Pemerintah Erdogan Cabut Status Keadaan Darurat Turki
A
A
A
ANKARA - Pemerintah Presiden Tayyip Erdogan mencabut status keadaan darurat di Turki yang telah berlangsung selama dua tahun. Status itu diberlakukan sebagai respons atas upaya kudeta yang gagal pada tahun 2016.
Mengutip laporan kantor berita Anadolu, pencabutan status itu berlaku mulai pukul 01.00 dini hari waktu setempat pada Kamis (19/7/2018).
Juru bicara pemerintah Turki, Ibrahim Kalin, sejatinya telah mengumumkan keputusan itu pada pekan lalu. Namun, dia memperingatkan bahwa status keadaan darurat dapat diberlakukan kembali jika ancaman teroris yang baru muncul.
"Perang melawan terorisme akan terus berlanjut dan jika ada ancaman yang akan membutuhkan pengenalan keadaan darurat, itu akan dilakukan lagi," kata Kalin.
Sekadar diketahui, pada 15 Juli 2016, ada upaya kudeta militer terhadap pemerintah Erdogan. Namun, upaya kudeta itu mendapat perlawanan publik dan berakhir dengan kegagalan.
Dalam upaya kudeta itu, lebih dari 240 orang tewas. Buntut dari upaya kudeta itu, pemerintah Erdogan melakukan "pembersihan" dengan menangkap lebih dari 50.000 orang dan lebih dari 160.000 pejabat pemerintah dan perwira militer dipecat maupun diskors.
Meski status keadaan darurat dicabut, pemerintah Erdogan berencana menggantikannya dengan penerapan undang-undang anti-teror. Jika disetujui, aturan itu akan memungkinkan seorang gubernur untuk melarang masuk seseorang ke wilayah tertentu hingga 15 hari. Demonstrasi terbuka juga akan dibatasi hingga siang hari.
"Mereka membawa ke parlemen undang-undang baru yang bertujuan untuk membuat keadaan darurat permanen," kritik Kemal Kilicdaroglu, pemimpin oposisi dari Partai Rakyat Republik.
Turki selama ini mengklaim langkah-langkah anti-teror diperlukan untuk menargetkan beberapa kelompok "teror", termasuk jaringan pendukung Fethullah Gulen, ulama yang mengasingkan diri di Amerika Serikat dan dituduh sebagai salah satu dalang kudeta. Selain kelompok Gulen, kelompok yang dinyatakan sebagai organisasi teroris adalah pemberontak Kurdi dan kelompok Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS.
Mengutip laporan kantor berita Anadolu, pencabutan status itu berlaku mulai pukul 01.00 dini hari waktu setempat pada Kamis (19/7/2018).
Juru bicara pemerintah Turki, Ibrahim Kalin, sejatinya telah mengumumkan keputusan itu pada pekan lalu. Namun, dia memperingatkan bahwa status keadaan darurat dapat diberlakukan kembali jika ancaman teroris yang baru muncul.
"Perang melawan terorisme akan terus berlanjut dan jika ada ancaman yang akan membutuhkan pengenalan keadaan darurat, itu akan dilakukan lagi," kata Kalin.
Sekadar diketahui, pada 15 Juli 2016, ada upaya kudeta militer terhadap pemerintah Erdogan. Namun, upaya kudeta itu mendapat perlawanan publik dan berakhir dengan kegagalan.
Dalam upaya kudeta itu, lebih dari 240 orang tewas. Buntut dari upaya kudeta itu, pemerintah Erdogan melakukan "pembersihan" dengan menangkap lebih dari 50.000 orang dan lebih dari 160.000 pejabat pemerintah dan perwira militer dipecat maupun diskors.
Meski status keadaan darurat dicabut, pemerintah Erdogan berencana menggantikannya dengan penerapan undang-undang anti-teror. Jika disetujui, aturan itu akan memungkinkan seorang gubernur untuk melarang masuk seseorang ke wilayah tertentu hingga 15 hari. Demonstrasi terbuka juga akan dibatasi hingga siang hari.
"Mereka membawa ke parlemen undang-undang baru yang bertujuan untuk membuat keadaan darurat permanen," kritik Kemal Kilicdaroglu, pemimpin oposisi dari Partai Rakyat Republik.
Turki selama ini mengklaim langkah-langkah anti-teror diperlukan untuk menargetkan beberapa kelompok "teror", termasuk jaringan pendukung Fethullah Gulen, ulama yang mengasingkan diri di Amerika Serikat dan dituduh sebagai salah satu dalang kudeta. Selain kelompok Gulen, kelompok yang dinyatakan sebagai organisasi teroris adalah pemberontak Kurdi dan kelompok Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS.
(mas)