Pesan Terakhir Pria AS yang Dibunuh Suku Hampir Punah di India
A
A
A
WASHINGTON - John Allen Chau, 27, pria Amerika Serikat (AS) yang dibunuh kelompok suku yang hampir punah di pulau terpencil di India, telah menjadi pemberitaan global. Sebelum melakukan perjalanan ke "pulau maut", dia menuliskan beberapa pesan di Instagram dan catatan.
Chau dikenal sebagai seorang misionaris muda. Selama melakukan perjalanan ke Pulau Sentinel Utara, India, dia membawa Alkitab yang dikemas tahan air. Media AS menduga kuat, misinya ke pulau terlarang itu untuk menyerbakan agama kepada Suku Sentinelese yang menolak kehadiran orang asing.
Suku itu selama ribuan tahun menghindari kontak dengan orang luar pulau, bahkan pihak berwenang India sekali pun.
"Tuhan lindungilah saya dan samarkan saya terhadap penjaga pantai dan angkatan laut," tulis Chau ketika pertama kali mendekati pulau tersebut.
Kapal-kapal aparat berwenang India kerap mengawasi perairan di sekitar pulau itu sebagai upaya untuk memastikan orang luar tidak mendekati Suku Sentinelese.
Namun, Chau nekat memasuki pulau tersebut untuk melakukan kontak dengan Suku Sentinelese. Ketika pertama kali masuk ke pulau, dia disambut dengan tembakan panah. Menyadari dalam bahaya, dia berenang kembali ke perahu nelayan yang sudah dia atur untuk menunggunya di lepas pantai. Anak panah itu, tulis dia, menghantam Alkitab yang dibawanya.
"Kenapa anak kecil harus menembak saya hari ini?," tulis dia. "Suaranya yang tinggi masih terngiang di kepala saya."
Polisi India mengatakan Chau tahu bahwa penghuni pulau Sentinel menolak semua kontak dengan orang luar. Jurnal berisi catatan-catatan terakhir pria AS itu dipublikasikan oleh surat kabar India pada hari Kamis dan telah dikonfirmasi oleh polisi.
"Kalian mungkin berpikir saya gila dalam semua ini, tetapi saya pikir itu berharga untuk menyatakan Yesus kepada orang-orang ini," tulis Chau dalam catatan terakhir kepada keluarganya tertanggal 16 November, yang dikutip Washington Post, Jumat (23/11/2018). "Ya Tuhan, saya tidak ingin mati."
Dalam tulisannya Instagram, Chau menulis bahwa dia menemukan Pulau Sentinel yang terpencil di Teluk Benggala. Dia menyebut pulau itu menginspirasi, tetapi menakutkan.
“Mengapa tempat yang indah ini harus memiliki begitu banyak kematian di sini?," tulis dia. "Saya harap ini bukan salah satu dari catatan terakhir saya, tetapi jika (yang terakhir) ini adalah 'to God be the Glory'."
Sumber di internal lingkaran misionarisnya mengatakan kepada AP bahwa Chau berinteraksi dengan beberapa suku, yang tingginya sekitar 1,6 meter dan memakai pasta kuning di wajah mereka. Interaksi itu terjadi dalam beberapa kesempatan.
Namun, kehadiran Chau diduga kuat tidak lagi ditoleransi sampai akhirnya suku yang terancam punah itu mulai kehilangan kesabaran. Mereka selama ini bertahan hidup dengan berburu, memancing, dan mengumpulkan tanaman.
Menurut laporan AP, Chau berusaha untuk berbicara dengan bahasa mereka dan menyanyikan lagu-lagu pujian.
“Saya berteriak, 'Nama saya John, saya mencintaimu dan Yesus mencintaimu',” tulis Chau di catatan lainnya, beberapa hari sebelum dia dibunuh.
Dia terbunuh dalam hujan panah dan terkubur di pasir. "Dia diserang oleh panah tetapi dia terus berjalan," kata sumber di internal misionaris Chau.
“Para nelayan melihat (suku) mengikat tali di lehernya dan menyeret tubuhnya. Mereka takut dan melarikan diri tetapi kembali keesokan paginya untuk menemukan tubuhnya di pantai."
Belum jelas apakah jasad Chau bisa diambil polisi India atau tidak. Keluarganya di AS mengaku sudah memafkan para pembunuh Chau.
Chau dikenal sebagai seorang misionaris muda. Selama melakukan perjalanan ke Pulau Sentinel Utara, India, dia membawa Alkitab yang dikemas tahan air. Media AS menduga kuat, misinya ke pulau terlarang itu untuk menyerbakan agama kepada Suku Sentinelese yang menolak kehadiran orang asing.
Suku itu selama ribuan tahun menghindari kontak dengan orang luar pulau, bahkan pihak berwenang India sekali pun.
"Tuhan lindungilah saya dan samarkan saya terhadap penjaga pantai dan angkatan laut," tulis Chau ketika pertama kali mendekati pulau tersebut.
Kapal-kapal aparat berwenang India kerap mengawasi perairan di sekitar pulau itu sebagai upaya untuk memastikan orang luar tidak mendekati Suku Sentinelese.
Namun, Chau nekat memasuki pulau tersebut untuk melakukan kontak dengan Suku Sentinelese. Ketika pertama kali masuk ke pulau, dia disambut dengan tembakan panah. Menyadari dalam bahaya, dia berenang kembali ke perahu nelayan yang sudah dia atur untuk menunggunya di lepas pantai. Anak panah itu, tulis dia, menghantam Alkitab yang dibawanya.
"Kenapa anak kecil harus menembak saya hari ini?," tulis dia. "Suaranya yang tinggi masih terngiang di kepala saya."
Polisi India mengatakan Chau tahu bahwa penghuni pulau Sentinel menolak semua kontak dengan orang luar. Jurnal berisi catatan-catatan terakhir pria AS itu dipublikasikan oleh surat kabar India pada hari Kamis dan telah dikonfirmasi oleh polisi.
"Kalian mungkin berpikir saya gila dalam semua ini, tetapi saya pikir itu berharga untuk menyatakan Yesus kepada orang-orang ini," tulis Chau dalam catatan terakhir kepada keluarganya tertanggal 16 November, yang dikutip Washington Post, Jumat (23/11/2018). "Ya Tuhan, saya tidak ingin mati."
Dalam tulisannya Instagram, Chau menulis bahwa dia menemukan Pulau Sentinel yang terpencil di Teluk Benggala. Dia menyebut pulau itu menginspirasi, tetapi menakutkan.
“Mengapa tempat yang indah ini harus memiliki begitu banyak kematian di sini?," tulis dia. "Saya harap ini bukan salah satu dari catatan terakhir saya, tetapi jika (yang terakhir) ini adalah 'to God be the Glory'."
Sumber di internal lingkaran misionarisnya mengatakan kepada AP bahwa Chau berinteraksi dengan beberapa suku, yang tingginya sekitar 1,6 meter dan memakai pasta kuning di wajah mereka. Interaksi itu terjadi dalam beberapa kesempatan.
Namun, kehadiran Chau diduga kuat tidak lagi ditoleransi sampai akhirnya suku yang terancam punah itu mulai kehilangan kesabaran. Mereka selama ini bertahan hidup dengan berburu, memancing, dan mengumpulkan tanaman.
Menurut laporan AP, Chau berusaha untuk berbicara dengan bahasa mereka dan menyanyikan lagu-lagu pujian.
“Saya berteriak, 'Nama saya John, saya mencintaimu dan Yesus mencintaimu',” tulis Chau di catatan lainnya, beberapa hari sebelum dia dibunuh.
Dia terbunuh dalam hujan panah dan terkubur di pasir. "Dia diserang oleh panah tetapi dia terus berjalan," kata sumber di internal misionaris Chau.
“Para nelayan melihat (suku) mengikat tali di lehernya dan menyeret tubuhnya. Mereka takut dan melarikan diri tetapi kembali keesokan paginya untuk menemukan tubuhnya di pantai."
Belum jelas apakah jasad Chau bisa diambil polisi India atau tidak. Keluarganya di AS mengaku sudah memafkan para pembunuh Chau.
(mas)