Sinta Nuriyah Masuk 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia
A
A
A
NEW YORK - Sinta Nuriyah masuk dalam daftar 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia versi Time. Namanya bersanding dengan Presiden China Xi Jinping, Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in, Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe, dan Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, PM Bangladesh Sheikh Hasina serta tokoh lainnya.
Sinta merupakan tokoh yang diakui tidak hanya di dalam negeri tapi juga di dunia internasional. Sosoknya menjadi acuan untuk gerakan toleransi beragama, feminis, kesetaraan gender, perjuangan untuk perempuan dan kelompok minoritas. Sinta pun menjadi satu-satunya warga Indonesia yang masuk dalam daftar itu tahun ini.
Jurnalis keturunan Mesir-Amerika Serikat (AS) Mona Eltahawy menulis sosok Sinta dalam daftar Time 100 tersebut. Eltahawy juga penulis buku berjudul Headscarves and Hymens: Why the Middle East Needs a Sexual Revolution. "Saat sahur 2015 di gereja Katholik di Jawa Tengah yang dihadiri umat Hindu, Budha, Konfusian dan Kristiani, Sinta Nuriyah mengibaratkan keragaman agama Indonesia dengan taman bunga, 'Ada mawar, melati, anggrek, dan Sita-Ashok. Semua bunga itu indah. Tak seorang pun dapat memaksa mawar menjadi melati atua angrek menjadi Sita-Shok'," tulis Eltahawy.
Eltahawy menambahkan, dalam beberapa tahun, kelompok garis keras semakin sulit memahami taman bunga itu. "Namun Nuriyah, janda mantan Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid tidak terpengaruh. Feminis Muslim itu memiliki pemahaman dalam hukum Syariah dan studi perempuan; dia memahami bagaimana agama dipolitisasi sehingga merugikan perempuan dan minoritas," papar Eltahawy.
"Dia memahami perempuan transgender, mendukung mantan gubernur Kristen Jakarta yang dituduh melakukan penghinaan agama dan lebih lagi, memilih mendukung pihak yang rentan dibandingkan yang telah pasti menuju hidup bebas risiko sebagai mantan janda Presiden," tutur Eltahawy.
Menurut Eltahawy, "Perempuan muslim terlalu sering bicara untuk dan tentang berbagai argumen tanpa akhir oleh pria terkait kerudung kita, atau sekitar itu. Nuriyah mengingatkan bahwa narasi kita jauh lebih kompleks dan sejujurnya, lebih menarik."
Dalam daftar itu juga muncul nama-nama para pemimpin negara, perempuan dan sosok berusia di bawah 40 tahun. "Ini karena daftar ini menjadi cerminan momen sekarang. Pengaruh saat ini semakin diketahui tak memiliki satu kode tunggal dan tidak ada umur minimal," ungkap Pemimpin Redaksi Time Edward Felsenthal dalam penjelasannya.
Kriteria untuk daftar ini tidak hanya terkait pada kekuasaan yang besar yang dimilikinya. Setelah 12 bulan terakhir gejolak, beberapa tokoh kuat pun muncul di Asia Timur. "Pemimpin Korut Kim Jong-un telah menunjukkan tanda-tanda mencairkan hubungan internasional pada rezimnya. Diktator usia 33 tahun itu mendekati Korsel saat Olimpiade Musim Dingin, menawarkan bertemu Presiden AS Donald Trump dan menghentikan tes rudal dan nuklir," papar Felsenthal.
Meski demikian, aksi-aksi Kim tak membuat Hyeonseo Lee kagum padanya. Lee merupakan pembelot Korut yang menulis kesan dia pada Kim. "Kim bahkan lebih buruk dibandingkan ayahnya, dengan penyiksaan dan pembunuhan rakyatnya di kamp-kamp kerja paksa dan eksekusi publik rutin sehingga dia orang paling berbahaya di planet," tulis Lee.
Tokoh lain yang masuk dalam daftar adalah Presiden Korsel Moon Jae-in. Dia tidak hanya menyambut delegasi Korut di Olimpiade Musim Dingin, dia merupakan mediator untuk konferensi tingkat tinggi AS-Korut yang pertama kali tahun ini. "Pengaruhnya dalam negosiasi mendatang dapat membantu masa depan Semenanjung Korea, Asia dan dunia," papar laporan Time.
Adapun PM Australia Malcolm Turnbull menulis kekagumannya pada PM Jepang Shinzo Abe sebagai sosok yang percaya diri dan pemimpin yang dinamis. Turnbull menganggap Abe berhasil memulihkan kembali ekonomi Jepang dan menghidupkan kembali kesepakatan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) setelah AS mundur.
Presiden China Xi Jinping juga menjadi tokoh yang pengaruhnya tak dapat disangkal. Dia memposisikan diri sebagai pemimpin China seumur hidup, mendorong era baru bagi China, memimpin perjuangan melawan perubahan iklim dan memanfaatkan kekacauan di Washington untuk memperkuat posisi sebagai pria paling berpengaruh di bumi.
PM Selandia Jacinda Ahern menjadi salah satu pemimpin Asia Pasifik dalam daftar itu. Dia menjadi PM perempuan termuda pertama di dunia dan PM perempuan pertama di negara itu. "Di dunia yang terlalu sering mengatakan perempuan untuk tetap kecil, tetap diam dan karena itu kita tidak dapat memiliki keduanya, sebagai ibu rumah tangga dan karir, Jacinda Ardern membuktikan betapa salah dan sudah kuno anggapan tentang perempuan itu," tulis COO Facebook Sharyl Sandberg untuk daftar Time itu.
"Dia tidak hanya memimpin satu negara. Dia mengubah permainan. Dan perempuan dan gadis di penjuru dunia akan menjadi lebih baik untuk itu," papar Sandberg.
PM Bangladesh Sheikh Hasina muncul dalam daftar itu seiring peran besarnya dalam menangani krisis Rohingya di negaranya. Saat ini Bangladesh menampung sekitar sejuta pengungsi Rohingya dari Myanmar. "Melanjutkan warisan ayahnya yang memimpin perang pembebasan Bangladesh, Hasina tidak pernah takut berjuang. Jadi saat ratusan ribu pengungsi etnik Rohingya mulai masuk Bangladesh Agustus lalu untuk menyelamatkan diri dari kekejaman militer Myanmar, dia menerima tantangan kemanusiaan itu," ujar Direktur Asia Selatan Human Rights Watch Meenakshi Ganguly.
"Negara miskin Bangladesh sebelumnya tidak menyambut aliran pengungsi itu tapi dia dapat mengubah para korban yang trauma akibat pembersihan etnik itu," tulis Ganguly.
Sinta merupakan tokoh yang diakui tidak hanya di dalam negeri tapi juga di dunia internasional. Sosoknya menjadi acuan untuk gerakan toleransi beragama, feminis, kesetaraan gender, perjuangan untuk perempuan dan kelompok minoritas. Sinta pun menjadi satu-satunya warga Indonesia yang masuk dalam daftar itu tahun ini.
Jurnalis keturunan Mesir-Amerika Serikat (AS) Mona Eltahawy menulis sosok Sinta dalam daftar Time 100 tersebut. Eltahawy juga penulis buku berjudul Headscarves and Hymens: Why the Middle East Needs a Sexual Revolution. "Saat sahur 2015 di gereja Katholik di Jawa Tengah yang dihadiri umat Hindu, Budha, Konfusian dan Kristiani, Sinta Nuriyah mengibaratkan keragaman agama Indonesia dengan taman bunga, 'Ada mawar, melati, anggrek, dan Sita-Ashok. Semua bunga itu indah. Tak seorang pun dapat memaksa mawar menjadi melati atua angrek menjadi Sita-Shok'," tulis Eltahawy.
Eltahawy menambahkan, dalam beberapa tahun, kelompok garis keras semakin sulit memahami taman bunga itu. "Namun Nuriyah, janda mantan Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid tidak terpengaruh. Feminis Muslim itu memiliki pemahaman dalam hukum Syariah dan studi perempuan; dia memahami bagaimana agama dipolitisasi sehingga merugikan perempuan dan minoritas," papar Eltahawy.
"Dia memahami perempuan transgender, mendukung mantan gubernur Kristen Jakarta yang dituduh melakukan penghinaan agama dan lebih lagi, memilih mendukung pihak yang rentan dibandingkan yang telah pasti menuju hidup bebas risiko sebagai mantan janda Presiden," tutur Eltahawy.
Menurut Eltahawy, "Perempuan muslim terlalu sering bicara untuk dan tentang berbagai argumen tanpa akhir oleh pria terkait kerudung kita, atau sekitar itu. Nuriyah mengingatkan bahwa narasi kita jauh lebih kompleks dan sejujurnya, lebih menarik."
Dalam daftar itu juga muncul nama-nama para pemimpin negara, perempuan dan sosok berusia di bawah 40 tahun. "Ini karena daftar ini menjadi cerminan momen sekarang. Pengaruh saat ini semakin diketahui tak memiliki satu kode tunggal dan tidak ada umur minimal," ungkap Pemimpin Redaksi Time Edward Felsenthal dalam penjelasannya.
Kriteria untuk daftar ini tidak hanya terkait pada kekuasaan yang besar yang dimilikinya. Setelah 12 bulan terakhir gejolak, beberapa tokoh kuat pun muncul di Asia Timur. "Pemimpin Korut Kim Jong-un telah menunjukkan tanda-tanda mencairkan hubungan internasional pada rezimnya. Diktator usia 33 tahun itu mendekati Korsel saat Olimpiade Musim Dingin, menawarkan bertemu Presiden AS Donald Trump dan menghentikan tes rudal dan nuklir," papar Felsenthal.
Meski demikian, aksi-aksi Kim tak membuat Hyeonseo Lee kagum padanya. Lee merupakan pembelot Korut yang menulis kesan dia pada Kim. "Kim bahkan lebih buruk dibandingkan ayahnya, dengan penyiksaan dan pembunuhan rakyatnya di kamp-kamp kerja paksa dan eksekusi publik rutin sehingga dia orang paling berbahaya di planet," tulis Lee.
Tokoh lain yang masuk dalam daftar adalah Presiden Korsel Moon Jae-in. Dia tidak hanya menyambut delegasi Korut di Olimpiade Musim Dingin, dia merupakan mediator untuk konferensi tingkat tinggi AS-Korut yang pertama kali tahun ini. "Pengaruhnya dalam negosiasi mendatang dapat membantu masa depan Semenanjung Korea, Asia dan dunia," papar laporan Time.
Adapun PM Australia Malcolm Turnbull menulis kekagumannya pada PM Jepang Shinzo Abe sebagai sosok yang percaya diri dan pemimpin yang dinamis. Turnbull menganggap Abe berhasil memulihkan kembali ekonomi Jepang dan menghidupkan kembali kesepakatan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) setelah AS mundur.
Presiden China Xi Jinping juga menjadi tokoh yang pengaruhnya tak dapat disangkal. Dia memposisikan diri sebagai pemimpin China seumur hidup, mendorong era baru bagi China, memimpin perjuangan melawan perubahan iklim dan memanfaatkan kekacauan di Washington untuk memperkuat posisi sebagai pria paling berpengaruh di bumi.
PM Selandia Jacinda Ahern menjadi salah satu pemimpin Asia Pasifik dalam daftar itu. Dia menjadi PM perempuan termuda pertama di dunia dan PM perempuan pertama di negara itu. "Di dunia yang terlalu sering mengatakan perempuan untuk tetap kecil, tetap diam dan karena itu kita tidak dapat memiliki keduanya, sebagai ibu rumah tangga dan karir, Jacinda Ardern membuktikan betapa salah dan sudah kuno anggapan tentang perempuan itu," tulis COO Facebook Sharyl Sandberg untuk daftar Time itu.
"Dia tidak hanya memimpin satu negara. Dia mengubah permainan. Dan perempuan dan gadis di penjuru dunia akan menjadi lebih baik untuk itu," papar Sandberg.
PM Bangladesh Sheikh Hasina muncul dalam daftar itu seiring peran besarnya dalam menangani krisis Rohingya di negaranya. Saat ini Bangladesh menampung sekitar sejuta pengungsi Rohingya dari Myanmar. "Melanjutkan warisan ayahnya yang memimpin perang pembebasan Bangladesh, Hasina tidak pernah takut berjuang. Jadi saat ratusan ribu pengungsi etnik Rohingya mulai masuk Bangladesh Agustus lalu untuk menyelamatkan diri dari kekejaman militer Myanmar, dia menerima tantangan kemanusiaan itu," ujar Direktur Asia Selatan Human Rights Watch Meenakshi Ganguly.
"Negara miskin Bangladesh sebelumnya tidak menyambut aliran pengungsi itu tapi dia dapat mengubah para korban yang trauma akibat pembersihan etnik itu," tulis Ganguly.
(amm)