Tentara Venezuela 'Usir' Konvoi Bantuan Kemanusiaan
A
A
A
CARACAS - Pasukan Venezuela yang setia kepada Presiden Nicolas Maduro mengusir konvoi bantuan asing dari perbatasan negara itu dengan Kolombia dengan gas air mata dan peluru karet. Setidaknya dua pengunjuk rasa tewas dalam bentrokan tersebut.
Truk-truk yang sarat dengan makanan dan obat-obatan dari Amerika Serikat (AS) terpaksa kembali ke gudang-gudang di Kolombia setelah pendukung oposisi gagal menembus barikade pasukan, sehingga puluhan demonstran terluka. Saksi mata mengatakan pria bertopeng dengan pakaian sipil juga menembaki demonstran dengan peluru tajam.
Di titik perbatasan Urena, dua truk bantuan terbakar. Selain itu, sejumlah pasukan Venezuela juga menembakkan peluru karet ke pendukung oposisi, termasuk anggota parlemen, yang berjalan menuju perbatasan melambai-lambaikan bendera Venezuela dan meneriakkan "kemerdekaan."
Demonstran di Urena memblokade jalan dengan ban yang dibakar, membakar bus dan melemparkan batu ke pasukan keamanan. Mereka menuntut Maduro mengizinkan bantuan masuk ke negara yang dilanda kehancuran ekonomi itu.
Sementara rekaman televisi dari kota perbatasan lain, San Antonio, memperlihatkan belasan pria di sepeda motor dengan mengenakan balaclava hitam menembakkan senapan dan pistol ke arah kerumunan.
"Mereka mulai menembak dari jarak dekat seolah-olah kita adalah penjahat," kata penjaga toko Vladimir Gomez (27) yang mengenakan kemeja putih berlumuran darah seperti dilansir dari Reuters, Minggu (24/2/2019).
Setidaknya enam dari sekitar selusin truk yang mencoba mencapai Venezuela kemudian kembali ke Cucuta, di mana badan manajemen bencana Kolombia mengatakan mereka akan dibongkar dan bantuan disimpan sampai tokoh oposisi Venezuela Juan Guaido meminta dikirim kembali.
Menurut seorang saksi mata Reuters, dua truk bantuan melintasi perbatasan Brazil tetapi tidak bisa melewati pos pemeriksaan pabean Venezuela.
Di kota selatan Santa Elena de Uairen, setidaknya dua orang tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan, menurut seorang dokter di rumah sakit tempat mereka dirawat. Pada hari Jumat, sepasang suami istri di sebuah komunitas adat di dekatnya ditembak mati oleh pasukan keamanan.
Kelompok hak asasi manusia Forum Penal mengatakan pihaknya mencatat 29 orang luka-luka akibat luka tembak dan dua tewas di seluruh Venezuela dalam bentrokan dengan pasukan Venezuela pada hari Sabtu. Sedangkan pemerintah Kolombia melalui Menteri Luar Negeri Carlos Holmes Trujillo mencatat 285 orang terluka, termasuk mereka yang terkena gas air mata.
"Saya seorang ibu rumah tangga dan saya di sini berjuang untuk keluarga saya, untuk anak-anak dan orang tua saya, menentang gas air mata militer," kata pengunjuk rasa oposisi Sobeida Monsalve (42) di Urena.
Situasi politik di Venezuela semakin intensif setelah pemimpin oposisi Juan Guaido mendeklarasikan dirinya sebagai presiden sementara pada 23 Januari dan langsung diakui oleh Amerika Serikat (AS).
AS dan negara-negara lain di kawasan itu, berkoordinasi dengan oposisi Venezuela, telah menyatakan rencana mereka untuk mengirimkan bantuan ke Venezuela. Namun pemerintah Venezuela mengatakan akan memblokir pengiriman bantuan AS yang diyakini sebagai alasan untuk melancarkan serangan militer.
Truk-truk yang sarat dengan makanan dan obat-obatan dari Amerika Serikat (AS) terpaksa kembali ke gudang-gudang di Kolombia setelah pendukung oposisi gagal menembus barikade pasukan, sehingga puluhan demonstran terluka. Saksi mata mengatakan pria bertopeng dengan pakaian sipil juga menembaki demonstran dengan peluru tajam.
Di titik perbatasan Urena, dua truk bantuan terbakar. Selain itu, sejumlah pasukan Venezuela juga menembakkan peluru karet ke pendukung oposisi, termasuk anggota parlemen, yang berjalan menuju perbatasan melambai-lambaikan bendera Venezuela dan meneriakkan "kemerdekaan."
Demonstran di Urena memblokade jalan dengan ban yang dibakar, membakar bus dan melemparkan batu ke pasukan keamanan. Mereka menuntut Maduro mengizinkan bantuan masuk ke negara yang dilanda kehancuran ekonomi itu.
Sementara rekaman televisi dari kota perbatasan lain, San Antonio, memperlihatkan belasan pria di sepeda motor dengan mengenakan balaclava hitam menembakkan senapan dan pistol ke arah kerumunan.
"Mereka mulai menembak dari jarak dekat seolah-olah kita adalah penjahat," kata penjaga toko Vladimir Gomez (27) yang mengenakan kemeja putih berlumuran darah seperti dilansir dari Reuters, Minggu (24/2/2019).
Setidaknya enam dari sekitar selusin truk yang mencoba mencapai Venezuela kemudian kembali ke Cucuta, di mana badan manajemen bencana Kolombia mengatakan mereka akan dibongkar dan bantuan disimpan sampai tokoh oposisi Venezuela Juan Guaido meminta dikirim kembali.
Menurut seorang saksi mata Reuters, dua truk bantuan melintasi perbatasan Brazil tetapi tidak bisa melewati pos pemeriksaan pabean Venezuela.
Di kota selatan Santa Elena de Uairen, setidaknya dua orang tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan, menurut seorang dokter di rumah sakit tempat mereka dirawat. Pada hari Jumat, sepasang suami istri di sebuah komunitas adat di dekatnya ditembak mati oleh pasukan keamanan.
Kelompok hak asasi manusia Forum Penal mengatakan pihaknya mencatat 29 orang luka-luka akibat luka tembak dan dua tewas di seluruh Venezuela dalam bentrokan dengan pasukan Venezuela pada hari Sabtu. Sedangkan pemerintah Kolombia melalui Menteri Luar Negeri Carlos Holmes Trujillo mencatat 285 orang terluka, termasuk mereka yang terkena gas air mata.
"Saya seorang ibu rumah tangga dan saya di sini berjuang untuk keluarga saya, untuk anak-anak dan orang tua saya, menentang gas air mata militer," kata pengunjuk rasa oposisi Sobeida Monsalve (42) di Urena.
Situasi politik di Venezuela semakin intensif setelah pemimpin oposisi Juan Guaido mendeklarasikan dirinya sebagai presiden sementara pada 23 Januari dan langsung diakui oleh Amerika Serikat (AS).
AS dan negara-negara lain di kawasan itu, berkoordinasi dengan oposisi Venezuela, telah menyatakan rencana mereka untuk mengirimkan bantuan ke Venezuela. Namun pemerintah Venezuela mengatakan akan memblokir pengiriman bantuan AS yang diyakini sebagai alasan untuk melancarkan serangan militer.
(ian)