Sekjen OAS Pertimbangkan Agresi Militer terhadap Venezuela
A
A
A
KUKUTA - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Organisasi Negara-negara Amerika (OAS), Luis Almagro, mempertimbangkan agresi militer terhadap Venezuela. OAS selama ini dianggap Presiden Nicolas Maduro sebagai "agen CIA".
Opsi intervensi militer itu muncul sebagai respons atas krisis yang sedang berlangsung di negara Amerika Latin itu.
Menurut Almagro, opsi militer diambil OAS jika opsi diplomatiknya habis dalam upaya untuk meringankan penderitaan rakyat venezuela yang sedang dilanda krisis ekonomi yang parah.
"Sehubungan dengan intervensi militer yang bertujuan untuk menggulingkan rezim Nicolas Maduro, saya pikir kita tidak boleh mengesampingkan opsi apa pun," kata Almagro kepada AFP di Kukuta, Kolombia, yang dilansir Sabtu (15/9/2018).
Banyak warga Venezuela telah melarikan diri ke negara-negara tetangga karena kekurangan makanan dan air. Negara yang pernah dipimpin Hugo Chavez ini sedang menderita inflasi hebat dan pengangguran yang terus melonjak.
Almagro sedang mengakhiri perjalanan tiga harinya ke Kolombia dan telah dipengaruhi oleh gerakan pengungsi dari Venezuela.
Sekitar 3.000 orang Venezuela diperkirakan akan menyeberang ke negara itu setiap hari. Brasil, Peru, Ekuador, dan Chili juga berbagi beban untuk menampung pengungsi.
Almagro telah sering terlibat perang kata-kata dengan Maduro. Dalam kunjungannya ke Kukuta, dia menyebut Maduro dengan sebutan diktator."Kukuta kota yang paling mencontohkan kebohongan kediktatoran Venezuela," katanya.
Komentar itu muncul tak lama setelah laporan New York Times mengklaim pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah lama berkomplot dengan sekelompok perwira Venezuela untuk menggulingkan Maduro. Negosiasi diam-diam, yang melibatkan para pejabat AS yang terlibat dengan seorang komandan militer Venezuela, dilaporkan dimulai pada musim gugur 2017 dan berlanjut sepanjang tahun lalu.
Namun, menurut laporan itu, para pejabat AS akhirnya memutuskan untuk tidak mendukung komplotan perwira Venezuela, yang telah meminta dukungan AS dalam hal pasokan materi, termasuk sistem radio yang dienkripsi.
Ketika dikonfirmasi terkait laporan itu, Gedung Putih tidak secara langsung menyangkal bahwa para pejabat Washington terlibat dalam pembicaraan rahasia dengan para perwira Venezuela yang memberontak.
"Pemerintah Amerika Serikat mendengar setiap hari dari keprihatinan orang-orang Venezuela dari semua lapisan masyarakat, apakah mereka anggota partai yang berkuasa, dinas keamanan, elemen masyarakat sipil atau dari antara jutaan warga yang dipaksa oleh rezim untuk melarikan diri ke luar negeri," bunyi pernyataan Dewan Keamanan Nasional (NSC) Gedung Putih.
Opsi intervensi militer itu muncul sebagai respons atas krisis yang sedang berlangsung di negara Amerika Latin itu.
Menurut Almagro, opsi militer diambil OAS jika opsi diplomatiknya habis dalam upaya untuk meringankan penderitaan rakyat venezuela yang sedang dilanda krisis ekonomi yang parah.
"Sehubungan dengan intervensi militer yang bertujuan untuk menggulingkan rezim Nicolas Maduro, saya pikir kita tidak boleh mengesampingkan opsi apa pun," kata Almagro kepada AFP di Kukuta, Kolombia, yang dilansir Sabtu (15/9/2018).
Banyak warga Venezuela telah melarikan diri ke negara-negara tetangga karena kekurangan makanan dan air. Negara yang pernah dipimpin Hugo Chavez ini sedang menderita inflasi hebat dan pengangguran yang terus melonjak.
Almagro sedang mengakhiri perjalanan tiga harinya ke Kolombia dan telah dipengaruhi oleh gerakan pengungsi dari Venezuela.
Sekitar 3.000 orang Venezuela diperkirakan akan menyeberang ke negara itu setiap hari. Brasil, Peru, Ekuador, dan Chili juga berbagi beban untuk menampung pengungsi.
Almagro telah sering terlibat perang kata-kata dengan Maduro. Dalam kunjungannya ke Kukuta, dia menyebut Maduro dengan sebutan diktator."Kukuta kota yang paling mencontohkan kebohongan kediktatoran Venezuela," katanya.
Komentar itu muncul tak lama setelah laporan New York Times mengklaim pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah lama berkomplot dengan sekelompok perwira Venezuela untuk menggulingkan Maduro. Negosiasi diam-diam, yang melibatkan para pejabat AS yang terlibat dengan seorang komandan militer Venezuela, dilaporkan dimulai pada musim gugur 2017 dan berlanjut sepanjang tahun lalu.
Namun, menurut laporan itu, para pejabat AS akhirnya memutuskan untuk tidak mendukung komplotan perwira Venezuela, yang telah meminta dukungan AS dalam hal pasokan materi, termasuk sistem radio yang dienkripsi.
Ketika dikonfirmasi terkait laporan itu, Gedung Putih tidak secara langsung menyangkal bahwa para pejabat Washington terlibat dalam pembicaraan rahasia dengan para perwira Venezuela yang memberontak.
"Pemerintah Amerika Serikat mendengar setiap hari dari keprihatinan orang-orang Venezuela dari semua lapisan masyarakat, apakah mereka anggota partai yang berkuasa, dinas keamanan, elemen masyarakat sipil atau dari antara jutaan warga yang dipaksa oleh rezim untuk melarikan diri ke luar negeri," bunyi pernyataan Dewan Keamanan Nasional (NSC) Gedung Putih.
(mas)