Robertus yang Dituduh Menghina TNI Melarikan Diri ke Australia
A
A
A
MELBOURNE - Robertus Robet, dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang sempat ditahan polisi atas tuduhan menghina Tentara Nasional Indonesia (TNI) melarikan diri ke Australia bersama keluarganya.
Robertus, yang juga anggota dewan Amnesty International Indonesia tersebut, terbang ke Melbourne sehari setelah dia ditahan sebentar oleh polisi pada awal Maret.
"Sebenarnya, saya ingin kembali sesegera mungkin," katanya kepada ABC, yang dilansir Rabu (15/5/2019). "Tapi saya sedang menunggu hasil akhir dari pemilihan presiden ini."
Robertus, yang secara teratur berkolaborasi dengan para peneliti University of Melbourne, mengatakan dia datang ke Australia karena mengkhawatirkan keselamatan keluarganya setelah mendapat ancaman secara online.
"Siapa pun yang memenangkan pemilihan (presiden), demokrasi sudah mengalami kemunduran," katanya.
Robertus diduga memelesetkan mars Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—kini bernama TNI— saat aksi Kamisan di depan Istana. Robertus sempat ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan menghina penguasa atau badan umum RI.
Robertus dianggap melanggar hukum pidana dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang masing-masing hukumannya adalah 18 bulan dan enam tahun penjara.
Kelompok hak asasi manusia (HAM) Indonesia secara luas mengecam penangkapan Robertus kala itu.
"Ini jelas merupakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi, jelas menciptakan iklim ketakutan dalam demokrasi kita," kata Maidina Rahmawati, seorang peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform yang bermarkas di Jakarta, kepada ABC.
"Dua tuduhan ini tidak dapat dibuktikan dalam kasus (Robertus) Robet," lanjut dia.
Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut kasus itu sebagai upaya terang-terangan dan menggelikan untuk mengintimidasi dan membungkam kritik damai.
"Dia adalah seorang akademisi yang tidak lebih dari menyuarakan pandangannya atas rencana untuk menempatkan perwira senior militer di posisi kekuasaan dalam pemerintah," katanya dalam sebuah pernyataan.
Sementara itu, kelompok advokasi yang berpusat di Amerika Serikat (AS), Scholars at Risk, juga mengaku prihatin bahwa penangkapan Robertus saat itu. "Itu sebagai pembalasan atas aksi damai hak kebebasan berekspresi," kata kelompok tersebut.
Presiden Indonesia Joko Widodo kerap dituduh kubu oposisi telah memobilisasi lembaga penegak hukum untuk menekan kritik.
"Banyak orang di kedua pihak dari (kontestan) pemilihan presiden telah dilaporkan ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik, kebencian, hasutan," kata Thomas Power, seorang peneliti politik Indonesia dari Australian National University (ANU).
"Namun, kasus-kasus terhadap tokoh oposisi telah lebih giat diupayakan oleh lembaga penegak hukum," kritik Thomas.
Robertus khawatir Indonesia akan menjadi seperti Thailand dan Filipina di mana para aktivis HAM dianiaya oleh rezim. Namun, dia tetap optimistis dengan akhir dari kasusnya yang menyatakan bahwa masih ada kebebasan sipil dan Indonesia masih demokratis.
Robertus, yang juga anggota dewan Amnesty International Indonesia tersebut, terbang ke Melbourne sehari setelah dia ditahan sebentar oleh polisi pada awal Maret.
"Sebenarnya, saya ingin kembali sesegera mungkin," katanya kepada ABC, yang dilansir Rabu (15/5/2019). "Tapi saya sedang menunggu hasil akhir dari pemilihan presiden ini."
Robertus, yang secara teratur berkolaborasi dengan para peneliti University of Melbourne, mengatakan dia datang ke Australia karena mengkhawatirkan keselamatan keluarganya setelah mendapat ancaman secara online.
"Siapa pun yang memenangkan pemilihan (presiden), demokrasi sudah mengalami kemunduran," katanya.
Robertus diduga memelesetkan mars Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—kini bernama TNI— saat aksi Kamisan di depan Istana. Robertus sempat ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan menghina penguasa atau badan umum RI.
Robertus dianggap melanggar hukum pidana dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang masing-masing hukumannya adalah 18 bulan dan enam tahun penjara.
Kelompok hak asasi manusia (HAM) Indonesia secara luas mengecam penangkapan Robertus kala itu.
"Ini jelas merupakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi, jelas menciptakan iklim ketakutan dalam demokrasi kita," kata Maidina Rahmawati, seorang peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform yang bermarkas di Jakarta, kepada ABC.
"Dua tuduhan ini tidak dapat dibuktikan dalam kasus (Robertus) Robet," lanjut dia.
Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut kasus itu sebagai upaya terang-terangan dan menggelikan untuk mengintimidasi dan membungkam kritik damai.
"Dia adalah seorang akademisi yang tidak lebih dari menyuarakan pandangannya atas rencana untuk menempatkan perwira senior militer di posisi kekuasaan dalam pemerintah," katanya dalam sebuah pernyataan.
Sementara itu, kelompok advokasi yang berpusat di Amerika Serikat (AS), Scholars at Risk, juga mengaku prihatin bahwa penangkapan Robertus saat itu. "Itu sebagai pembalasan atas aksi damai hak kebebasan berekspresi," kata kelompok tersebut.
Presiden Indonesia Joko Widodo kerap dituduh kubu oposisi telah memobilisasi lembaga penegak hukum untuk menekan kritik.
"Banyak orang di kedua pihak dari (kontestan) pemilihan presiden telah dilaporkan ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik, kebencian, hasutan," kata Thomas Power, seorang peneliti politik Indonesia dari Australian National University (ANU).
"Namun, kasus-kasus terhadap tokoh oposisi telah lebih giat diupayakan oleh lembaga penegak hukum," kritik Thomas.
Robertus khawatir Indonesia akan menjadi seperti Thailand dan Filipina di mana para aktivis HAM dianiaya oleh rezim. Namun, dia tetap optimistis dengan akhir dari kasusnya yang menyatakan bahwa masih ada kebebasan sipil dan Indonesia masih demokratis.
(mas)