Chea, Kepala Ideologis dan 'Kakak Kedua' Khmer Merah Kamboja Meninggal
A
A
A
PHNOM PENH - Nuon Chea, kepala ideologis dan "Kakak Kedua" Khmer Merah Kamboja meninggal dunia pada usia 93 tahun. Pemerintahannya yang brutal pada 1970-an telah menyebabkan kematian sekitar 2 juta orang.
Pengadilan setempat mengonfirmasi bahwa wakil pemimpin rezim Khmer Merah itu meninggal pada hari Minggu waktu setempat.
Pengadilan yang didukung oleh PBB menyatakan bahwa Nuon Chea bersalah atas genosida dan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup pada tahun lalu. Hukuman dijatuhkan hampir empat dekade setelah rezim komunis-Maois yang mengawasi "Killing Fields" Kamboja digulingkan.
Chea termasuk di antara pentolan rezim Khmer Merah dengan pemimpinnya Pol Pot yang dijuluki "Kakak Pertama" Khmer Merah. Para pentolan rezim itu sebagian besar berpendidikan Prancis.
Mereka adalah para pentolan rezim komunis yang bangkit untuk memimpin revolusi berdarah melawan pemerintah yang didukung Amerika Serikat (AS) setelah negara mereka dilanda Perang Vietnam.
Ideologi ekstremis rezim yang berkuasa tahun 1975-1979 itu berupaya mengembalikan Kamboja ke "tahun nol" dalam usahanya mencari utopia petani.
Sekitar 1,7 juta hingga 2,2 juta orang atau hampir seperempat dari populasi negara Asia Tenggara itu meninggal selama empat tahun pemerintahan Pol Pot. Mereka menderita kelaparan, penyiksaan, kelelahan atau penyakit di kamp-kamp kerja paksa, atau dipukul sampai meninggal selama eksekusi massal.
"Kami dapat mengonfirmasi bahwa terdakwa Nuon Chea, 93, meninggal malam ini pada 4 Agustus 2019 di rumah sakit Khmer Soviet Friendship," kata Neth Pheaktra, juru bicara Extraordinary Chambers Pengadilan Kamboja (ECCC), seperti dikutip Reuters, Senin (5/8/2019).
"Keluarga Nuon Chea telah diberi tahu," katanya lagi.
Di antara para pemimpin Khmer Merah, hanya mantan Presiden Khieu Samphan dan Kaing Guek Eav— yang juga dikenal sebagai Kamerad Duch—yang saat ini menjalani hukuman seumur hidup setelah dihukum karena genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Khieu Samphan dan Nuon Chea dinyatakan bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan dalam fase pertama pengadilan PBB yang kompleks dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada tahun 2014. Sebuah pengadilan terpisah tahun lalu menemukan Chea bersalah atas genosida.
Pol Pot sendiri telah meninggal pada tahun 1998 pada usia 73 tahun.
Dalam pidato pembukaan pada pengadilan 2011, Chea membantah tuduhan genosida terhadapnya. "Posisi saya dalam revolusi adalah untuk melayani kepentingan bangsa dan rakyat," katanya.
"Penindasan, ketidakadilan memaksa saya untuk mengabdikan diri untuk berjuang demi negara saya. Saya harus meninggalkan keluarga saya untuk membebaskan tanah saya dari kolonialisme dan agresi, dan penindasan oleh pencuri yang ingin mencuri tanah kami dan menghapus Kamboja dari muka bumi," kata Chea di pengadilan.
Tidak seperti orang lain di lingkaran dalam Pol Pot, Nuon Chea tidak belajar di Paris, dan malah belajar hukum di Universitas Thammasat yang bergengsi di Bangkok, tempat ia menjadi anggota Partai Komunis Thailand.
Ia diangkat sebagai Wakil Sekretaris Partai Komunis Kampuchea—nama yang digunakan Khmer Merah untuk Kamboja—pada tahun 1960. Posisi itu membuatnya bertanggung jawab atas keamanan partai dan negara serta pusat interogasi dan penyiksaan S-21 yang terkenal di ibu kota setempat, Phnom Penh.
Mereka yang melakukan pemukulan brutal di S-21 adalah sosok-sosok yang diperintahkan untuk "menghancurkan pengkhianat" dan kontra-revolusioner.
Pada 5 Januari 1979, dua hari sebelum pasukan Vietnam menyerbu Phnom Penh, Nuon Chea memerintahkan kepala S-21 Duch untuk membunuh semua tahanan yang tersisa.
Juru bicara pengadilan Pheaktra tidak mengatakan bagaimana Chea meninggal. Namun, dia mengatakan bahwa Chea telah dirawat di rumah sakit sejak awal Juli.
Youk Chhang, direktur Pusat Dokumentasi Kamboja, sebuah organisasi yang memberikan ribuan dokumen sebagai bukti ke pengadilan yang didukung oleh PBB yang menuntut Khmer Merah, mengatakan Nuon Chea telah melewati hukuman seumur hidupnya dengan sekarat.
"Dia dilahirkan seperti kita semua, tetapi didorong oleh kekuasaan dan prasangka terhadap bangsanya sendiri," kata Youk.
"Dia bisa melarikan diri dari pengadilan, tetapi dia tidak bisa lepas dari hukuman Tuhan."
Pengadilan setempat mengonfirmasi bahwa wakil pemimpin rezim Khmer Merah itu meninggal pada hari Minggu waktu setempat.
Pengadilan yang didukung oleh PBB menyatakan bahwa Nuon Chea bersalah atas genosida dan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup pada tahun lalu. Hukuman dijatuhkan hampir empat dekade setelah rezim komunis-Maois yang mengawasi "Killing Fields" Kamboja digulingkan.
Chea termasuk di antara pentolan rezim Khmer Merah dengan pemimpinnya Pol Pot yang dijuluki "Kakak Pertama" Khmer Merah. Para pentolan rezim itu sebagian besar berpendidikan Prancis.
Mereka adalah para pentolan rezim komunis yang bangkit untuk memimpin revolusi berdarah melawan pemerintah yang didukung Amerika Serikat (AS) setelah negara mereka dilanda Perang Vietnam.
Ideologi ekstremis rezim yang berkuasa tahun 1975-1979 itu berupaya mengembalikan Kamboja ke "tahun nol" dalam usahanya mencari utopia petani.
Sekitar 1,7 juta hingga 2,2 juta orang atau hampir seperempat dari populasi negara Asia Tenggara itu meninggal selama empat tahun pemerintahan Pol Pot. Mereka menderita kelaparan, penyiksaan, kelelahan atau penyakit di kamp-kamp kerja paksa, atau dipukul sampai meninggal selama eksekusi massal.
"Kami dapat mengonfirmasi bahwa terdakwa Nuon Chea, 93, meninggal malam ini pada 4 Agustus 2019 di rumah sakit Khmer Soviet Friendship," kata Neth Pheaktra, juru bicara Extraordinary Chambers Pengadilan Kamboja (ECCC), seperti dikutip Reuters, Senin (5/8/2019).
"Keluarga Nuon Chea telah diberi tahu," katanya lagi.
Di antara para pemimpin Khmer Merah, hanya mantan Presiden Khieu Samphan dan Kaing Guek Eav— yang juga dikenal sebagai Kamerad Duch—yang saat ini menjalani hukuman seumur hidup setelah dihukum karena genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Khieu Samphan dan Nuon Chea dinyatakan bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan dalam fase pertama pengadilan PBB yang kompleks dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada tahun 2014. Sebuah pengadilan terpisah tahun lalu menemukan Chea bersalah atas genosida.
Pol Pot sendiri telah meninggal pada tahun 1998 pada usia 73 tahun.
Dalam pidato pembukaan pada pengadilan 2011, Chea membantah tuduhan genosida terhadapnya. "Posisi saya dalam revolusi adalah untuk melayani kepentingan bangsa dan rakyat," katanya.
"Penindasan, ketidakadilan memaksa saya untuk mengabdikan diri untuk berjuang demi negara saya. Saya harus meninggalkan keluarga saya untuk membebaskan tanah saya dari kolonialisme dan agresi, dan penindasan oleh pencuri yang ingin mencuri tanah kami dan menghapus Kamboja dari muka bumi," kata Chea di pengadilan.
Tidak seperti orang lain di lingkaran dalam Pol Pot, Nuon Chea tidak belajar di Paris, dan malah belajar hukum di Universitas Thammasat yang bergengsi di Bangkok, tempat ia menjadi anggota Partai Komunis Thailand.
Ia diangkat sebagai Wakil Sekretaris Partai Komunis Kampuchea—nama yang digunakan Khmer Merah untuk Kamboja—pada tahun 1960. Posisi itu membuatnya bertanggung jawab atas keamanan partai dan negara serta pusat interogasi dan penyiksaan S-21 yang terkenal di ibu kota setempat, Phnom Penh.
Mereka yang melakukan pemukulan brutal di S-21 adalah sosok-sosok yang diperintahkan untuk "menghancurkan pengkhianat" dan kontra-revolusioner.
Pada 5 Januari 1979, dua hari sebelum pasukan Vietnam menyerbu Phnom Penh, Nuon Chea memerintahkan kepala S-21 Duch untuk membunuh semua tahanan yang tersisa.
Juru bicara pengadilan Pheaktra tidak mengatakan bagaimana Chea meninggal. Namun, dia mengatakan bahwa Chea telah dirawat di rumah sakit sejak awal Juli.
Youk Chhang, direktur Pusat Dokumentasi Kamboja, sebuah organisasi yang memberikan ribuan dokumen sebagai bukti ke pengadilan yang didukung oleh PBB yang menuntut Khmer Merah, mengatakan Nuon Chea telah melewati hukuman seumur hidupnya dengan sekarat.
"Dia dilahirkan seperti kita semua, tetapi didorong oleh kekuasaan dan prasangka terhadap bangsanya sendiri," kata Youk.
"Dia bisa melarikan diri dari pengadilan, tetapi dia tidak bisa lepas dari hukuman Tuhan."
(mas)