Kota Tua di Dunia Terancam Hancur Karena Parwisata

Kamis, 22 Agustus 2019 - 07:31 WIB
Kota Tua di Dunia Terancam Hancur Karena Parwisata
Kota Tua di Dunia Terancam Hancur Karena Parwisata
A A A
ISTAMBUL - Istanbul dan Tokyo menjadi kota tua yang bertahan di tengah gempuran modernitas. Kedua kota itu mampu menyandingkan antara modernitas dan produk peradaban kuno sebagai perpaduan yang menarik. Itu menjadikan kota tersebut mampu menjadi perhatian dunia sehingga banyak wisatawan berdatangan ke kota tersebut.

Namun, kunjungan wisata justru menjadi tantangan dan ancaman berbagai kota tua di dunia, termasuk Istanbul dan Tokyo. Istanbul menjadi kota istimewa yang memadukan budaya, latar belakang ekonomi, dan bangsa yang berbeda dalam satu perkampungan yang terdiri dari sembilan bukit. Berbagai gedung dari awal periode Bizantium hingga Ottoman serta modern menjadikan Istanbul sebagai kota yang harmonis.

Meskipun berbagai peristiwa pengeboman dan kekerasan di Istanbul, kota itu tetap menjadi magnet bagi wisatawan. Itu dikarenakan atmosfir kota tersebut sangat ramah dan bersahabat, meskipun ancaman pengeboman dan teroris tetap saja bisa saja terjadi kapan saja. Rasa tradisional menjadi daya jual, dari berbagai makanan yang disajikan seperti bal-kaymak, simit, beyaz, hingga muhammara.

Banyak bazar dan bangunan kuno yang menjadi pemandangan menarik.
Sebagai solusi atas dampak pariwisata massal, Asosiasi Biro Perjalanan Wisata Turki (TURSAB) kini mempromosikan pariwisata berkelanjutan. Mereka juga menggandeng United Nations Development Programme (UNDP) untuk membangun Istanbul yang kuat di masa depan.

"Tujuan kita adalah kerja sama untuk meminimalkan dampak negatif pariwisata terutama bagi lingkungan serta menciptakan model yang sehat untuk melestarikan budaya, makanan, kerajinan, tradisi, dan adat bagi masyarakat lokal," kata TURSAB Firuz Baglikaya, dilansir Xinhua. "Keberlangsungan sebagai konsep instrumen yang mengizinkan pemerintah menyelesaikan berbagai tantangan,"ujarnya.

Pariwisata yang berkelanjutan juga bisa mengatasi masalah ketimpangan ekonomi dan permasalahan sosial di saat sumber daya bumi semakin menipis. "Pariwisata berkelanjutan bisa membantu masyarakat mengatasi masalah keseimbangan ekologi dan biologi," jelas Baglikaya. Sementara itu, Sukhrob Khojimatov, deputi perwakilan UNDP Turki, mengatakan generasi ekonomi, dan masyarakat akan bergerak kedepan dengan melalui jalur keberlanjutan.

""Turki menjadi pionir dan pemimpin dalam pembangunan pariwistaa di Eropa dan Asia Tengah dengan pengembangan berbagai proyek pariwisata berkelanjutan," kata Khojimatov. Dia mengungkapkan, bukan hanya pariwisata laut saja, tetapi pariwisata etnik, pariwisata eko, pariwisata medis, dan pariwisata medis.

Istanbul selalu melekatkan diri sebagai kota yang terbentang di antara dua benua, Asia dan Eropa. Bukan hanya itu, kota itu sebenarnya merupakan kota kuno. Konstruksi kota tersebut dibangun dari zaman kekaisaran Bizantium hingga Konstantinopel dan berlanjut hingga Turki modern.

Di kota bersejarah tersebut, Hagia Sophia menjadi ikonnya. Kemudian, kota lain menjadi daya tarik wisatawan dari berbagai dunia adalah Kyoto. Jika Tokyo merepresentasikan Jepang sebagai kota masa depan dan teknologi, Kyoto justru sebaliknya. Kyoto dikenal dengan taman Zen dan tradisional Jepang serta upacara minum teh yang sangat melegenda.

Namun, Nintendo juga berbasis di Kyoto. Kyoto merupakan ibu kota kekaisaran Jepang lebih dari 1.000 tahun. Lebih dari 1.000 kuil Buddha dan Shinto masih berdiri dan bersanding dengan kehidupan modern. Pariwisata massal sangat jelas menjadi masalah bagi kota tua seperti Kyoto. Menurut pakar konservasi kota tua, Alex Kerr, perilaku destruktif wisatawan menjadi dampak dari pariwisata massal.

"Yang menjadi masalah adalah perilaku buruk dan perilaku kerumunan,"kata Kerr. Dia menyarankan Jepang perlu mengadopsi pendekatan radikal, seperti pembatasan jam kunjungan bagi wisata di destinasi tertentu.

Pada 2017 lalu, hampir 54 juta wisatawan baik domestik dan asing memadati Kyoto yang hanya berpenduduk 1,5 juta. Banyak orang berkunjung ke sana karena situs warisan dunia seperti Kuil Kiyomizu dan Fushimi Inari yang terkenal karena Instagram. Tak ayal, banyak wisatawan pun berebut untuk datang ke tempat tersebut.

Namun, banyak wisatawan yang berlibur ke Jepang justru menimbulkan masalah. Banyak kasus munculnya grafiti yang ditulis para wisatawan. Selain itu, kemacetan juga menjadi dampak karena menumpuknya wisatawan di Kyoto.

"Berbagai masalah itu menjadi tantangan bagi Jepang,"kata Graham Miller, profesor bisnis di Universitas Surrey, Inggris, dilansir Japan Times. "Jepang memang meningkatkan kontrol sosial yang ketat terhadap penduduknya, tapi tidak bisa mengontrol para wisatawan yang berkunjung. Pasalnya, dikhawatirkan akan muncul ketegangan," jelasnya.

Pariwisata massal juga berdampak serius terhadap penduduk kota. Mereka tidak lagi menikmati kotanya lagi. "Saya percaya kalau Kyoto memang sudah mengalami pariwisata massal,"kata Yoshiyuki Ishizaki, profesor dan pakar pariwisata di Universitas Ritsumeiken. "Kyoto memang kota yang cukup luas dibandingkan kota wisata di Eropa. Namun, Kyoto harus tetap mengelola fungsi urban," sarannya.

Ramainya kunjungan wisatawan ke Kyoto juga mulai dikeluhkan banyak wisatawan. Seperti dialami Maighread Kelly dari Irlandia yang berkunjung ke Fushimi Inari bersama pasangannya. Awalnya, dia hendak ikut mendaki bukit, tetapi dia membatalkan.

"Kita menyadari kalau rute perjalanan ke bukit tersebut terlalu padat karena banyak wisatawan," kata Kelly. Dia pun memilih lokasi lainnya yang relatif tenang. Dia pun mengaku terganggu dengan banyak wisatawan yang sering mengambil foto terlalu lama dan membuat gaduh suasana.

Selain itu, dibangun pada abad 9, Angkor Wat merupakan kota yang didesain dengan banyak menara dan bangunan. Relief bangunan menunjukkan identitas Hindu. Sebagian bangunan di sana kerap disucikan. Kini, Angkor Wat menjadi destinasi wisata yang banyak dikunjungi wisatawan.

Kemudian, berkunjung ke kota Roma akan selalu identik dengan kerumunan, suvernir yang menarik, dan para pria menggunakan baju seperti gladiator. Tujuan utama berkunjung ke Roma adalah Koloseum yang sudah berusia 2.000 tahun di tengah. Dulu, kolosium bisa dipenuhi oleh 50.000 orang untuk menonton kontes pertempuran berdarah antar gladiator.

Tak kalah menarik adalah Bagan di Myanmar. Lama tersembunyi dari pandangan dunia internasional karena ditutupi pemerintahan militer Myanmar, Bagan kembali menarik perhatian publik setelah reformasi politik yang membuka negara tersebut. Lebih dari 2.000 kuil Buddha terbentang di sepanjang Sungai Irrawaddy. Warga Myanmar juga menemukan itu setelah perang sipil selama beberapa dekade dan isolasi internasional.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5930 seconds (0.1#10.140)