Prancis Kembalikan 'Harta Karun' Afrika ke Benin

Minggu, 25 November 2018 - 01:46 WIB
Prancis Kembalikan Harta Karun Afrika ke Benin
Prancis Kembalikan 'Harta Karun' Afrika ke Benin
A A A
PARIS - Presiden Prancis, Emmanuel Macron, setuju untuk mengembalikan 26 artefak budaya ke Benin tanpa penundaan. Keputusan ini datang saat Macron menerima temuan dari penelitian yang ia tugaskan untuk memulangkan kembali "harta karun" Afrika yang dikuasai oleh museum-museum Prancis.

Macron setuju untuk mengembalikan 26 karya, terutama patung kerajaan dari istana dari Abomey - sebelumnya ibukota Kerajaan Dahomey - yang diambil oleh tentara Perancis selama perang tahun 1892 dan sekarang di museum Paris Quai Branly.

Selain itu, ia mengusulkan pertemuan mitra Afrika dan Eropa di Paris tahun depan untuk menentukan kerangka kerja untuk "kebijakan pertukaran" untuk karya seni Afrika.

"Presiden berharap bahwa semua kemungkinan sirkulasi dari karya-karya ini dianggap: pengembalian tetapi juga pameran, pinjaman, kerja sama lebih lanjut," kata istana Elysee seperti dikutip dari AFP, Sabtu (25/11/2018).

Ousmane Aledji, direktur pusat kebudayaan Benin, Artisttik Africa, mengatakan dia senang melihat bentuk baru pertukaran budaya dengan Prancis.

Inggris juga menghadapi seruan untuk mengembalikan artefak, termasuk Elgin Marbles ke Yunani dan Benin Bronzes ke Nigeria, sementara museum di Belgia dan Austria menampung puluhan ribu potongan Afrika.

Seruan telah berkembang di Afrika untuk restitusi karya seni, tetapi undang-undang Prancis secara ketat melarang pemerintah untuk menyerahkan properti negara, bahkan dalam kasus-kasus yang terdokumentasi dengan baik.

Pada tahun 2016 Benin menuntut Prancis mengembalikan barang termasuk patung, karya seni, ukiran, sceptres, dan pintu suci.

Meskipun permintaan itu pada awalnya ditolak, pada bulan November 2016, Macron memunculkan harapan dalam sebuah pidato di Burkina Faso, berjanji untuk mengembalikan warisan Afrika ke Afrika.

Setelah pidatonya, Macron meminta sejarawan seni Prancis Benedicte Savoy dan penulis Senegal Felwine Sarr untuk mempelajari masalah ini.

Laporan mereka disambut baik oleh para pendukung restitusi karya yang dibeli, ditukar, atau dalam beberapa kasus dicuri.

Laporan ini mengusulkan undang-undang dikembangkan untuk mengembalikan ribuan artefak Afrika yang diambil selama periode kolonial ke negara-negara yang meminta mereka.

Namun ada beberapa kondisi, termasuk permintaan dari negara yang bersangkutan, informasi yang tepat tentang asal-usul karya, dan keberadaan fasilitas yang tepat seperti museum untuk menyimpan kembali karya-karya mereka di negara asal mereka.

Kantor Macron mengatakan bahwa museum akan diundang untuk mengidentifikasi mitra Afrika dan mengatur pengembalian yang mungkin dan harus segera menetapkan inventaris online koleksi Afrika mereka.

Macron juga menyerukan kerja mendalam dengan negara-negara Eropa lainnya yang mempertahankan koleksi yang sifatnya sama diperoleh dalam keadaan yang sebanding.

Konvensi UNESCO terhadap ekspor barang-barang budaya terlarang yang diadopsi pada tahun 1970 menyerukan kembalinya properti budaya yang diambil dari suatu negara tetapi tidak menangani kasus-kasus bersejarah, termasuk dari era kolonial.

Dengan adanya museum yang khawatir bahwa mereka dapat dipaksa untuk mengembalikan artefak, mantan penguasa kolonial telah lambat untuk meratifikasi konvensi: Prancis hanya melakukannya pada tahun 1997, Inggris pada tahun 2002, Jerman pada tahun 2007 dan Belgia pada tahun 2009.

Pada hari Selasa, gubernur Pulau Easter di Pasifik dengan air mata memohon agar Museum Inggris mengembalikan salah satu patungnya yang terkenal.

Museum London telah menguasai Hoa Hakananai'a, salah satu yang paling penting secara rohani dari monolit batu pulau Chili, selama 150 tahun.

Dari sekitar 90.000 karya seni Afrika di museum Prancis, sekitar 70.000 berada di museum Quai Branly, yang diciptakan oleh mantan presiden Jacques Chirac, pengagum seni Afrika dan Asia.

Di tempat lain di Eropa, 37.000 benda dari Sub-Sahara Afrika berada di Vienna Weltmuseum dan 180.000 berada di Museum Kerajaan Belgia untuk Afrika Tengah di Tervuren.

Laporan yang ditugaskan oleh Macron mengatakan koleksi tersebut secara efektif merampas warisan seni dan budaya Afrika mereka.

"Di sebuah benua di mana 60 persen penduduk berusia di bawah 20 tahun, apa yang pertama dan paling penting bagi kaum muda adalah memiliki akses ke budaya, kreativitas, dan spiritualitas mereka sendiri dari era lain," bunyi laporan itu.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3924 seconds (0.1#10.140)