Carmen Yulin Cruz Soto, Wali Kota San Juan yang Tegas
A
A
A
Wali Kota San Juan Carmen Yulin Cruz Soto memberi contoh kuat cara menjadi pemimpin hebat. Dia berani menghadapi para kritikus, mengambil keputusan tegas, dan menanggung risiko apa pun.
Langkahnya membuat dia masuk daftar 100 orang berpengaruh versi TIME. Semua ini berawal dari Badai Maria yang menyerang Puerto Riko, Amerika Serikat (AS), pada akhir September tahun lalu. Sejak saat itu namanya ikut melambung dan melejit.
Dikutip Utter Buzz, Cruz mengatakan, dia belajar nilai kepemimpinan sejati setelah Badai Maria menghancurkan rumahnya di San Juan, ibu kota Puerto Riko. Setelah badai, dia mencoba memimpin dengan memberi contoh, seperti tidur dan makan seadanya dan membantu siapa pun yang membutuhkan pertolongan.
Menurut TIME, pada September 2017, lebih dari 100 tahun sejak seluruh warga Puerto Riko menjadi warga negara AS, Badai Maria menghancurkan sebagian besar pulau itu, menewaskan lebih dari 1.000 orang, dan menyebabkan ribuan orang telantar tanpa tempat tinggal, makanan, air, dan listrik. Bantuan federal yang datang tidak siap untuk memenuhi masalah darurat yang sangat serius itu.
Hal tersebut diperparah dengan ketidakpedulian para pembuat keputusan di Washington DC untuk Puerto Riko. Ini adalah wilayah pulau yang dihuni 3,4 juta warga tanpa punya hak untuk memilih presiden dan tanpa perwakilan di Kongres AS. Dari kekacauan, penundaan, dan ketidaktegasan, Cruz yang menjadi Wali Kota San Juan sejak 2013 ini pun menjadi sosok bak jagoan.
Dia turun langsung membantu warganya, termasuk berteriak kencang agar Pemerintah AS tidak mengabaikan mereka. Dikutip The Nation , politikus berusia 55 tahun pada 25 Februari lalu ini langsung turun ke lapangan. Dengan topi dan kacamata khasnya, Cruz memperlihatkan bagaimana seharusnya pejabat segera bertindak, bukan hanya berbicara.
Cruz langsung membuka “kantor” di tempat penampungan para korban di kompleks atletik. Dia tinggal di sana selama lebih dari sebulan. Dia ikut mengevakuasi para korban ke tempat aman, memangkas birokrasi yang sulit agar bantuan cepat datang. Dia juga bekerja mendapatkan makanan untuk para korban.
Tidak mengherankan, semua ini dilihat dunia internasional. Cruz pun masuk daftar TIME 100: The Most Influential People of 2018. Cruz telah menjadi suara paling kuat atas nama Puerto Riko. Padahal, saat dia menawarkan diri untuk menjadi wali kota pada lima tahun lalu, tidak banyak orang di Puerto Riko yang pernah mendengarnya.
Menurut Forbes, dia baru terkenal karena kepemimpinannya menangani krisis Badai Maria. Dia menunjukkan karakter kepemimpinan sejati, yakni melayani orang lain sebelum diri sendiri. Meski sempat melakukan twit war dengan Presiden AS Donald Trump, Cruz lebih memilih tidak mengikuti emosi di media sosial.
Dia memilih bekerja nyata untuk membantu para korban. Dia pun berhasil menarik simpati banyak orang. Dia digadang-gadang akan mencalonkan diri sebagai gubernur persemakmuran pada 2020. Menurut Marie Claire, dia memiliki beberapa program, yakni mengakhiri kemiskinan, mengubah hubungan politik antara Puerto Riko dan AS, menjadikan Puerto Riko tujuan teknologi, dan pendidikan harus berada di garis terdepan melawan kemiskinan.
Berambisi sejak Muda
Dikutip The Guardian, Cruz menunjukkan bakat dan ambisi politik sejak usia muda. Dia menjadi ketua dewan siswa sekolah menengah, kemudian wakil di pertemuan pemuda tingkat kepresidenan. Seperti kebanyakan orang Puerto Riko, Cruz meninggalkan pulau itu untuk melanjutkan studinya di daratan Amerika Serikat (AS).
Dia memperoleh gelar sarjana dalam ilmu politik dari Universitas Boston dan lulus cum laude. Dia juga merupakan lulusan Carnegie Mellon University di Pittsburgh dengan gelas master. Setelah lulus, dia bekerja di sejumlah perusahaan di daratan AS.
Dikutip New York Times, Cruz bekerja sebagai direktur sumber daya manusia untuk beberapa perusahaan, termasuk Colgate-Palmolive, Banco Popular, Scotiabank, Cellular One, serta Departemen Keuangan. Setelah 12 tahun di daratan AS, dia memutuskan kembali ke Puerto Riko pada 1992 dan segera terjun ke politik lokal. Dia bekerja sebagai penasihat Wali Kota San Juan Sila Maria Calderon, yang kemudian menjadi gubernur kala itu.
Menurut CNN , dia juga terlibat dalam Partai Demokratik Populer Puerto Riko pada 2003 dan terpilih sebagai presiden organisasi perempuan. Pada 2008, masih berafiliasi dengan partai, dia terpilih maju ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puerto Riko.
Kemudian pada 2012, Cruz mencalonkan diri menjadi wali kota. Sebetulnya dia sudah telat masuk kompetisi tersebut, apalagi kesempatan untuk menang. Selain itu, dia bukan sosok yang terkenal ketika melawan petahana selama 12 tahun, Jorge Santini.
Namun, menurut New York Times, dia memiliki ciri khas sosialis bergaya Venezuela. Dia bergaul dengan banyak kalangan, seperti kelompok LGBT, para penyandang disabilitas, dan orang-orang yang muak dengan status quo. Dia pun terpilih dengan mudah pada 2013.
Langkahnya membuat dia masuk daftar 100 orang berpengaruh versi TIME. Semua ini berawal dari Badai Maria yang menyerang Puerto Riko, Amerika Serikat (AS), pada akhir September tahun lalu. Sejak saat itu namanya ikut melambung dan melejit.
Dikutip Utter Buzz, Cruz mengatakan, dia belajar nilai kepemimpinan sejati setelah Badai Maria menghancurkan rumahnya di San Juan, ibu kota Puerto Riko. Setelah badai, dia mencoba memimpin dengan memberi contoh, seperti tidur dan makan seadanya dan membantu siapa pun yang membutuhkan pertolongan.
Menurut TIME, pada September 2017, lebih dari 100 tahun sejak seluruh warga Puerto Riko menjadi warga negara AS, Badai Maria menghancurkan sebagian besar pulau itu, menewaskan lebih dari 1.000 orang, dan menyebabkan ribuan orang telantar tanpa tempat tinggal, makanan, air, dan listrik. Bantuan federal yang datang tidak siap untuk memenuhi masalah darurat yang sangat serius itu.
Hal tersebut diperparah dengan ketidakpedulian para pembuat keputusan di Washington DC untuk Puerto Riko. Ini adalah wilayah pulau yang dihuni 3,4 juta warga tanpa punya hak untuk memilih presiden dan tanpa perwakilan di Kongres AS. Dari kekacauan, penundaan, dan ketidaktegasan, Cruz yang menjadi Wali Kota San Juan sejak 2013 ini pun menjadi sosok bak jagoan.
Dia turun langsung membantu warganya, termasuk berteriak kencang agar Pemerintah AS tidak mengabaikan mereka. Dikutip The Nation , politikus berusia 55 tahun pada 25 Februari lalu ini langsung turun ke lapangan. Dengan topi dan kacamata khasnya, Cruz memperlihatkan bagaimana seharusnya pejabat segera bertindak, bukan hanya berbicara.
Cruz langsung membuka “kantor” di tempat penampungan para korban di kompleks atletik. Dia tinggal di sana selama lebih dari sebulan. Dia ikut mengevakuasi para korban ke tempat aman, memangkas birokrasi yang sulit agar bantuan cepat datang. Dia juga bekerja mendapatkan makanan untuk para korban.
Tidak mengherankan, semua ini dilihat dunia internasional. Cruz pun masuk daftar TIME 100: The Most Influential People of 2018. Cruz telah menjadi suara paling kuat atas nama Puerto Riko. Padahal, saat dia menawarkan diri untuk menjadi wali kota pada lima tahun lalu, tidak banyak orang di Puerto Riko yang pernah mendengarnya.
Menurut Forbes, dia baru terkenal karena kepemimpinannya menangani krisis Badai Maria. Dia menunjukkan karakter kepemimpinan sejati, yakni melayani orang lain sebelum diri sendiri. Meski sempat melakukan twit war dengan Presiden AS Donald Trump, Cruz lebih memilih tidak mengikuti emosi di media sosial.
Dia memilih bekerja nyata untuk membantu para korban. Dia pun berhasil menarik simpati banyak orang. Dia digadang-gadang akan mencalonkan diri sebagai gubernur persemakmuran pada 2020. Menurut Marie Claire, dia memiliki beberapa program, yakni mengakhiri kemiskinan, mengubah hubungan politik antara Puerto Riko dan AS, menjadikan Puerto Riko tujuan teknologi, dan pendidikan harus berada di garis terdepan melawan kemiskinan.
Berambisi sejak Muda
Dikutip The Guardian, Cruz menunjukkan bakat dan ambisi politik sejak usia muda. Dia menjadi ketua dewan siswa sekolah menengah, kemudian wakil di pertemuan pemuda tingkat kepresidenan. Seperti kebanyakan orang Puerto Riko, Cruz meninggalkan pulau itu untuk melanjutkan studinya di daratan Amerika Serikat (AS).
Dia memperoleh gelar sarjana dalam ilmu politik dari Universitas Boston dan lulus cum laude. Dia juga merupakan lulusan Carnegie Mellon University di Pittsburgh dengan gelas master. Setelah lulus, dia bekerja di sejumlah perusahaan di daratan AS.
Dikutip New York Times, Cruz bekerja sebagai direktur sumber daya manusia untuk beberapa perusahaan, termasuk Colgate-Palmolive, Banco Popular, Scotiabank, Cellular One, serta Departemen Keuangan. Setelah 12 tahun di daratan AS, dia memutuskan kembali ke Puerto Riko pada 1992 dan segera terjun ke politik lokal. Dia bekerja sebagai penasihat Wali Kota San Juan Sila Maria Calderon, yang kemudian menjadi gubernur kala itu.
Menurut CNN , dia juga terlibat dalam Partai Demokratik Populer Puerto Riko pada 2003 dan terpilih sebagai presiden organisasi perempuan. Pada 2008, masih berafiliasi dengan partai, dia terpilih maju ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puerto Riko.
Kemudian pada 2012, Cruz mencalonkan diri menjadi wali kota. Sebetulnya dia sudah telat masuk kompetisi tersebut, apalagi kesempatan untuk menang. Selain itu, dia bukan sosok yang terkenal ketika melawan petahana selama 12 tahun, Jorge Santini.
Namun, menurut New York Times, dia memiliki ciri khas sosialis bergaya Venezuela. Dia bergaul dengan banyak kalangan, seperti kelompok LGBT, para penyandang disabilitas, dan orang-orang yang muak dengan status quo. Dia pun terpilih dengan mudah pada 2013.
(don)