Berlakukan Hukum Rajam, Brunei Bantah Lakukan Diskriminasi
A
A
A
BANDAR SERI BEGAWAN - Brunei Darussalam menyatakan tidak melakukan diskriminasi orientasi seksual meskipun menerapkan hukum pidana syariah baru yang mencakup merajam hingga mati pelaku seks sesama jenis dan perzinahan.
Sultan Brunei Hasanal Bolkiah minggu ini mengumumkan menunda penerapan hukuman mati termasuk rajam bagi pezina dan pelaku seks lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Meski begitu, negara itu tetap mempertahankan ulasan langka pada catatannya di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Baca Juga: Brunei Tunda Penerapan Rajam Mati bagi Pelaku Seks LGBT
Kesultanan kecil di pulau Kalimantan itu telah menghadapi reaksi global atas keputusannya bulan lalu untuk menambahkan hukum syariah ke dalam kitab undang-undang hukum pidananya.
"Perintah hukum pidana Syariah tidak mengkriminalkan status seseorang berdasarkan orientasi atau kepercayaan seksual," kata Wakil Menteri Luar Negeri Brunei Darussalam Dato Erywan Mohn Yusof seperti dikutip dari AFP, Sabtu (11/5/2019).
Yusof berbicara di Universal Periodic Review (UPR) Brunei, di mana kinerja hak asasi manusia suatu negara menghadapi pengawasan setiap lima tahun.
Ia mengatakan bahwa orang-orang di Brunei, terlepas dari orientasi seksual mereka, terus hidup dan mengejar kegiatan mereka di ruang pribadinya.
"Mereka tidak didiskriminasi dengan cara apa pun," tegasnya.
Kode syariah, yang juga menghukum pencurian dengan amputasi tangan dan kaki, mulai berlaku pada bulan April, menjadikan Brunei satu-satunya negara di Asia Timur atau Tenggara yang memiliki hukum syariah di tingkat nasional.
Sejumlah diplomat meminta Brunei untuk melaksanakan reformasi besar-besaran.
Kanada memperingatkan negara itu bergerak ke arah perlakuan yang semakin tidak manusiawi baik terhadap warga negara maupun non-warga negara dan mendesak dekriminalisasi aktivitas seksual antara orang dewasa yang sama jenis kelaminnya, sebuah seruan yang juga digemakan oleh beberapa negara Eropa dan Amerika Latin.
Luksemburg mengatakan pihaknya menginginkan jaminan konkret bahwa janji sultan mengenai moratorium hukuman mati akan ditegakkan.
Amerika Serikat menyuarakan keprihatinan bahwa penerapan penuh syariah akan melanggar kewajiban dan komitmen hak asasi manusia internasional Brunei.
Menanggapi hujan kritik itu, Yusof mengatakan bahwa sementara Brunei tidak mengkriminalisasi individu atas pilihan pribadi, ia tetap melarang tindakan seks gay untuk melindungi agama, tradisi dan tatanan sosial dan nilai-nilai negara.
Sultan - salah satu orang terkaya di dunia, yang telah naik takhta selama lebih dari lima dekade - mengumumkan rencana untuk hukum pidana syariah pada 2013.
Sementara kaum gay Brunei menyuarakan kelegaan bahwa hukuman mati untuk hubungan seks homoseksual tidak akan ditegakkan, mereka mengatakan undang-undang itu masih mendorong diskriminasi terhadap kelompok LGBT di bekas protektorat Inggris sekitar 400 ribu orang.
Sultan Brunei Hasanal Bolkiah minggu ini mengumumkan menunda penerapan hukuman mati termasuk rajam bagi pezina dan pelaku seks lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Meski begitu, negara itu tetap mempertahankan ulasan langka pada catatannya di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Baca Juga: Brunei Tunda Penerapan Rajam Mati bagi Pelaku Seks LGBT
Kesultanan kecil di pulau Kalimantan itu telah menghadapi reaksi global atas keputusannya bulan lalu untuk menambahkan hukum syariah ke dalam kitab undang-undang hukum pidananya.
"Perintah hukum pidana Syariah tidak mengkriminalkan status seseorang berdasarkan orientasi atau kepercayaan seksual," kata Wakil Menteri Luar Negeri Brunei Darussalam Dato Erywan Mohn Yusof seperti dikutip dari AFP, Sabtu (11/5/2019).
Yusof berbicara di Universal Periodic Review (UPR) Brunei, di mana kinerja hak asasi manusia suatu negara menghadapi pengawasan setiap lima tahun.
Ia mengatakan bahwa orang-orang di Brunei, terlepas dari orientasi seksual mereka, terus hidup dan mengejar kegiatan mereka di ruang pribadinya.
"Mereka tidak didiskriminasi dengan cara apa pun," tegasnya.
Kode syariah, yang juga menghukum pencurian dengan amputasi tangan dan kaki, mulai berlaku pada bulan April, menjadikan Brunei satu-satunya negara di Asia Timur atau Tenggara yang memiliki hukum syariah di tingkat nasional.
Sejumlah diplomat meminta Brunei untuk melaksanakan reformasi besar-besaran.
Kanada memperingatkan negara itu bergerak ke arah perlakuan yang semakin tidak manusiawi baik terhadap warga negara maupun non-warga negara dan mendesak dekriminalisasi aktivitas seksual antara orang dewasa yang sama jenis kelaminnya, sebuah seruan yang juga digemakan oleh beberapa negara Eropa dan Amerika Latin.
Luksemburg mengatakan pihaknya menginginkan jaminan konkret bahwa janji sultan mengenai moratorium hukuman mati akan ditegakkan.
Amerika Serikat menyuarakan keprihatinan bahwa penerapan penuh syariah akan melanggar kewajiban dan komitmen hak asasi manusia internasional Brunei.
Menanggapi hujan kritik itu, Yusof mengatakan bahwa sementara Brunei tidak mengkriminalisasi individu atas pilihan pribadi, ia tetap melarang tindakan seks gay untuk melindungi agama, tradisi dan tatanan sosial dan nilai-nilai negara.
Sultan - salah satu orang terkaya di dunia, yang telah naik takhta selama lebih dari lima dekade - mengumumkan rencana untuk hukum pidana syariah pada 2013.
Sementara kaum gay Brunei menyuarakan kelegaan bahwa hukuman mati untuk hubungan seks homoseksual tidak akan ditegakkan, mereka mengatakan undang-undang itu masih mendorong diskriminasi terhadap kelompok LGBT di bekas protektorat Inggris sekitar 400 ribu orang.
(ian)