Tolak Kekayaan, Mantan Dosen Memilih Hidup Bertani

Senin, 03 September 2018 - 09:39 WIB
Tolak Kekayaan, Mantan Dosen Memilih Hidup Bertani
Tolak Kekayaan, Mantan Dosen Memilih Hidup Bertani
A A A
BANGKOK - Berdiri di sawah yang tergenang air setinggi lutut, Sompot Tubcharoen, 60, membajak ladangnya dengan mesin yang dia sebut “penghancur tanah”.

Ratusan pohon melon berjajar, sawah itu ditanami padi yang berwarna hijau di tengah ibu kota Thailand, Bangkok. Sawah itu berada di wilayah yang diincar para pengembang yang akan segera membelinya jika harganya cocok. Sejumlah perumahan, gedung perkantoran, dan lalu lintas yang padat itu dikelilingi lahan pertanian yang terletak 30 km timur laut pusat Bangkok.

Sompot merupakan mantan dosen dan peneliti di universitas yang meninggalkan ruang kuliah untuk dapat mengelola lahan pertanian milik keluarganya empat tahun silam. Dia mengaku sering menolak para pengembang yang ingin membeli tanahnya.

Sawahnya memiliki luas delapan hektare atau 50 rai menurut ukuran di Thailand. “Mereka menawari saya 20 juta bahtperrai tahunlalu. Tapi baru-baru ini diminta jika saya mau menjual senilai 33 juta baht (Rp15 miliar),” papar dia, dikutip kantor berita Reuters.

Banyak petani lain yang telah menjual sawahnya di Bangkok dengan harga tanah saat ini naik 30% pada 2017, menurut data perusahaan real estate CBRE Group. Kenaikan harga tanah itu menunjukkan semakin langkanya lahan di ibu kota Thailand tersebut.

Awal tahun ini Inggris menjual kompleks kedutaan besar seluas 4 hektare di pusat kota yang telah dimilikinya selama 96 tahun, senilai USD547,13 juta.

Ini menjadi penjualan tanah terbesar dalam sejarah Thailand. Sompot yakin tanah miliknya itu menjadi kawasan hijau yang langka di Bangkok. Laporan studi yang mengamati faktor lingkungan di wilayah perkotaan, 2011 Asian Green City Index menunjukkan Bangkok memiliki jumlah ruang hijau per orang paling sedikit ketiga dibandingkan 22 kota Asia lainnya.

Dia berencana membuka tempat bersantai di lahan pertaniannya agar warga dapat lari dari kejenuhan kota. “Kehidupan Bangkok sangat melelahkan dan orang mendambakan suasana alam. Mereka dapat datang untuk satu atau dua hari, beristirahat, dan kembali ke rumah dengan kondisi segar,” ujarnya.

Sompot telah menghabiskan dana USD603.136 untuk mengolah lahannya, dan itu belum dapat tertutup dari penjualan beras dan melon yang dihasilkan. Tapi, dia tidak ingin buru-buru menjual tanahnya.

“Peningkatan nilainya lebih tinggi dibandingkan bunga bank mana pun. Ini membuat saya gembira saat bangun dan mendengar kicauan burung-burung. Hidup lebih nyaman dengan begini,” pungkasnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7329 seconds (0.1#10.140)
pixels