebut.
Moskow tersinggung dengan komentar Esper. "Jika dia mengatakan demikian, dia meminta kami untuk bertindak sebagai negara normal (seperti itu) dan tidak seperti Amerika Serikat," kata Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov dalam konferensi pers di ibu kota Rusia, di mana ia dan Menteri Pertahanan Sergei Shoigu melakukan pertemuan tatap muka dengan mitra mereka dari Prancis.
"Kalau tidak, kita seharusnya bertindak seperti AS, membom Irak dan Libya dalam pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional...Kita seharusnya mendukung kudeta, kekerasan dan anti-konstitusional, seperti yang dilakukan AS dan sekutu terdekatnya pada Februari 2014 (di Ukraina)," sindir Lavrov.
"Terlebih lagi, jika Rusia mengikuti instruksi Washington, maka kami akan menghabiskan jutaan dolar untuk campur tangan dalam urusan negara lain seperti yang dilakukan Kongres dengan memberikan otorisasi USD20 juta untuk mendukung demokrasi di Rusia," sambung Lavrov.
Sedangkan Shoigu mengatakan bahwa kenormalan memiliki arti yang berbeda untuk Moskow. "Kami mungkin akan tetap menjadi (negara) abnormal," katanya, seperti dikutip Russia Today, Selasa (10/9/2019).
Sementara itu, para pejabat Prancis yang berkunjung menganjurkan semua pihak untuk berdamai dengan Rusia.
"Waktunya telah tiba, saatnya sudah tepat, untuk bekerja untuk mengurangi ketidakpercayaan," kata Menteri Luar Negeri Jean-Yves Le Drian.
Menteri Pertahanan Florence Parly menambahkan, "Penting untuk berbicara satu sama lain, untuk menghindari kesalahpahaman dan gesekan."
Pertemuan itu terjadi beberapa minggu setelah Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu dengan mitranya dari Prancis Emmanuel Macron pada akhir Agustus di Bregancon. Pertemuan itu dalam upaya untuk meredakan ketegangan dan memecahkan kebekuan dalam hubungan Rusia-Barat.
Pada kesempatan itu, Macron bersumpah untuk menciptakan arsitektur baru keamanan dan kepercayaan antara Uni Eropa dan Rusia. Dia menunjukkan bahwa kontribusi Moskow penting dalam membantu menyelesaikan krisis di dan sekitar Iran, Ukraina, dan Suriah, dan untuk bekerja pada non-proliferasi nuklir.
Komentar Esper itu muncul saat mengunjungi Paris untuk bertemu rekannya dari Prancis, Florence Parly, pada Sabtu pekan lalu. "Akan lebih hebat jika kita bisa membuat Rusia berperilaku seperti negara yang lebih normal," kata Esper.
"Tetapi Anda juga tidak dapat mengabaikan sejarah bertahun-tahun terakhir di mana Rusia telah menginvasi Georgia, telah mencaplok Crimea, menduduki wilayah Ukraina, mengancam negara-negara Baltik," lanjut bos Pentagon tersebut.
Moskow tersinggung dengan komentar Esper. "Jika dia mengatakan demikian, dia meminta kami untuk bertindak sebagai negara normal (seperti itu) dan tidak seperti Amerika Serikat," kata Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov dalam konferensi pers di ibu kota Rusia, di mana ia dan Menteri Pertahanan Sergei Shoigu melakukan pertemuan tatap muka dengan mitra mereka dari Prancis.
"Kalau tidak, kita seharusnya bertindak seperti AS, membom Irak dan Libya dalam pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional...Kita seharusnya mendukung kudeta, kekerasan dan anti-konstitusional, seperti yang dilakukan AS dan sekutu terdekatnya pada Februari 2014 (di Ukraina)," sindir Lavrov.
"Terlebih lagi, jika Rusia mengikuti instruksi Washington, maka kami akan menghabiskan jutaan dolar untuk campur tangan dalam urusan negara lain seperti yang dilakukan Kongres dengan memberikan otorisasi USD20 juta untuk mendukung demokrasi di Rusia," sambung Lavrov.
Sedangkan Shoigu mengatakan bahwa kenormalan memiliki arti yang berbeda untuk Moskow. "Kami mungkin akan tetap menjadi (negara) abnormal," katanya, seperti dikutip Russia Today, Selasa (10/9/2019).
Sementara itu, para pejabat Prancis yang berkunjung menganjurkan semua pihak untuk berdamai dengan Rusia.
"Waktunya telah tiba, saatnya sudah tepat, untuk bekerja untuk mengurangi ketidakpercayaan," kata Menteri Luar Negeri Jean-Yves Le Drian.
Menteri Pertahanan Florence Parly menambahkan, "Penting untuk berbicara satu sama lain, untuk menghindari kesalahpahaman dan gesekan."
Pertemuan itu terjadi beberapa minggu setelah Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu dengan mitranya dari Prancis Emmanuel Macron pada akhir Agustus di Bregancon. Pertemuan itu dalam upaya untuk meredakan ketegangan dan memecahkan kebekuan dalam hubungan Rusia-Barat.
Pada kesempatan itu, Macron bersumpah untuk menciptakan arsitektur baru keamanan dan kepercayaan antara Uni Eropa dan Rusia. Dia menunjukkan bahwa kontribusi Moskow penting dalam membantu menyelesaikan krisis di dan sekitar Iran, Ukraina, dan Suriah, dan untuk bekerja pada non-proliferasi nuklir.
(mas)