Perang dengan Ukraina, Menteri Pertahanan Rusia: Tidak Mungkin

Kamis, 12 Juli 2018 - 09:03 WIB
Perang dengan Ukraina,...
Perang dengan Ukraina, Menteri Pertahanan Rusia: Tidak Mungkin
A A A
MOSKOW - Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu, mengesampingkan konflik militer langsung dengan Ukraina. Menurutnya kebuntuan bersenjata dengan Ukraian sesuatu yang tidak mungkin.

Meski begitu, Shoigu mengingatkan, pelanggaran atas perjanjian Minsk oleh Kiev dapat memperburuk krisis dan mengarah pada genosida etnis Rusia di Donbass.

"Saya menganggap tidak mungkin terjadi bentrokan langsung antara Rusia dan Ukraina," Shoigu menyatakan dalam wawancaranya dengan outlet berita Italia, Il Giornale.

Pejabat Rusia itu menekankan bahwa rezim Kiev harus tanpa syarat menaati perjanjian Minsk karena ini adalah kondisi utama untuk mencegah genosida penduduk etnis Rusia di bagian tenggara Ukraina.

"Sayangnya, pihak berwenang Kiev sangat gigih dalam upaya mereka untuk menolak pemenuhan perjanjian ini, menemukan berbagai alasan yang diciptakan dan membuat tuduhan tak berdasar yang dialamatkan kepada Rusia," ujarnya seperti dikutip dari Russia Today, Kamis (12/7/2018).

Shoigu juga mencatat bahwa rezim Kiev benar-benar menolak satu kondisi yang sangat penting dari permukiman yaitu kemungkinan dialog dengan republik-republik Donbass yang memproklamirkan diri.

"Tentu saja, negara kita bereaksi terhadap situasi yang ada dengan terus-menerus meminta Kiev untuk menaati kompleksnya tindakan yang dijelaskan dalam perjanjian Minsk," katanya.

Menteri Rusia itu juga menyatakan harapan bahwa penjamin lain dari perjanjian Minsk, seperti Jerman dan Prancis akan menggunakan pengaruh mereka pada pihak berwenang Ukraina untuk mendesak penyelesaian konflik secara damai.

Dalam wawancara yang sama menteri pertahanan Rusia itu mengatakan bahwa negara-negara Barat, dan terutama Amerika Serikat (AS), telah merencanakan untuk mengacaukan situasi di Crimea menggunakan metode “perang hibrida” yang serupa dengan yang digunakan di Irak, Yugoslavia, Libya dan Suriah.

“Kami tidak mengizinkan kolega kami menyeberangi lautan untuk melaksanakan rencana ini di Crimea. Sebaliknya, ada referendum di sana dan di dalamnya penduduk semenanjung bebas memutuskan untuk memisahkan diri dari Ukraina dan bersatu kembali dengan Rusia, seperti yang disaksikan oleh ratusan perwakilan media massa AS,” beber Shoigu kepada wartawan.

"Kita bisa melihat semua tanda-tanda perang hibrida ini di Ukraina sendiri, tepat sebelum kudeta bersenjata yang berlangsung pada Februari 2014. Perlu dicatat bahwa negara-negara Eropa juga secara pasif berpartisipasi dalam aksi hibrida ini," tambahnya.

Shoigu melanjutkan untuk mendefinisikan "aksi hibrida" sebagai kontrol atas media massa, sanksi ekonomi, kegiatan di internet dan juga dukungan langsung untuk berbagai kerusuhan internal di negara-negara berdaulat serta sabotase dan serangan teroris yang dilakukan oleh pasukan khusus asing.

Republik Crimea bersatu kembali dengan Federasi Rusia pada musim semi 2014 setelah lebih dari 96 persen penduduknya, mayoritas di antaranya adalah etnis Rusia, menyetujui langkah itu dalam referendum yang mendesak. Keputusan itu didorong oleh pengusiran presiden Ukraina yang terpilih secara demokratis dalam kudeta dengan kekerasan di Kiev dan pelantikan pemerintah yang didukung nasionalis yang hampir segera menyatakan perang terhadap wilayah pro-Rusia di tenggara negara itu, yang menolak mengakui rezim yang baru saja dipaksakan.

Pada bulan Februari 2015, republik Donbass dan rezim Kiev memasuki apa yang disebut kesepakatan damai Minsk II atau Kesepakatan Minsk yang mempertimbangkan gencatan senjata, penarikan senjata berat dan pertukaran tahanan dengan penyelesaian politik berikutnya. Penurunan kekerasan telah tercapai tetapi persetujuan masih belum sepenuhnya dilaksanakan.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6253 seconds (0.1#10.140)