Kaisar Jepang Akihito-Michiko Rayakan 60 Tahun Pernikahan
A
A
A
TOKYO - Kaisar Jepang Akihito dan Permaisuri Michiko merayakan peringatan berlian atau 60 tahun pernikahan yang membantu memodernisasi kekaisaran. Perayaan itu hanya tiga pekan sebelum Akihito akan menjalani masa istirahat karena faktor usia dan kesehatan. Akihito, 85, yang akan turun takhta pada 30 April mendatang dan akan digantikan putra tertuanya, Putra Mahkota Naruhito.
Pada 1 Mei mendatang, Jepang sudah memiliki kaisar baru, yakni Kaisar Naruhito yang akan membawa era baru Jepang disebut dengan Reiwa. “Selama 60 tahun bersinar dengan dukungan yang saling menguntungkan,” demikian tulis harian bisnis Nikkei yang menampilkan foto Akihito dan Michiko, 84.
Kisah cinta Akihito dan Michiko memang seperti cerita dongeng. Romantisme mereka dimulai di lapangan tenis. Itu pun menjadi “pertandingan cinta”. Baik Akihito dan Michiko merayakan ulang tahun pernikahan dengan sederhana. Mereka hanya mengundang keluarga kerajaan dan pejabat pemerintahan untuk makan malam di istana kekaisaran.
Tidak ada pesta mengundang musisi ternama atau pesta glamor penuh dengan kemewahan. Publik Jepang pun memberikan perhatian penuh terhadap kisah cinta mereka. Kenapa? Michiko merupakan orang biasa yang pertama menikah dengan calon kaisar Jepang saat itu. “Untuk memecah tradisi di Jepang memang sangatlah sulit,” kata Kazuo Oda yang ikut menghadiri pertemuan Akihito dan Michiko pada pertandingan tenis, dua tahun sebelum menikah.
Akihoto dan Michiko Shoda menikah pada 10 April 1959 dan menjadi calon Kaisar Jepang pertama yang menikah dengan orang biasa. Itu disebabkan karena Michiko yang datang dari keluarga pengusaha kaya dengan kehidupan modern ternyata harus menikah dengan Akihito yang terikat dengan banyak aturan.
Akihito dan Michiko melepaskan tradisi keluarga kaisar dengan membesarkan tiga anaknya dan menjauhkan diri dari sorotan publik. Michiko mendidik dan mengajar dua putra dan satunya sendiri. Bahkan, dia juga mempersiapkan bekal makan siang anak-anaknya sendiri. Padahal tradisi kekaisaran Jepang, anak-anak kaisar dibesarkan oleh perawat khusus dan pembantu kekaisaran.
Mereka berdua selalu bersama, baik di acara publik dan menggelar lawatan. Mereka tetap ramah berinteraksi dengan rakyatnya. Akihito mengenalkan gaya “Heisei” yang merupakan lawan dari gaya kharismatik. Akihito dan Michiko akan mengunjungi 47 prefektur sebanyak dua kali dan menggelar lawatan ke 36 negara.
Michiko sangat melengkapi kehidupan kekaisaran selama dipimpin Akihito. Mereka kerap berkunjung ke tempat penampungan orang tua. Mereka bertemu dengan korban bencana. Mereka juga tak malu berlutut untuk mendengar suara rakyatnya. Itu merupakan bahasa tubuh yang langka bagi kalangan konservatif di depan publik.
Pernikahan Akihito dan Michiko juga pernah diterpa isu tidak sedap. Michiko dikabarkan kerap sakit karena dia mendapatkan pertentangan dan perlawanan dari keluarga kerajaan, terutama ibu mertuanya. Michiko mengungkapkan hal itu menyebabkan “kesedihan dan ketakutan” yang dialaminya.
“Hidup sebagai putri mahkota dan calon permaisuri merupakan posisi yang tidak muda,” ujar Michiko berkisah tentang awal pernikahannya pada ulang tahunya ke-84 tahun pada Oktober lalu. Akihito selalu menunjukkan penghormatannya kepada Michiko. Pada ulang tahun ke-50, Akihito mengungkapkan, dirinya selalu mempertimbangkan latar belakang yang berbeda selama menjalani rumah tangga.
“Permaisuri menghadapi banyak waktu sulit. Itu adalah posisi alamiahnya,” ujar salah satu sumber yang mengetahui kehidupan keluarga kerajaan. “Banyak waktu telah dilalui, tapi saya berpikir kaisar kagum tentang apa yang dia seharusnya lakukan pada masa tersebut,” katanya.
Sebelumnya, pada awal April lalu, Kepang mendeklarasikan nama Reiwa untuk era kekaisaran baru saat Putra Mahkota Naruhito menjadi kaisar pada 1 Mei mendatang. Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe menyatakan peluncuran era baru ini menegaskan nilai-nilai tradisional pada titik balik sejarah bangsa Negeri Matahari Terbit tersebut.
Huruf pertama sering digunakan dengan arti “perintah”, tapi juga berarti “bagus” dan “indah”. Adapun kata huruf kedua berarti “damai” atau “harmoni”. Menurut PM Abe, nama itu menegaskan keindahan budaya tradisional Jepang dan masa depan yang diimpikan setiap orang, terutama para pemuda.
Pengumuman ini dilakukan sebulan lebih awal sehingga berbagai kantor pemerintahan dan perusahaan dapat memperbarui peranti lunak komputer serta membuat persiapan untuk menghindari kekacauan saat era baru dimulai. Meski penggunaan kalender Barat sudah umum dilakukan, banyak warga Jepang menghitung tahun dengan gengo atau menggunakan dua sistem kalender secara bersamaan.
Sinyal Akihito akan mundur telah diungkapkan pada Agustus 2016. Akihito memberikan sinyal akan turun takhta karena faktor kesehatan yang membuatnya sulit melaksanakan tugas kekaisaran. Pernyataan Akihito itu diungkapkan dalam video berdurasi 10 menit yang disiarkan stasiun televisi Jepang.
Dengan pidato tersebut, Pemerintah Jepang mulai menciptakan langkah hukum yang diperlukan untuk mendukung turun takhta Kaisar Akihito. Pasalnya, Undang-Undang (UU) Kerumahtanggaan Kekaisaran Jepang tidak mengatur abdikasi.
Sebelumnya, Kaisar Akihito yang telah berkuasa selama 30 tahun dikenal sebagai pemimpin yang menolak nasionalisme Perang Dunia II. Dia juga dikenal sebagai kaisar yang mendekatkan berbagai kemanusiaan dalam kekaisaran Jepang. Dengan sentuhannya, dia mampu memodernisasi kekaisaran Jepang dalam perjuangannya selama 82 tahun.
Akihito yang lahir pada 1933 saat Jepang mengembangkan sayap kekuasaan dengan pendekatan militeristik ke seluruh Asia. Saat berusia 11 tahun, dia mengalami peristiwa kekalahan negaranya dalam pertempuran. Akihito mengalami masa transisi kekuasaan dari sistem penjajahan yang dilaksanakan ayahnya, Kaisar Hirohito, berubah menjadi simbol nasional.
Akihito mampu memainkan peranan penting dalam memimpin monarki. “Dia (Akihito) membenci karisma dan tidak mencari identitas di bawah nasional yang tidak memiliki toleransi,” kata Masayasu Hosaka yang menulis buku tentang Akihito. “Saya tidak berpikir kita memiliki kaisar yang jujur dan manusiawi yang berjuang di saat sulit,” katanya.
Sebelum naik takhta, Akihito melanggar tradisi ketika dia menikahi putri konglomerat pada 1959. Permaisuri Michiko menjadi orang biasa yang menikah dengan keluarga kaisar. Pernikahan Akihito dan Michiko menjadi berita nasional penuh sensasi.
Meskipun dilarang berbicara tentang politik, Akihito kerap menyampaikan pemikiran tentang anti-nasionalisme. Saat pesta kebun kekaisaran 2004, dia mengungkapkan kalau dirinya tidak memaksa sekolah untuk mengibarkan bendera Jepang dan siswa menyanyikan lagu nasional.
Tahun lalu, Akihito pernah mengungkapkan pernyataan “penyesalan mendalam” atas tindakan Jepang pada Perang Dunia II. Itu diterjemahkan PM Shinzo Abeyang menekankan konstitusi perdamaian Jepang. Kemudian dia juga aktif menyembuhkan luka akibat perang dengan menggelar kunjungan ke wilayah bekas perang Pasifik di Okinawa, Jepang, serta Kepulauan Saipan dan Palau di Filipina.
Akihito pernah mengikuti lawatan penting pada 1992 ke China di mana jutaan orang meninggal akibat perang. Dia sangat berharap bisa berkunjung ke Korea Selatan (Korsel), tapi itu tak bisa diwujudkan karena ketegangan antara Seoul dan Tokyo tentang kolonialisme belum menemui titik temu.
Terus bagaimana legasi Akihito? Menurut Kenneth Ruoff, penulis buku “The People's Emperor”, Akihito dan istrinya memiliki legasi berupa komitmen perdamaian dan pendekatan kekuasaan dalam ranah kesejahteraan sosial. “Mereka kerap berkunjung ke wilayah yang termarjinal di Jepang. Mereka juga dekat dengan warga Jepang yang menderita disabilitas,” kata Ruoff.
Pada 1 Mei mendatang, Jepang sudah memiliki kaisar baru, yakni Kaisar Naruhito yang akan membawa era baru Jepang disebut dengan Reiwa. “Selama 60 tahun bersinar dengan dukungan yang saling menguntungkan,” demikian tulis harian bisnis Nikkei yang menampilkan foto Akihito dan Michiko, 84.
Kisah cinta Akihito dan Michiko memang seperti cerita dongeng. Romantisme mereka dimulai di lapangan tenis. Itu pun menjadi “pertandingan cinta”. Baik Akihito dan Michiko merayakan ulang tahun pernikahan dengan sederhana. Mereka hanya mengundang keluarga kerajaan dan pejabat pemerintahan untuk makan malam di istana kekaisaran.
Tidak ada pesta mengundang musisi ternama atau pesta glamor penuh dengan kemewahan. Publik Jepang pun memberikan perhatian penuh terhadap kisah cinta mereka. Kenapa? Michiko merupakan orang biasa yang pertama menikah dengan calon kaisar Jepang saat itu. “Untuk memecah tradisi di Jepang memang sangatlah sulit,” kata Kazuo Oda yang ikut menghadiri pertemuan Akihito dan Michiko pada pertandingan tenis, dua tahun sebelum menikah.
Akihoto dan Michiko Shoda menikah pada 10 April 1959 dan menjadi calon Kaisar Jepang pertama yang menikah dengan orang biasa. Itu disebabkan karena Michiko yang datang dari keluarga pengusaha kaya dengan kehidupan modern ternyata harus menikah dengan Akihito yang terikat dengan banyak aturan.
Akihito dan Michiko melepaskan tradisi keluarga kaisar dengan membesarkan tiga anaknya dan menjauhkan diri dari sorotan publik. Michiko mendidik dan mengajar dua putra dan satunya sendiri. Bahkan, dia juga mempersiapkan bekal makan siang anak-anaknya sendiri. Padahal tradisi kekaisaran Jepang, anak-anak kaisar dibesarkan oleh perawat khusus dan pembantu kekaisaran.
Mereka berdua selalu bersama, baik di acara publik dan menggelar lawatan. Mereka tetap ramah berinteraksi dengan rakyatnya. Akihito mengenalkan gaya “Heisei” yang merupakan lawan dari gaya kharismatik. Akihito dan Michiko akan mengunjungi 47 prefektur sebanyak dua kali dan menggelar lawatan ke 36 negara.
Michiko sangat melengkapi kehidupan kekaisaran selama dipimpin Akihito. Mereka kerap berkunjung ke tempat penampungan orang tua. Mereka bertemu dengan korban bencana. Mereka juga tak malu berlutut untuk mendengar suara rakyatnya. Itu merupakan bahasa tubuh yang langka bagi kalangan konservatif di depan publik.
Pernikahan Akihito dan Michiko juga pernah diterpa isu tidak sedap. Michiko dikabarkan kerap sakit karena dia mendapatkan pertentangan dan perlawanan dari keluarga kerajaan, terutama ibu mertuanya. Michiko mengungkapkan hal itu menyebabkan “kesedihan dan ketakutan” yang dialaminya.
“Hidup sebagai putri mahkota dan calon permaisuri merupakan posisi yang tidak muda,” ujar Michiko berkisah tentang awal pernikahannya pada ulang tahunya ke-84 tahun pada Oktober lalu. Akihito selalu menunjukkan penghormatannya kepada Michiko. Pada ulang tahun ke-50, Akihito mengungkapkan, dirinya selalu mempertimbangkan latar belakang yang berbeda selama menjalani rumah tangga.
“Permaisuri menghadapi banyak waktu sulit. Itu adalah posisi alamiahnya,” ujar salah satu sumber yang mengetahui kehidupan keluarga kerajaan. “Banyak waktu telah dilalui, tapi saya berpikir kaisar kagum tentang apa yang dia seharusnya lakukan pada masa tersebut,” katanya.
Sebelumnya, pada awal April lalu, Kepang mendeklarasikan nama Reiwa untuk era kekaisaran baru saat Putra Mahkota Naruhito menjadi kaisar pada 1 Mei mendatang. Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe menyatakan peluncuran era baru ini menegaskan nilai-nilai tradisional pada titik balik sejarah bangsa Negeri Matahari Terbit tersebut.
Huruf pertama sering digunakan dengan arti “perintah”, tapi juga berarti “bagus” dan “indah”. Adapun kata huruf kedua berarti “damai” atau “harmoni”. Menurut PM Abe, nama itu menegaskan keindahan budaya tradisional Jepang dan masa depan yang diimpikan setiap orang, terutama para pemuda.
Pengumuman ini dilakukan sebulan lebih awal sehingga berbagai kantor pemerintahan dan perusahaan dapat memperbarui peranti lunak komputer serta membuat persiapan untuk menghindari kekacauan saat era baru dimulai. Meski penggunaan kalender Barat sudah umum dilakukan, banyak warga Jepang menghitung tahun dengan gengo atau menggunakan dua sistem kalender secara bersamaan.
Sinyal Akihito akan mundur telah diungkapkan pada Agustus 2016. Akihito memberikan sinyal akan turun takhta karena faktor kesehatan yang membuatnya sulit melaksanakan tugas kekaisaran. Pernyataan Akihito itu diungkapkan dalam video berdurasi 10 menit yang disiarkan stasiun televisi Jepang.
Dengan pidato tersebut, Pemerintah Jepang mulai menciptakan langkah hukum yang diperlukan untuk mendukung turun takhta Kaisar Akihito. Pasalnya, Undang-Undang (UU) Kerumahtanggaan Kekaisaran Jepang tidak mengatur abdikasi.
Sebelumnya, Kaisar Akihito yang telah berkuasa selama 30 tahun dikenal sebagai pemimpin yang menolak nasionalisme Perang Dunia II. Dia juga dikenal sebagai kaisar yang mendekatkan berbagai kemanusiaan dalam kekaisaran Jepang. Dengan sentuhannya, dia mampu memodernisasi kekaisaran Jepang dalam perjuangannya selama 82 tahun.
Akihito yang lahir pada 1933 saat Jepang mengembangkan sayap kekuasaan dengan pendekatan militeristik ke seluruh Asia. Saat berusia 11 tahun, dia mengalami peristiwa kekalahan negaranya dalam pertempuran. Akihito mengalami masa transisi kekuasaan dari sistem penjajahan yang dilaksanakan ayahnya, Kaisar Hirohito, berubah menjadi simbol nasional.
Akihito mampu memainkan peranan penting dalam memimpin monarki. “Dia (Akihito) membenci karisma dan tidak mencari identitas di bawah nasional yang tidak memiliki toleransi,” kata Masayasu Hosaka yang menulis buku tentang Akihito. “Saya tidak berpikir kita memiliki kaisar yang jujur dan manusiawi yang berjuang di saat sulit,” katanya.
Sebelum naik takhta, Akihito melanggar tradisi ketika dia menikahi putri konglomerat pada 1959. Permaisuri Michiko menjadi orang biasa yang menikah dengan keluarga kaisar. Pernikahan Akihito dan Michiko menjadi berita nasional penuh sensasi.
Meskipun dilarang berbicara tentang politik, Akihito kerap menyampaikan pemikiran tentang anti-nasionalisme. Saat pesta kebun kekaisaran 2004, dia mengungkapkan kalau dirinya tidak memaksa sekolah untuk mengibarkan bendera Jepang dan siswa menyanyikan lagu nasional.
Tahun lalu, Akihito pernah mengungkapkan pernyataan “penyesalan mendalam” atas tindakan Jepang pada Perang Dunia II. Itu diterjemahkan PM Shinzo Abeyang menekankan konstitusi perdamaian Jepang. Kemudian dia juga aktif menyembuhkan luka akibat perang dengan menggelar kunjungan ke wilayah bekas perang Pasifik di Okinawa, Jepang, serta Kepulauan Saipan dan Palau di Filipina.
Akihito pernah mengikuti lawatan penting pada 1992 ke China di mana jutaan orang meninggal akibat perang. Dia sangat berharap bisa berkunjung ke Korea Selatan (Korsel), tapi itu tak bisa diwujudkan karena ketegangan antara Seoul dan Tokyo tentang kolonialisme belum menemui titik temu.
Terus bagaimana legasi Akihito? Menurut Kenneth Ruoff, penulis buku “The People's Emperor”, Akihito dan istrinya memiliki legasi berupa komitmen perdamaian dan pendekatan kekuasaan dalam ranah kesejahteraan sosial. “Mereka kerap berkunjung ke wilayah yang termarjinal di Jepang. Mereka juga dekat dengan warga Jepang yang menderita disabilitas,” kata Ruoff.
(don)