Eks Imam Masjidil Haram: Di Era Nabi, Pria-Wanita Tak Dipisah saat Salat
A
A
A
MAKKAH - Mantan imam Masjidil Haram di Arab Saudi, Adel al-Kalbani mengecam pemisahan jender atau pemisahan antara laki-laki dan perempuan dalam praktik berdoa di masjid, termasuk salat. Menurutnya, pemisahan jender kini telah menjadi fobia atau ketakutan terhadap perempuan.
Kecaman itu disampaikan saat berbicara di Saudi Broadcasting Corp (SBC) minggu ini.
Ulama ini telah berulang kali menentang kepercayaan mainstream (arus utama), termasuk menolak untuk menganggap Muslim Syiah sebagai pelaku bid'ah.
Al-Kalbani berpendapat bahwa interpretasi modern tentang pemisahan jender lebih konservatif daripada yang ada di zaman Nabi Muhammad.
Menurutnya, pada masa awal Islam, pria dan wanita biasa berdoa atau salat di ruang yang sama, sedangkan di masjid modern wanita memiliki ruang terpisah untuk salat.
“Sayangnya hari ini, kami paranoid—di masjid—(sebagai) tempat ibadah. Mereka sepenuhnya terpisah dari laki-laki, mereka tidak dapat melihatnya dan hanya dapat mendengarnya melalui mikrofon atau speaker," katanya.
"Dan jika suara itu terputus, mereka tidak akan tahu apa yang sedang terjadi (selama doa). Di zaman Nabi (Muhammad), para lelaki biasanya salat di depan dan para wanita salat di belakang tanpa sekat, bahkan tanpa tirai," ujarnya, seperti dikutip dari Arab News, Kamis (30/5/2019).
Dia, bagaimanapun, mencatat perubahan positif dalam masyarakat Saudi, yang telah menjadi lebih inklusif terhadap wanita, termasuk keputusan Kerajaan yang mencabut larangan wanita untuk mengemudikan kendaraan.
“Ini semacam fobia wanita. Sampai baru-baru ini, kami takut memberinya mobil, membiarkannya pergi. Kami mulai terus-menerus mendengar bahwa seorang wanita menjadi wakil menteri, duta besar dan posisi berpangkat tinggi lainnya," ujarnya.
Perubahan drastis dibawa ke dalam kehidupan perempuan Saudi ketika Putra Mahkota Mohammad bin Salman mengumumkan serangkaian reformasi terkait bidang sosial-ekonomi dan budaya sebagai bagian dari proyek Visi 2030-nya.
Setelah membuka dunia hiburan bagi wanita, kerajaan itu telah menjadi tuan rumah seluruh rangkaian konser—khusus wanita dan campuran—, festival budaya pop, dan perayaan hari nasional tanpa pemisahan jender.
Kecaman itu disampaikan saat berbicara di Saudi Broadcasting Corp (SBC) minggu ini.
Ulama ini telah berulang kali menentang kepercayaan mainstream (arus utama), termasuk menolak untuk menganggap Muslim Syiah sebagai pelaku bid'ah.
Al-Kalbani berpendapat bahwa interpretasi modern tentang pemisahan jender lebih konservatif daripada yang ada di zaman Nabi Muhammad.
Menurutnya, pada masa awal Islam, pria dan wanita biasa berdoa atau salat di ruang yang sama, sedangkan di masjid modern wanita memiliki ruang terpisah untuk salat.
“Sayangnya hari ini, kami paranoid—di masjid—(sebagai) tempat ibadah. Mereka sepenuhnya terpisah dari laki-laki, mereka tidak dapat melihatnya dan hanya dapat mendengarnya melalui mikrofon atau speaker," katanya.
"Dan jika suara itu terputus, mereka tidak akan tahu apa yang sedang terjadi (selama doa). Di zaman Nabi (Muhammad), para lelaki biasanya salat di depan dan para wanita salat di belakang tanpa sekat, bahkan tanpa tirai," ujarnya, seperti dikutip dari Arab News, Kamis (30/5/2019).
Dia, bagaimanapun, mencatat perubahan positif dalam masyarakat Saudi, yang telah menjadi lebih inklusif terhadap wanita, termasuk keputusan Kerajaan yang mencabut larangan wanita untuk mengemudikan kendaraan.
“Ini semacam fobia wanita. Sampai baru-baru ini, kami takut memberinya mobil, membiarkannya pergi. Kami mulai terus-menerus mendengar bahwa seorang wanita menjadi wakil menteri, duta besar dan posisi berpangkat tinggi lainnya," ujarnya.
Perubahan drastis dibawa ke dalam kehidupan perempuan Saudi ketika Putra Mahkota Mohammad bin Salman mengumumkan serangkaian reformasi terkait bidang sosial-ekonomi dan budaya sebagai bagian dari proyek Visi 2030-nya.
Setelah membuka dunia hiburan bagi wanita, kerajaan itu telah menjadi tuan rumah seluruh rangkaian konser—khusus wanita dan campuran—, festival budaya pop, dan perayaan hari nasional tanpa pemisahan jender.
(mas)