UU Antiterorisme RI Berpotensi Bidik Kelompok Bersenjata Papua
A
A
A
JAKARTA - Undang-Undang (UU) Antiterorisme yang baru disahkan parlemen Indonesia mendapat sorotan dari kelompok Human Rights Watch (HRW). Kelompok ini menyatakan, UU itu kemungkinan bisa diterapkan terhadap kelompok bersenjata Papua Barat.
UU ini disahkan setelah rentetan serangan bom oleh kelompok teroris mengguncang Surabaya dan kota lain di Jawa Timur. Aturan yang disusun sejak 2016 ini sempat jadi perdebatan antara pemerintah Presiden Joko Widodo dan parlemen terkait definisi teroris.
Peneliti HRW Indonesia, Andreas Harsono, mengatakan berbagai kelompok bersenjata di Papua tidak mungkin memenuhi definisi terorisme dalam UU Antiterorisme Indonesia.
Alasannya, kelompok bersenjata Papua cenderung melawan polisi dan perwira militer. Sedangkan terorisme didefinisikan sebagai ancaman dan serangan yang menargetkan warga sipil.
"Tetapi undang-undang ini tidak memberikan definisi tentang apa yang diklaim sebagai target terorisme lain seperti lingkungan, akomodasi publik atau fasilitas internasional. Ini membuka kemungkinan bahwa kelompok-kelompok bersenjata di Papua dapat didefinisikan sebagai 'kelompok teroris' karena ini adalah target lainnya," kata Harsono.
Sekadar diketahui, pemerintah mendefinisikan terorisme sebagai "tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dalam skala besar, dan/atau menyebabkan kerusakan pada objek vital strategis, lingkungan, fasilitas umum atau fasilitas internasional".
"Pasal 6 undang-undang masih mengkriminalisasi kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap 'lingkungan' tanpa memberikan definisi atau klarifikasi apa pun tentang makna 'lingkungan'," kata Harsono.
Menurutnya, undang-undang kontra-terorisme yang jelas adalah menargetkan terhadap kelompok-kelompok dengan senjata yang mencakup komponen bahan peledak, kimia, biologis, mikro-organisme, nuklir, atau radioaktif.
"Itu tidak termasuk kelompok politik, seperti berbagai kelompok separatis Papua, yang mengampanyekan kemerdekaan menggunakan metode non-kekerasan," katanya.
"Undang-undang itu jelas juga tidak termasuk (untuk menindak) senjata tradisional seperti parang, panah dan busur," paparnya.
"Ini mungkin membuat beberapa kebingungan dengan pekerjaan penegakan hukum oleh polisi. Ini terutama bermasalah dalam pengumpulan intelijen," kata Harsono, yang dikutip radionz.co.nz, Senin (28/5/2018).
"(Tetapi) keterlibatan militer mungkin dapat dibenarkan jika teroris Indonesia dapat melakukan serangan seperti apa yang telah dilakukan para jihadis di Marawi, Filipina."
UU ini disahkan setelah rentetan serangan bom oleh kelompok teroris mengguncang Surabaya dan kota lain di Jawa Timur. Aturan yang disusun sejak 2016 ini sempat jadi perdebatan antara pemerintah Presiden Joko Widodo dan parlemen terkait definisi teroris.
Peneliti HRW Indonesia, Andreas Harsono, mengatakan berbagai kelompok bersenjata di Papua tidak mungkin memenuhi definisi terorisme dalam UU Antiterorisme Indonesia.
Alasannya, kelompok bersenjata Papua cenderung melawan polisi dan perwira militer. Sedangkan terorisme didefinisikan sebagai ancaman dan serangan yang menargetkan warga sipil.
"Tetapi undang-undang ini tidak memberikan definisi tentang apa yang diklaim sebagai target terorisme lain seperti lingkungan, akomodasi publik atau fasilitas internasional. Ini membuka kemungkinan bahwa kelompok-kelompok bersenjata di Papua dapat didefinisikan sebagai 'kelompok teroris' karena ini adalah target lainnya," kata Harsono.
Sekadar diketahui, pemerintah mendefinisikan terorisme sebagai "tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dalam skala besar, dan/atau menyebabkan kerusakan pada objek vital strategis, lingkungan, fasilitas umum atau fasilitas internasional".
"Pasal 6 undang-undang masih mengkriminalisasi kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap 'lingkungan' tanpa memberikan definisi atau klarifikasi apa pun tentang makna 'lingkungan'," kata Harsono.
Menurutnya, undang-undang kontra-terorisme yang jelas adalah menargetkan terhadap kelompok-kelompok dengan senjata yang mencakup komponen bahan peledak, kimia, biologis, mikro-organisme, nuklir, atau radioaktif.
"Itu tidak termasuk kelompok politik, seperti berbagai kelompok separatis Papua, yang mengampanyekan kemerdekaan menggunakan metode non-kekerasan," katanya.
"Undang-undang itu jelas juga tidak termasuk (untuk menindak) senjata tradisional seperti parang, panah dan busur," paparnya.
"Ini mungkin membuat beberapa kebingungan dengan pekerjaan penegakan hukum oleh polisi. Ini terutama bermasalah dalam pengumpulan intelijen," kata Harsono, yang dikutip radionz.co.nz, Senin (28/5/2018).
"(Tetapi) keterlibatan militer mungkin dapat dibenarkan jika teroris Indonesia dapat melakukan serangan seperti apa yang telah dilakukan para jihadis di Marawi, Filipina."
(mas)